• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Showing posts with label teologi. Show all posts
Showing posts with label teologi. Show all posts

Kurban sebagai Simbol Abadi antara Ritual dan Spiritual

momentum kurban 2025
Momentum kurban 2025

Ada dua momen besar yang melekat dengan 10 Dzulhijjah yakni haji dan kurban. Keduanya bukan sekadar rangkaian prosesi atau sekadar formalitas tahunan tetapi keduanya ibadah yang sarat simbolik dan kaya makna. 

Pertama, haji tanpa pemahaman yang mendalam, bisa berubah menjadi sekadar safari biasa, bahkan ada yang sibuk selfie dan memotret Ka'bah. Haji menjadi wisata religius yang melelahkan tubuh tapi tidak menggugah ruh. Seperti itu pula kalau tawaf dilakukan tanpa perenungan, maka tak jauh beda dengan mengitari tumpukan batu yang disusun menjadi rumah tua. Padahal kandungan dalam ibadah tawaf sangat mendalam. 

Kedua, berkurban. Kurban adalah puncak pembuktian ujian cinta dipersimpangan jalan, antara cinta harta dengan cinta terhadap perintah Allah ta’ala. kurban tidak semata-mata tentang apa yang telah dilepaskan, tetapi bagian dari menyerahkan kepemilikan yang semu kepada Allah yang maha abadi. 

Kalau kita menyisir lembaran sejarah, sebenarnya ibadah kurban sama tuanya dengan usia manusia di alam persada ini, yaitu ketika putra Adam as diperintah berkurban, namun dalam perjalanan sejarah, kurban mengalami penyelewengan dimana kurban berwujud manusia, di suku Aztec di Mexico mempersembahkan jantung manusia kepada dewa matahari. Di Kanaan (Irak kuno), bayi-bayi ditumbalkan untuk dewa Ba’al. Bangsa Viking mengorbankan tokoh agama untuk dewa perang mereka yakni dewa Odion, Sementara di Mesir kuno, gadis-gadis cantik ditenggelamkan sebagai sesajen bagi Dewi Sungai Nil. 

Puncaknya adalah ketika Nabi Ibrahim as diperintah menyembelih putra semata wayangnya saat usia bocah yang sedang lucu-lucunya. Beliau lakukan tanpa tawar-menawar. Kemudian digantikan domba dari surga. Digantikannya Isma’il dengan domba bukan berarti Tuhan berubah ‘pikiran’ melainkan demikian kasihnya Tuhan sekaligus menjadi jawaban bahwa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan, bahkan untuk pengabdian sekalipun. 

Maka, bagaimana bisa manusia dikorbankan demi ambisi dunia, uang, kekuasaan terlebih untuk keuntungan pribadi? Ketika cinta pada dunia membuat seseorang tega mengorbankan sesamanya, saat itulah ia jatuh ke dalam kehinaan paling bawah. Jadi, kurban bukan sekadar sembelihan, bukan tentang jumlah daging yang dibagikan, melainkan tentang keberanian meletakkan apa yang paling kita cintai di hadapan Allah. Bukan tentang daging yang terbagi, tetapi hati yang berserah. 

Di hadapan Allah, yang diterima bukan bentuk, darah atau dagingnya karena Allah bukan dewa yang haus darah atau seperti singa yang keranjingan makan daging mentah. Melainkan esensinya adalah ketaqwaannya. 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang    sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu… (QS. Al-Hajj: 37) 

Di sinilah semua umat Islam tidak membiarkan 10 Dzulhijjah berlalu hanya sebagai tanggal merah, melainkan sebagai panggilan langit bagi hati yang bersedia disucikan, sebab yang Allah terima bukan darah dan daging, tapi ketakwaan dan kerelaan yang mengiringinya.

Share:

Tanatophobia Di Tengah Corona Merona

Dampak ‘serangan’ virus Corona saat ini telah dirasakan oleh seluruh dunia, secara fisik maupun mental. Pemerintahan di seluruh dunia berjibaku melawan melaluipembuatan kebijakan-kebijakan baru, semua fokus untuk menyelamatkan bangsanya masing-masing.

Pandemi global yang terjadi saat ini, membuat mesin pemerintahan menjadi terganggu dan stagnan, tidak hanya terbatas secara fisik seperti ekonomi, politik, budaya dan pariwisata, tapi Corona juga menggelayuti mentalmasyarakat dunia. Banyak manusia di muka bumi saat ini merasa terancam, tidak nyaman dan cemas hingga takut terhadap kematian, walaupun setiap individu percaya bahwa kematian itu sebuah kepastian. Kalau tidak dicarikan solusinya dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit thanatophobia.

Thanatophobia berasal dari bahasa latin yaitu thanatos yang berarti kema ian dan phobia yang berarti takut yang berlebihan. Jadi, thanatophobia diartikan sebagai gangguan kegelisahan yang diderita oleh individu karena takut yang berlebihan terhadap kematian. Pengidap thanatophobia melihat dirinya seolah sudah berada tepat di palang pintu kematian, sehingga aktivitasnya terhenti, karena takut mati ‘diserang’ Corona.

Penyebaran virus Corona yang sangat massif ke seluruh dunia dan grafik angkakorbannya terus meningkat, mengirimkan pesan kecemasan dan suasana kepanikan yang luar biasa, acap kali mendengar kata ‘Corona’. Belum lagi derasnya arus informasi yang hoax membuat galau ini semakin paripurna.

Untuk menghindari terjadinya sifat cemas yang berlebih itu, masyarakat butuh edukasi sebagai bentuk coping stress kepada mereka agar terhindar dari sifat thanatophobia. Menurut Rasmun dalam bukunya Stress, Coping dan Adaptasi, Coping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. (Rasmun, 2004; 29)

Apabila tidak dipersiapkan dengan baik pasca stay at home maupun social distancing bukan tidak mungkin akan menyisakan pengalaman traumatik,mengubah prilaku sosial keseharian kita, dari ceria menjadi pemurung. Padahal jaga jarak dan tinggal dirumah saja sementara ini adalah bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran belaka, bukan memupuk rasa takut mati

***
Sebenarnya apa yang membuat kita takut menghadapi kematian?. Ragib al-Asfihani dalam kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim as-Syari’ah menjelaskan bahwa ada empat hal yang membuat seseorang takut mati, salah satunya adalah disebabkan kehidupan setelah mati menjadi adalah kehidupan secara isterius. Siapapun tidak mengetahui secara pasti dan ilmiah apa yang terjadi di sana. Mereka yang telah mati tak pernah kembali dan mereka yang hidup tidak kuasa untuk coba-coba masuk ke alam baka, dimana para leluhur telah mendahului kita.

Novelis Amerika Serikat, Andrew Anselmo Smith pernah mengatakan, “Manusia itu mempunyai sifat takut pada hal-ihwal yang tidak bisa difahami dan benci terhadap sesuatu yang tidak bisa ditaklukkan.”

Kematian yang sedang kita bahas ini,berkesesuaian dengan ugkapan Smith, bahwa kematian merupakan sesuatu yang ‘tidak bisa dipahami’ dan ‘tidak bisa ditaklukkan’. Untuk menghindari  terjangkit thanatophobia sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai obat.

Pertama, kematian adalah kepastian. Orang yang takut dan yang berani,keduanya akan sama sama merasakan kematian (dza’iqatul maut). Oleh karena itu memikirkan, kemampuan manusia yang lemah ini terbatas hanya memilih sebab-sebab yang mengantar kematian. Dalam arti, menginginkan kematian dalam keadaan berbuat baik dan menyenangkan. Lebih baik mati sebab sakit biasa daripada sebab korona, ikhtiyar itulah yang saat ini sedang dilakukan bersama-sama. Selebihnya kehendak Tuhan yang pasti menang.

Kedua, hidup ini bagaikan tugas atau kerja, sedangkan kematian ibarat menjemput honornya. Segala aktivitas kebaikan maupun keburukan punya konsekuensi masing-masing, kebaikan berbalas kebaikan pun juga demikian sebaliknya (Qs. al-Isra’:7). Dengan analogi seperti ini, kematian mesti disambut dengan gembira karena akan menerima balasan.

Ketiga, kematian adalah kembali kepada pemiliknya, sebenarnya manusia tidak ditempatkan di dunia yang fana ini, tetapi ditempatkan di alam yang lebih kekal, oleh karena itu ia ‘diperjalankan’ ke alam berikutnya untuk menuju alam akhirat. Jadi, kematian layaknya seperti pulang kampung halaman. Karena itulah orang Islam dikenalkan dengan istirja’ atau ucapan innalillahi wa innal ilayhi raji’un.

Kematian menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan, oleh siapapun dan agama manapun. Oleh karena itu tidak terlalu penting memikirikan kematian, yang terpenting adalah ikhtiyar mencari penyebab kematian. Stay at home dan social distancing dalam konteks wabah seperti saat ini bukan karena takut kematian, melainkan ikhtiyar untuk lari dari penyebab kematian yang satu menuju kematian yang lebih baik
Share:

Teologi Virus Corona

Tiongkok menjadi negara pertama yang melaporkan kasus warganya terinfeksi Corona Virus Disease (Covid-19). Kemudian virus tersebut menyebar secara massif ke seluruh belahan dunia. Corona ‘mengamuk’ menyerang siapapun tidak pandang bulu, melumpuhkan berbagai sektor; politik, pariwisata, ekonomi dan budaya, bahkan beberapa ritual agama juga mengadaptasi dengan kondisi yang ada.

Dunia sebesar ini terguncang oleh makhluk super kecil bernama Corona. Ia bagai hantu menakutkan yang senantiasa menebar ancaman, Corona hakekatnya ada tapi tidak nampak kasat mata, sehingga sulit dilawan. Semakin hari korbannya bertambah, saat ini (29/03/20) sudah menyentuh angka dua puluh enam ribu jiwa melayang, angka ini dinamis, sangat terbuka kemungkinan untuk terus bertambah.

Ada narasi keagamaan yang coba-coba dihadapkan dengan pandemi global ini. Misalnya narasi “takut kepada Allah saja, untuk apa takut kepada Corona, mestinya takut hanya kepada Allah saja”. Corona dimaknai sebagai abail, dajjal, azab dan semacamnya. Menyikapi hal itu, ada baiknya kita melihat wabah ini dari perspektif teologis. (seperti tulisan-tulisan sebelumnya seperti teologi penanggulangan narkoba )

Menurut perspektif teologis virus Corona adalah makhluk ciptaan Tuhan, seperti manusia juga. Setiap makhluk memiliki karakter masing-masing, termasuk virus Corona. ia bersifat parasit dan mampu me-replikasi dirinya sehingga terus bertambah. Adapun media yang dipakai untuk berkembang biak adalah diri manusia, inilah yang menyebabkan manusia tidak tinggal diam, bergerak untuk bersama-sama melawannya.

Kemampuan me-replikasi dirinya merupakan kemampuan yang terberikan (given) dari Sang Pencipta, seperti manusia dengan kemampuan reproduksinya. Jadi, hemat penulis, tidak perlu dikaitkan dengan ababil, azab, dajjal atau sejenisnya. Bukan berarti ingkar terhaap kuasa dan takdir-Nya, tetapi mendudukkan perkara ini dalam sudut pandang teologi antroposentris, sehingga tidak acuh dan fatalistik.

Perlu dicatat, Corona bukan makhluk sakti, secara teologis ia hanyalah makhluk, sama seperti manusia, pasti ada sisi lemahnya. Para pakar virologi menjelaskan bahwa virus jenis ini cangkangnya mudah rusak dengan deterjen, oleh sebab itu dihimbau rajin cuci tangan memakai sabun dengan air mengalir. Adapun penyebaran virus ini adalah melalui droplet, untuk menjauhinya, pemerintah menghimbau social distancing dan work from home.

Penulis tidak sepakat kalau tinggal di rumah (stay at home) dua pekan untuk menghambat penyebaran covid-19 ini berbanding lurus dengan aksi takut mati, sama sekali tidak, rajin cuci tangan, menjaga hidup bersih, social distancing maupun stay at home semata-mata bagian dari ikhtiyar seorang hamba tuhan yang lemah.

***
Dari perspektif teologis, paling tidak ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi wabah covid-19 ini. Pertama, setiap penyakit ada obatnya. “Allah tidak menurunkan penyakti kecuali Allah juga menurunkan obatnya” (HR. Bukhari), hadis yang senada juga dapat ditemukan dalam riwayat Imam Muslim, Rasul saw bersabda, “semua penyakit ada obatnya, bila komposisinya cocok antara penyakit dan obat maka akan sembuh dengan izin Allah.”

Keyakinan sepeti di atas harus dibangun agar tumbuh optimisme kepada masyarakat luas. Para ilmuwan dihadapkan kepada medan baru untuk melakukan penelitian dan penemuan vaksin penawarnya. Bagi ilmuan, kehadiran Corona seharusnya dianggap sebagai seorang guru baru, kehadirannya akan mengajarkan sebuah objek ilmu yang baru. Dengan demikian tidak ada yang tak bermakna dalam hidup ini. Semuanya punya arti.

Kedua, yakin bahwa hakikat kematian itu datangnya dari Allah swt. Dia yang menghidupkan dan yang mematikan (QS. Al-Hadid: 2), kematian merupakan suratan takdir, adapun serangan binatang buas, kuman atau virus—termasuk Corona—pada hakikatnya hanyalah sebab belaka. Ikhtiyar tak lain dan tak bukan adalah memilih sebab kematian yang lebih baik.

Ketiga, berdoa dan tawakkal. Doa menjadi sarana yang efektif setelah ikhtiyar, karena dalam keyakinan beragama, doa adalah senjata. Doa menjadi sarana paling efektif untuk ‘meminjam’ kuasa Tuhan. Rasul saw pernah bersabda tidak ada yang bisa menolak qadha kecuali dengan doa. Dia-lah Sang Kuasa terhadap segala-galanya, kuasa-Nya itulah yang hendak dipinjam dengan cara menyusun untaian doa-doa. Setelah itu semua dilakukan barulah kemudian disusul dengan tawakkal kepada Sang Maha Kuasa.

Pandemi global saat ini harus disikapi dengan logika yang rasional-teologis, yaitu mengedepankan penalaran yang benar dan komprehensif antara kekuasaan Allah swt dengan ikhtiyar hambanya, agar tetap berfikir moderat. Moderat dalam arti, tidak takut berlebihan juga tidak nekad tanpa perhitungan. Kita semua berharap seraya berdoa semoga wabah ini lekas usai dan bumi pertiwi ini kebali ceria seperti sebelumnya.

Share:

Teologi Penanggulangan Narkoba

Tulisan yang satu ini, nasibnya agak beda dengan tulisan-tulisan sebelumnya seperti Banjir ditinjau secara teologis atau nasib baik dari tulisan teologi kekeringan, pasalnya sejak tulisan ini aku kirim kemudian saya tinggal pulang kampu, meskipun sempat paginya mencari koran yang kami tuju, namun di bawah hujan rintik-rintik dipagi hari saya ke penjual koran, ternyata lagi diborong orang, hingga saat ini belum tahu, sudah terpublish atau belum judul temanya yaitu Teologi Penanggulangan Narkoba

Di ruang dengar kita, Narkoba sudah tidak asing lagi. pemberitaannya santer di berbagai cetak dan eletronik. Meskipun sebagian orang tidak perlu lagi mengetahui delil-delik definis narkoba. Barangkali yang dikenal oleh mereka, narkoba adalah barang haram yang berbahaya dan punya efek ketagihan bagi pemakainya, karenannya menjauhinya menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan..

Narkoba menurut undang undang No. 35 tahun 2009, didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pemakainya akan mengalami ketergantungan yang sangat luar biasa, bahkan mendorong untuk melakukan perbuatan nekad tak memandang etika atau norma apapun demi untuk memenuhi ketergantungan, dari sini narkoba menjadi sumber segala keburukan—selain pengobatan atas anjuran medis-- Efek narkoba amat buruk sekali baik bersifat individual yang buntutnya terhadap dampak sosial, pendek kata, narkoba adalah musuh bersama.

Oleh karena itu, Berbagai formula penanggulangan dikerahkan, dari hulu hingga hilir disusuri dan diusut, dari pemakai sampai bandar pengedar dan kawanan yang memproduksinya. Sikap negara amat jelas dalam hal ini, yakni memberikan hukuman berat terhadap si pemakai, bahkan memberikan hukuman mati terhadap pengedar yang terbukti menjajakan narkoba dalam jumlah tertentu, seperti yang telah dilakukan pada 6 terpidana mati kasus narkoba bulan Januari 2015 yang lalu, karena dianggap pelanggaran berat yang mengancam eksistensi bangsa. 

Menyadari sedemikian besar bahayanya narkoba, Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk Badan Koordinasi, yang terkenal dengan nama Bakolak Inpres 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk kegiatan yang mengancam keamanan negara, seperti pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. 

Seiring gencarnya penanggulangan narkoba dalam berbagai bentuknya, pengguna narkoba masih menunjukkan kecenderungan meningkat, kondisi Indonesia berada pada level darurat bahaya narkoba seperti yang disampaikan Presiden. Berdasarkan data dari situs situs terpercaya yang mengutip Komjen Pol Budi Waseso Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) saat berkunjung di Pondok Pesantren Blok Agung Banyuwangi Senin (11/1/2016), bahwa jumlah pengguna narkoba di Indonesia hingga November 2015 kemarin diperkirakan mencapai 5,9 juta orang, sebuah jumlah yang sngat fantastis bagi sebuah negara yang berketuhanan.

Efek buruknya tidak hanya merugikan individu si pemakai melainkan merembet ke sosial secara umum. Secara individual pengaruh narkoba sangat aktif bekerja merusak urat syaraf sentral, jantung, darah dan denyut nadi, sedangkan secara mental, umumnya pengaruh narkotika mengakibatkan pemakainya menjadi pelupa, acuh, gelisah, gugup, emosional, apatis, putus asa pendiam, sinis pesimis dan muram (Rachman Herman, 1985), dan sederet efek negatif lainnya. Akibat rusaknya jaringan sentral syaraf dan mental yang sedemikian parah, sehingga menyeret penggunanya melakukan tindakan asusila, (Fuad Kauma, 1999), karena kesadaran dalam mempertimbangkan prilakunya berkurang yang pada akhirnya akan menimbulkan efek buruk prilaku sosialnya. 

Berangkat dari efek buruknya narkoba yang berpeluang meluas ke ranah sosial itulah, tentu tanggung jawabnya bukan hanya ditumpukan kepada pemerintah an-sich, melainkan semua elemen masyarakat dengan berbagai pendekatan harus diupayakan, demi terciptanya keamanan dan kenyamanan dari semua gangguan prilaku sosial anggota masyarakat lainnya agar terlepas dari jeratan barang haram yang bernama narkoba tersebut. Bila tidak, menurut Prof. Adrianus Meliala, Ph.D seorang Kriminolog FISIP UI, bukan tidak mungkin bangsa ini pelan-pelan mengikuti jalan kelam bangsa-bangsa besar dunia, yang menghabiskan ratusan juta dolar memerangi pedagang narkotika (Reza Indragiri, 2007).
***
Dalam agama Hindu ada enam musuh dalam diri yang harus diperangi atau lebih dikenal dengan Sad Ripu, enam hal tersebut salah satunya adalah adalah, Mabuk, bingung, marah, isi hati, rakus dan hawa nafsu, sedangkan umat Kristiani meyakini bahwa orang yang melakukan tindakan merusak dirinya tergolong umat melakukan tindakan meninggalkan tiang salib, adapun agama Budha, ada empat perbuatan yang dilarang, salah satunya adalah Majja yakni sesuatu yang mebuat seseorang tidak sadarkan diri, dalam Islam sendiri mabuk dan tindakan membahayakan sejenis narkoba sangat diharamkan (QS. al-Maidah:90-91), bahkan termasuk dosa besar, kira kira seperti itulah sikap agama-agama dalam membuat garis terang bernada melarang terhadap narkoba. 

Kiranya jelas sudah, bahwa semua agama melarang ummatnya memakai narkoba walau sekedar coba-coba, karena pemakai akan kehilangan kendali setelah syaraf sehatnya diserang dan bisa berlaku nekad, dalam ungkapan jawa yang juga merupakan wejangan Sunan Ampel mengajarkan moh limo (lima hal terlarang), lima hal tersebut yaitu main, maling, madon, mabuk, madat (narkoba), madat ini sudah dikenal sejak 700 tahun yang lalu, bahkan di duga Ken Arok membunuh Mpu Gandring juga di bawah pengaruh narkotika, sejenis kanabis dan larangannya tertuang dalam kitab nagarakertagama.

Sebagai benda yang menghilangkan kesadaran, sifatnya lebih dari memabukkan, dikonsumsi dalam jumlah sedikit maupun banyak, sama haramnya. “Sesuatu yang memabukkan dalam dosis banyak, maka sedikit juga hukumnya haram”. (HR. Tirmidzi). Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Rasulullah saw melarang setiap sesuatu yang memabukkan dan mufattir (yang merusak). Sejalan dengan tinjauan para ahli sedikitinya ada tiga efek negatif narkoba, pertama, depresan yakni memperlambat fungsi syaraf pusat sehingga hilang kesadaran dan tertidur, kedua, stimulan merangsang sistem saraf pusat meningkatkan kegairahan dan kesadaran, ketiga, halusinogen, narkoba akan mengubah rangsangan perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi. 

Penanggulangan secara normatif seperti yang lazimnya dilakukan dengan cara promotif, kuratif, preventif dan advokasi bukanlah cara yang buruk, tetapi tak ada salahnya bila pendekatan teologis dijadikan sebagai cara alternatif dalam menanggulangi bahaya narkoba, sebab semua manusia mesti mempunyai sistem kepercayaan terhadap sang maha kuasa, maha melihat atas perbuatan yang dilakukan. Dalam knteks narkoba, teologi agama-agama dimata pemeluknya mempunya garis kesamaan yang jelas, bahwa narkoba adalah barang haram yang harus dijauhi sejauh jauhnya. Dengan kata lain, narkoba bagi kaum beragama apapun adalah musuh bersama (common enemy

Cara yang paling sederhana adalah dengan cara kerjasama bahu membahu antara pemerintah (umara’) dan tokoh agamawan, yang dibentuk dalam wadah tertentu dengan legalitas formal melalui ‘palu’ hukum peraturan pemerintah serta dilakukan sistematis, terstruktur dari masyarakat bawah hingga kalangan atas, terukur dengan menggunakan fluktuasi penurunan pemakain sebagai sebagai parameternya dan terencana dalam arti sesuai dengan target dan sasarannya. Posisi tokoh agama dalam hal ini menjadi ujung tombak dan perpanjangan tangan pemerintah dalam mempertebal keimanan dan kesadaran mereka dalam beragama.

Setelah itu kemudian dilakukan penelitian hasil yang dicapai dari rencana yang telah dibuat dengan seksama dengan tujuan penebalan keimanan akan nilai luhur agama yang menyelematkan jiwa pemeluknya serta mengungkap kebesaran dan ke-Maha Tahu-an Tuhan atas perbuatan makhluknya. Cara semacam ini lebih mejadikan personal ummat sebagai titik central penanggulangan, bukan pemagaran melalui sederet peraturan yang mengesankan pemaksaan, lebih mejadikan ummat beragama dalam posisi sebagai memproteksi dirinya ketimbang sebagai obyek teks larangan ber-narkoba dari agamanya itu sendiri. Tawaran solusi ini tidak lain adalah sebagai upaya memperkaya formula penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang perlu dicoba.
Share:

Banjir Ditinjau Dari Aspek Teologis

25/02/2016
Seperti beberapa artikela lainnya yang masih membincang teologi, seperti teologi kekeringan, kali ini juga masih ada kental nuansa teologisnya yang saya beri judul Banjir Ditinjau Dari Aspek Teologis diterbitkan tanggal 25 Pebruari 2016. selamat membaca, semoga bermanfaat. 

Dedikasi manusia menjadi mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) terkadang dimaknai berlebih, alih-alih dengan argumen sebagai khalifah di bumi, mereka melegitimasi dirinya meng-eksploitasi alam tanpa batas. Alam dipandang sebagai cosmos berisi tumpukan benda mati yang dijadikan objek sasaran untuk ditundukkan, kemudian diperalat sebagai pemuas hasrat materialisme dan kerakusan manusia, dengan dukungan sains dan tekhnologi tanpa kesadaran dan tanggung jawab, modus perusakan lingkunganpun makin menggila dan mengerikan, tak pelak lagi, krisis ekologi berupa longsor, pemanasan global, kekeringan, kebakaran hutan, termasuk banjir di beberapa titik sedang aktif melumat pemukiman saudara-saudara kita. 

Penulis berasumsi, bahwa alam semesta didisain oleh tuhan seimbang sesuai takaran sunnatullah-Nya, tak terkecuali setting kemampuan bumi menyerap debit curah hujan dari langit, sekaligus menampungnya di dalam rongga tanah sebagai cadangan air di musim kemarau. Namun karena pola pikir dikotomis yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentris), menjadikan ego manusia sebagai makhluk superior bertindak sewenang-wenang pada hingga akhirnya mendegradasi peran dan fungsi bumi mengolah air hujan, baik areal luasnya maupun kualitas daya serapnya seiring peningkatan demografi pertumbuhan dan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, banjir bukan disebabkan bumi tak mampu menyerap debit air hujan, melainkan ada perubahan alih fungsi bumi yang berlebihan. 

Menurut Sayyid Hosein Nasr, kerusakan ekologis dalam pelbagai jenisnya dua abad terakhir ini disebabkan krisis spiritual, salah satu bentuknya adalah teologi antroposentris dimana memposisikan manusia sebagai penguasa alam, sehingga keduanya tidak terjalin hubungan yang harmonis. Sejalan dengan pendapat Fritjof Capra yang mensinyalir, bahwa berbagai macam ragam krisis yang terjadi saat ini disebabkan keserakahan manusia dan kerakusan memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya, sehingga mendorong ego manusia sebagai subyek penguasa, sedang alam adalah obyek sasarannya.
Share:

Valentine's Day dan Dogma Agama tentang Kasih Sayang

Hari kasih sayang atau valentine’s day yang diperingati oleh dunia pada tanggal 14 Pebruari khususnya para muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, bila ditelusuri akar historisnya, maka akan didapati banyak versi. Entahlah mana yang paling otentik untuk ditautkan sebagai legenda lahirnya hari raya cinta dan romatisasi pasangan. Banyak kalangan remaja yang merayakannya dengan saling bertukar notisi kartu ucapan valentine yang dilambangkan dengan hati dan panah disertai dengan coklat dan mawar. Bagaimanakah tinjauan historis dibalik itu semua?.

Tak sedikit remaja yang larut dalam perayaan valentine’s secara berlebihan, sampai-sampai tidak sanggup menahan gelora asmara kemudian hanyut dalam arus gelombang keburukan dengan dalih atas nama cinta dan kasih sayang, bahkan, diperparah lagi dengan pesta tukar pasangan kencan, atau berhubungan badan di luar pernikahan yang sah. Terlepas dari itu semua kasih sayang secara isi dibenarkan oleh agama sebagai sebuah kebaikan, penulis lebih kenosentrasi pemaknaan kasih sayang dari segi isi dari pada bungkusnya, lebih menitik beratkan pada konten dan tampilan.
Share:

Telaah Historis Terhadap ‘Bibit’ Teroris

29/1/2016
Jelang makan siang tanggal, 14 Januari 2016 tercatatan sejarah kelam bagi Jl. MH. Thamrin, Jakarta pusat akibat ledakan bom dan baku tembak antara aparat polisi dengan kelompok tak dikenal, korbanpun tak terelakkan, suasana Ibu Kota mendadak menjadi tegang dan mencengangkan, hujatan dan tanggapan dari berbagai pihak pun muncul seiring dengan terusiknya kenyamanan ibu kota tersebut, sebagian tanggapan menduga dilakukan oleh gerakan radikalisme atas nama agama, bahkan ada yang berasumsi karena faktor politik dan ekonomi. Penulis fokus pada penelusuran asal usul dan gerakan radikalisme dan motif pendorong dibaliknya.

Share:

Teologi Kekeringan

terbit, Kamis. 8 Oktober 2015 
Kemarau tahun ini terbilang cukup panjang, beberapa isyaratnya sudah terbaca sejak Bulan Mei ditandai dengan surutnya curah hujan, hawa sejuk mulai menghilang, perlahan-lahan curah hujan melamban dan terhenti total sejak empat bulan belakangan ini, tak pelak lagi, dampaknya terlihat nyata seperti rerumputan menguning, tanah merekah, pohon tak lagi rindang dan sumur-sumur warga secara massal mengering. Fakta ini seolah-olah membenarkan celoteh orang-orang yang berseloroh “di musim hujan kebanjiran, di musim kemarau kekeringan”

Sudah menjadi maklum, salah satu penyebabnya adalah letak geografis Indonesia berada di perlintasan garis katulistiwa yang dilalui iklim tropis dan membuka peluang anomali El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Terlepas dari setting geografis yang memang sudah terberikan dari Sang Maha Pencipta, manusia sebagai mandataris tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) dituntut kreatif dan inovatif menjaga kelestarian bumi dengan melakukan langkah antisipatif menghadapi pergantian musim kemarau diikuti cuaca ekstrim berdampak kekeringan.

Tulisan ini hendak menyoroti kekeringan dari aspek teologis, penulis menyadari sepenuhnya bahwa istilah ‘teologi kekeringan’ terdengar asing di ruang dengar kita. Perlu diketahui bahwa teologi yang dimaksud di situ adalah, sebuah pendekatan epistemologis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar, apakah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia setiap musim kemarau datang itu, takdir atau sunnatullah?
Share:

Teka-teki Arti Kebahagiaan

Terkadang diri ini mengumpat kepada prilaku diri sendiri yang tak kunjung ada perubahan secara drastis, baik dalam karir, pendidikan, keluarga maupun ekonomi, kalau toh ada, masih tergolong lamban, tapi sebagai pribadi syukur, meski harus tetap disyukuri. Semua orang menginginkan percepatan dalam perbaikan hidupnya dari beberapa hal tersebut, walaupun mayoritas orang orang menilai perubahan yang mencolok adalah perubahan sisi ekonominya. Bukankah sisi hidup ini tidak hanya problem ekonomi, jawabnya sudah pasti tentu ‘bukan’? kalau demikian, perubahan harus dimaknai secara general dan menyeluruh dari setiap delik kehidupan. Saya pikir tidak terlalu dibenarkan jika perubahan itu didasarkan secara utuh dari sisi materialnya saja, karena masih banyak sisi lain dari kehidupan selain yang bersifat materi.

Perubahan yang diyakini bisa mengubah kehidupannya kearah yang ‘lebih’ sangat diharapkan oleh siapapun selagi masih dalam catatan diagnosa sehat secara psikis, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang mutlak dicita-citakan oleh semua orang dari semua strata ‘kelas’ manapun. Meski kebahagiaan itu sendiri tak bisa terdefinisikan secara konkret dan mendetail. Kebahagiaan adalah kesenangan dan ketenteraman hidup yg bersifat lahir batin, kebahagiaan sebagai momentum yang bukan eforia yang lenyap dalam sekejap. Kebahagiaan dimengerti sebagai kehidupan yang paripurna.

Share:

Ulat Bulu dalam Bingkai Teologis

Info Meningkatnya ulat bulu akhir akhir ini banyak diperbincangkan berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Berbagai kalangan ilmuwan mencoba ‘mencari tahu’ informasi dibalik meningkatnya populasi ulat bulu (desiciria inclusa) yang begitu cepat. Bahaya ulat bulu memang tidak seperti berbahaya ledakan bom atau kebocoran nuklir, tetapi ‘ledakan’ jumlah ulat bulu sudah mampu mengusik kenyamanan, sejak terjadi pertama kali di Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Bojonegoro dan berbagai daerah lainnya termasuk Jakarta dan Medan. Fenomena seperti ini mengingatkan kita 26 Maret 2009 dimana ulat bulu juga menyerang Bandung dan Lamongan

Akibat meningkatnya populasi ulat bulu itu sampai ada beberapa sekolah diliburkan, musholla yang sementara tidak dipergunakan, dan sebagian kecil masyarakat mengungsi ke tempat lain, demi menghindari serangan ulat bulu yang perkembangannya secara mendadak bisa mencapai puluhan ribu.
Share:

Info Campuran Air Mani

Info tafsir, info filsafat, info curhat, info aqidah dan berbagai info agama lainnya ingin sekali aku ciptakan dalam situs info wiyono ini, meski dengan keterbatasan pengetahuan yang saya punya. info info info adalah keyword yang kami incar, karena itu sejak sejkarang dalam alenia pertama kalau terjadi banyak kata info mohon diabaikan saja. kalau baca info yang ada isinya silahkan klik saja info syukur, info kelahiran atau info taklif aqiqah. nah kalau yang ini baru tulisan yang sessungguhya. Air mani adalah air yang hina, secara material terbukti tidak laku dijual dipasaran atau supermarket, bahkan lebih terkesan menjijikkan, ternyata bakal kejadian ayam lebih berharga ketimbang bakal kejadian manusia. namun dengan anugerah dan seluruh potensi yang diberikan oleh Allah kepada manusia, manusia menjadi sebaik baik bentuk terutama bentuf psikisnya (ahsanutaqwim).
Share:

Ahmadiyah di Persimpangan Jalan

Mungkin akan sangat tepat jika dikatakan dengan judul Ahmadiyah di persimpangan jalan terkait dengan beberapa opsi yang berkembang tentang penyelesaian konflik Ahmadiyah di Indonesia diantaranya adalah Ahmadiyah menjadi nama agama tersendiri, menjadi Islam dengan tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dibiarkan saja atau dibubarkan. Adanya perbedaan faham ini sudah lumrah seperti halnya adanya perbedaan antara Al Ghazali dan Ibn Rusyd.

Untuk mencari solusi di atas, maka berbagai elemen masyarakat, tokoh politik, Komisi VIII, dialog-doalog di televisi, berbondong bondong mencari solusi terbaiknya hatta ada beberapa Gubernur yang melarang gerakan sekte Ahmadiyah di daerahnya, Meski saya bukan Ahmadiyah tetapi saya boleh saja berpendapat bahwa hal itu bukanlah menyelesaikan masalah, karena persoalan faham keagamaan adalah persoalan keyakinan, dengan memaksakan orang lain keluar dari keyakinan adalah sebuah pemaksaan. Dalam faham kenegaraan yang saya fahami negara harus memberikan kebebasan beragama selama tidak mengacam persatuan dan kesatuan.
Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan