Abstrack
Al farabi is a muslim philosopher who create the foundation of islamic philosophy in systemic and detailed to ease understanding for the later. The thought of his philosophy influenced by the the thought of greek philosophy, including problems the creation of the universe, in the sight of alfarabi that the universe is happening out from allah as a fist form called emanation. To obtain the truth, the philosopher can find it by using the sense, while the prophets find it by inspiration given among to the men as a god's choices. In the political field, alfarabi's viem with the concept of 'almadinat al fadilat' resembling the plato's concept of idealized country. In the concept of 'almadinat alfadilat', he said leaders are the first locomotion of the community for getting happiness, as a heart in the body which members of other body is an accomplice in that happiness desired.
Kata Kunci : Al farabi, Filsafat, Metafisika, Negara Utama, Emanasi
Pendahuluan
Al Farabi (latin: Alpharabius) menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filososf muslim terkemuka. Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Masignon memuji al Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap kalimatnya bermakna. Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang tak mungkin tertandingi derajat keilmuannya. Ia telah berhasil merekonstruksi bangunan ilmu logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan ilmu logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua (al-mu’alim ats-tsāni).
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al Farabi antara lain dengan alasan; Pertama, sangat menonjol dalam ilmu logika (manthīq) yang menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama ilmu filsafat, logika yang dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fil ‘ībārat, penguasaannya terhadap ilmu logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad, kedua, al-Farabi filososf terbesar setelah filososf Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis.
Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab ihshā’ul ‘ulūm. Kitab tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu matiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, Dalam kitab tersebut Sebagaimana Aristoteles yang membuat rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam ihsha’ul ulum al Farabi menjelas beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya.
Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujūdāt bi māhiya al-maujudāt. Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap tabir metafisika penciptaan. Al Farabi menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya dalam karyanya Ārā’ ahl al-madīnah al-fadhīlah dimulai pembahasan tentang tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, sama dengan konsep tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa, tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena tuhan telah sempurna. Dia tidak percaya bahwa tuhan tiba-tiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan pemahaman tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami perubahan.
Al Farabi sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada --sama dengan pendapat al Kindi--, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang dikonsepsikan dengan alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud tuhan dalam mensucikan tuhan, karena apabila mempunyai sifat maka tuhan tidak berbeda dengan wujud yang lain. Al Farabi mengartikan alam idea dari segi kekekalannya --mirip dengan alam akhirat--. Dalam perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang kemudian lebih masyhur dikenal dengan nama neoplatonis.
Al Farabi memandang wujud yang ada ini, merupakan mata rantai wujud abadi yang memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. Penciptaan jagad raya ini terjadi dalam sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang wujud tersendiri, langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi terhenti karena daya akal sudah melemah. Bila ditelisik hingga relung-relung pemikiran al Farabi akan kita dapati samudera keilmuannya yang sangat luas bagai lautan yang tak bertepi.
Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat metafisika penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan kenabian serta ditambahkan dengan konsep negara utama, kesemuanya mempunyai kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supay kita mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam filsafat al Farabi dengan filsafat kenabian dan filsafat politik tentang tujuan bernegara.
Biografi Singkat al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan pemikiran di situlah nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, Al Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah kristen nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M, al Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.
Beliau termasuk filososf yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah; Aghrādhu mā ba’da ath-thābi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.
Karya penting lainnya adalah Risālah al-itsbāt al-mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al jam’u baina ra’yul al-h ā kimain, kitab as-syiyāsāt al-madīnah al-fadhīlah, al mūsiqā al-kabīr, Risālah tahsīlu as-sā’adah,‘Uyūn ul-Masāil, al-Madīnah al fadhīlah, Ārā’ ahl al-madīnah al-fadhīlah, adapun al ihshāul ulūm konon merupakan karya terakhir sebelum ia wafat. Bukti bahwa al Farabi sebagai filosof yang mendalami filsafat Aristoteles adalah, konon pada saat Ibn Sina tidak memahami isi Maqālah fī Aghrād al-hakīm fī kulli Maqālah al-marsūm bi al-hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada karya al Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā ba’da al-Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya aristoteles tersebut.
Filsafat Metafisika
Tak perlu dipungkiri bahwa semua muslim percaya bahwa semua wujud yang ada adalah ciptaan Allah SWT, tetapi bila dikejar pada pertanyaan paling mendasar tentang dari mana dan bagaimana prosesnya tuhan yang maha tunggal itu menciptakan jagad raya menjadi beragam?, karena hal ikhwal penciptaan secara detai tidak pernah dikupas secara elaboratif oleh al Qur'an maupun hadits, karena kita teahu bahwa al Qur'an memuat hal-hal yang bersifat pokok dan global saja. Bagi filosof memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar kata ‘percaya’ dan akhirnya berfikir mencari rujukan karya-karya filosof Yunani sebagai tangga bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta sistematis.
Dalam dunia filsafat menyoal penciptaan , ada dua pendapat tentang penciptaan, Pandangan para filosof Yunani umumnya menyatakan bahwa, alam semesta dengan segala pernak-perniknya yang ada ini tidak diciptakan dari bahan tertentu bentuknya, melainkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), Tuhan menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apapun, melainkan dari katiadaan (ex nihilo). dengan hal ini berarti alam semesta adalah suatu creatio ex nihilo dari pihak tuhan. Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa alam ini diciptakan dari materi awal (al-hayūlā) yang bersifat abadi, alam ini tidak dicipta dari tiada (creatio an ex nihilo) melainkan ada sejak tuhan ada, mustahil tuhan ada namun tanpa ciptaan, meski secara prioritas waktu berdekatan, namun Tuhan harus dipandang sebagai pencipta.
Mengawali filsafat emanasi versi al Farabi, mungkin akan lebih mudah dimengerti bila dirunut melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya mempunyai kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik wujud alam ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi tersebut bersifat non-material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Dunia ide adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut. Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya, dengan pemikirannya yang selalu berkaitan dengan ide ini, menujukkan bahwa Plato termasuk aliran filsafat idealisme. Dengan membagi realitas menjadi dua seperti itu, Plato berusaha mempertemukan antara ‘filsafat ada’ menurut Parmenindes dan ‘filsafat menjadi’ menurut Heraklitos.
Lain Plato lain pula Aristoteles (w. 324 SM) selaku murid Plato, ia mencoba melengkapi gagasan Plato yang masih sederhana, baginya ide-ide yang dijelaskan plato tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Aristoteles memecah dualisme Plato antara alam idea dan alam materi dengan mengemukakan bahwa, alam ide dan materi itu menyatu, sejalan dengan filsafat metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda terdiri dari jiwa (matter) dan bentuk (form) jiwa adalah substansinya sedangkan melalui bentuk itulah jiwa menampakkan eksistensi. Ia telah mengatasi dualisme Plato tentang idea dan wujud, sedangkan Aristoteles lebih kepada jiwa dan materi menyatu dalam sebuah wujud. Penggeraknya –menurut Aristoteles-- adalah sesuatu yang tak bergerak yang bersifat abadi dan kekal atau lebih dikenal dengan penggerak yang tidak bergerak (al-muhārik al-ladzī lam yatakharrāk) yaitu Tuhan atau dikenal dengan causa prima.
Bagi neo-Platonis, akal menjadi adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. dari jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga,
Akal Ide
Jiwa Pemahaman
Jasad Bentuk
Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari sempurna. Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal ((bc. Tuhan). Namun demikian, hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal mempunyai ide, jiwa memiliki pemahaman, maka jasad memiliki bentuk. Semoga gambaran singkat tersebut bisa dijadikan batu loncatan untuk memahami teori emanasi ala al Farabi.
Untuk mendapatkan pemahaman mendalam, Al Farabi setelah membaca karya metafisika-nya Aristoteles ratusan kali tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan, kemudian memutuskan untuk menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan alam dari wujud tunggal yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan sempurna, menurut al Farabi, alam tercipta melalui pelimpahan atau emanasi. Proses emanasi berlangsung dari akal pertama hingga akal ke sepuluh secara serentak dan bertingkat. Disinilah nampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran metafisikanya al Farabi, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari zat yang maha tunggal, kekal dan suci melalui pelimpahan (emanasi).
Argumen al Farabi dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajibul wujūd) yaitu Tuhan, kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd) . Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan melimpah sedemimikian rupa.
Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara mekanis-determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal murni berfikir tetang dirinya yang menghasil wujud pertama (al maujud al awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya fikir tentang diri-Nya. Dari daya pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan akal pertama yang juga punya subtansi
Wujud kedua atau akal pertama berfikir tentang dirinya dan menghasilkan wujud berupa langit pertama, akal kedua berfikir tentang tuhan melahirkan akal ketiga, akal ketiga berfikir tuhan menghasilakan akal ke empat dan seterus sampai akal kesepuluh, dari kesepuluh akal akal tersebut berfikir tentang dirinya menghasilkan wujud materi berupa Lanit, Bintang, Saturnus, Yupitaer, Mars, Matahari, Venus, Mercury dan Rembulan
Maujudul Awwal
Tuhan Befikir tentang Tuhan Akal berfikir
tentang dirinya
Wujud 2 Akal 1 Langit
Wujdu 3 Akal 2 Bintang
Wujud 4 Akal 3 Saturnus
Wujud 5 Akal 4 Yupiter
Wujud 6 Akal 5 Mars
Wujud 7 Akal 6 Matahari
Wujud 8 Akal 7 Venus
Wujud 9 Akal 8 Mercuri
Wujud 10 Akal 9 Rembulan
Wujud 11 Akal 10
(Akal Fa’al) Wujud Roh
Pada akal kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi beremanasi. Begitulah mata rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh ruh manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni air, tanah, api, udara. Selanjutnya dari unsur-unsur ini bermunculan materi lain seperti besi, aluminium, tembaga, perak, emas dan muncul juga tanaman dan hewan, termasuk manusia yang diaktualkan oleh akal-akal yang berhubungan dengan akal kesepuluh (‘aql fa’al).
Dengan demikian, al Farabi hendak menjelaskan bahwa walaupun alam itu berasal dari dzat yang satu yaitu Tuhan, akan tetapi keberadaannya qadim karena dalam proses emanasi menurutnya tidak berada dalam lingkup ruang dan waktu seperti waktu di mana kita berada pada saat ini. Mungkin itulah yang dimaksud dengan waktu transenden.
Menurut Harun Nasution, kalau kaum Mu‟tazilah, berusaha memurnikan tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, berbeda dengan kaum sufi yang mensucikan tuhan dengan cara peniadaan wujud hakikat yang tampak selain wujud Allah, maka kaum filosof Islam yang dipelopori oleh al-Farabi melalui teori emanasinya (al-faidh al ilāhiy) hendak mentaqdis-kan tuhan dengan jalan meniadakan arti banyak dalam diri Tuhan, di sini dapat ditarik benang merahnya, bahwa, baik pemikiran filsafat, tasawuf dan wahyu sama sama ingin mengokohkan ke-esa-an Tuhan melalui metode yang berbeda beda. yang membedakan adalah metode yang ditempuhnya. Rupanya tidak hanya al Kindi dan Al Farabi, tetapi hal yang sama juga dijadikan pedoman oleh Ibn Sina sebagai generasi sekaligus murid al Farabi.
Hubungan Akal, Wahyu dan Konsep Kenabian
Akal dalam pemikiran filsafat al Farabi menempati tempat istimewa sebagai pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal Nabi mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran ‘ada’ dari yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al Farabi dibagi menjadi dua,
1) akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan keterampilan,
2) akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,
Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri (akal actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di dalamnya adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual.
Melalui akal intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah) ala al Farabi.
Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya tanpa harus berijtihad.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikas dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara detail.
Filsafat kenabian ini juga disinalir sebagai jawaban atas keraguan filosof sebelumnya yaitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang menolak adanya kenabian. Menurutnya, para filosof bisa mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, oleh karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan menganggap al Qura’an bukan mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal belaka. Ar Razi ingin membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini cenderung elitis dan inklusif terbatas hanya para filososf yang memungkinkan untuk melakukannya.
Al Farabi hadir dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.
Denga cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah). Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang biasa secara umum.
Konsep kenabian al Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan bekal dalam memilih seorang pemimpin.
Seperti pemikir-pemikir lainnya, al Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal kritik, pendapatnya tentang imajinasi tertinggi (al Quwwah al Mutakhayyilah) bisa mendekatkan diri kepada aql fa’al sehingga—nyaris-- sama antara filosof dengan Nabi dalam mendapatkan kritik dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat kauniyah seorang Nabi, seperti terbelahnya lautan oleh tongkat Musa, turunnya manisan dan burung puyuh (manna wa salwa), memperbanyak makanan dan minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang dan lain lain tidak mungkin bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi. Walaupun bisa saja mukjizat yang termaktub dalam kitab suci bisa ditakwilkan menjadi makna lain oleh filosof.
Konsep Negara Utama (al-Madīnah al-Fadhīlah)
Ada banyak ragam definisi negara, rupanya sesuai dengan latar belakang tokoh dan keilmuwan yang digelutinya. Robert N Bella, membagi negara menjadi tiga teori, pertama, Negara Kota yang kemudian dilanjutkan oleh al-Farabi dengan konsepsi yang dinamai dengan negara utama (al madinat al fadhilat), kedua, Masyarakat Universal yang diawali oleh Romawi dan berkembang terus hingga abad pertengahan, kemudian dilanjutkan oleh al-Ghazali, ketiga Negara Nasional yang dimulai dari zaman renaisance pada abad ke-15 sampai berkembangnya prinsip nasionalis sampai saat ini. Teori ini dalam islam dipelopori oleh Ibnu Khaldun dengan teori ashabiyah dan Negara Kemakmurannya.
Dalam konteks filsafat al-Farabi mengenai negara utama (al madinah al fadhilah), ia tuangkan dalam karyanya monumentalnya Ara’ ahl madinah al fadhilah banyak diilhami dari konsep Yunani, terutama konsep negara ideal Plato. Plato membangun idenya tentang negara menurut skema tubuh yang disebutnya macro anthropos (manusia makro), sebuah gambaran yang mendominasi filsafat politik sepanjang zaman. Penduduk politik tubuh itu pemerintah adalah kepalanya, militer adalah dadanya dan anggota tubuh lain adalah elemen negara penting lainnya. Konsep negara menurut Plato tidak lain adalah negara etik, bahwa peraturan yang menjadi dasar untuk mengurus kepentingan umum--menurut Plato-- tidak boleh diputus oleh kemauan atau pendapat seorang atau oleh rakyat seluruhnya, melainkan ditentukan oleh suatu ajaran yang berdasarkan pengetahuan dengan budi pekerti. Sehingga mencerminkan pemerintahan dipimpin oleh idea yang tertinggi, yaitu idea kebaikan atau pengetahuan.
Secara ringkas al Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fadhīlah menyatakan bahwa kecenderungan manusia hidup bersosial dengan orang lain yang kemudian melaluoi proses yang panjang terbentuklah sebuah negara. Dari Negara tersebut mereka hendak mencapai kebahagiaan secara bersama sama, indikasi kebahagiaannya adalah tercukupinya sandang, pangan, papan dan keamanan kebahagiaan yang dicita-citakan tersebut bisa dicapai dengan cara membentuk sebuah negara yang disebut negara utama (al-madinat al-fadhilat). Dalam pandangan al Farabi, negara utama diserupakan bagaikan badan sehat yang dilengkapi anggota tubuh sempurna, saling membantu dan bersinergi dengan anggota tubuh lain dalam upaya menyempurnakan kehidupan, di dalamnya mempunyai satu pemimpin yaitu jantung. Penisbatan jantung sebagai pemimpin ini dalam hal sebagai penggeraknya, oleh karena itu, semua anggota masyarakat bisa menjadi pemimpin negara, seseorang yang bisa memimpin negara adalah orang yang mempunyai kapasitas tertinggi dalam sebuah negara.
Kriterian pemimpin yang ideal adalah, fisik sempurna, cerdas, mempunyai pemahaman yang baik, pandai memberikan pemahaman kepada oranag lain, cinta terhadap ilmu pengetahuan, tidak rakus terhadap makanan, pandai bersosialisasi dengan orang lain, mempunyai sifat berjiwa besar, tidak memandang kekayaan dunia adalah segala-galanya, berlaku adil dan membenci kedhaliman, memiliki keseriusan yang tinggi terhadap sesuatu yang dianggap penting. Dari sini nampak bahwa al-Farabi ingin mengkombinasikan konsep negara pemikiran filsafat Yunani dengan Konsep Negara Islam.
Ali Maksum menuliskan, Menurut pendapat al Farabi, Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang sama persis seperti pemimpin yang dikonsepsikan oleh Plato, yakni seorang ideal yang telah mampu mengungkapkan kebenaran universal yang bersifat imajinatif yang bisa dimengerti oleh orang awam. Adapun sebagai mata rantai kenabian sebagai pemimpin sebuah negara, negara utama haruslah dipimpin oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas, akal yang jernih dan mempunyai kemampuan daya pikir yang kuat, pemimpin yang demikian ini tidak lain adalah seorang filosof.
Kesimpulan
Pertalian pemikiran al Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk memahami pokok pikiran al Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim yan ghidup dalam kesederhanaan.
Dalam filsafat metafisika, al Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-platonisme.
Bagi al Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan kecerdasan tinggi serta kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada rakyatnya. Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah satu tujuan dibentuknya negara, konsep negaranya disebut negara utama (al madinah al fadhilah)
==============
DAFTAR PUSTAKA
- Al Qur’an dan Terjemah.
- Abdul Karim, Aim, 2006, Pendidikan kwarganegaraan, (Jakarta: Grafindo)
- al Badawiy, Abd. Rahman, Rasa’il falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt)
- Al Farabi, ‘Arā’ ahl al-Madīnah al-Fadhīlah, tahqiq, Dr. Al Biir Nasri Nadir, (Beirut: Daar Al Masyriq)
- __________, Ihshā’ul ‘Ulūm , (Beirut : Inmaul Qaumiy, tt)
- __________, Tahshīlus Sa’ādat, 1995, tahqiq DR. Alibu Mulham, (Beirut: Daar al Hilal)
- Amin Abdullah, 1992, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, (Diss Yogyakarta)
- Armstrong, Karen, 2003, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Bandung: Mizan Utama
- Bagir, Haidar, 2006, Buku Saku Filsafat, Bandung: Mizan
- Bakar, Osman, 1997, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al Ghazali Dan Quthb Al-Din Al-Syirazi, Terj. Purwanto Bandung: Mizan
- Darmodiharjo, Darji, Prof., SH. 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia
- Drajat, Dr. Amroeni, 2005, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LkiS
- Fuadi, 2013, Peran Akal menurut Pandangan al-Ghazali, Jurnal Substatia, Vol. 15, No. 1
- Halim Mahmud, Ahmad, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, Kairo: Dār al Ma’ārif, tt
- Hardiman, F. Budi., 2009, Politik sebagai Pengawasan Tubuh, Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan Politik dan Erotik dalam Politea Plato, Studia Philosophica et Theologica. Volume 9. No.1
- Hatta, Muhammad, 2001, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press
- Hawa, Said, 1998, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah swt., Jakarta; Gema Insani Press
- Husein Nashr, Sayyed dan Oliver Leaman, 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, Terj. Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, Cet I.
- Ibn Taymiyah, Kitab al-Safagiyah, tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim
- Irfan, A.N., 2014, Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan Metafisika al-Farabi, CMES: Jurnal Studi Timur Tengah. Volume 7, No. 2
- Juwaini and Nik Yusri bin Musa. 2010, Konsep Akal :Suatu Analisis Terhadap Pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina." Substantia Volume12. No.2
- K. Bertens, Prof., 2008, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, cet.V
- Kartanegara, Mulyadhi, 2007, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga
- M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press
- Majid, Abdul. Filsafat Al-Farabi Dalam Praktek Pendidikan Islam. Jurnal Manarul Al Qur'an, abcd.unsiq.ac.id
- Maksum, Ali, 2009, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruz Media
- Masfoefah, Siti., 1996, Eksistensi Jiwa Menurut al Kindi. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya
- Muhammad, Hasbi, 2010 “Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam Dan Hubungannya Dengan Sains Modern”, Al-Fikr. Volume 14. No. 3
- Nasutuion, Harun, 2000, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan
- Nurdin, M. Amin, Sejarah Pemikiran Islam, (ed), (Jakarta: AMZAH), 2015
- Nurseha Dzulhadi, Qosim, 2014 “Al Farabi Dan Filsafat Kenabian”, Jurnal Kalimah, Maret, volume. 12
- Petrus L.Tjahjayi, Simon, 2004, Petualangan Intelektual: konfrontasi dengan para filusuf dari zaman yunani hingga modern, Yogyakarta: Kanisius.
- Salmah, S. Pd I. "Aktualisasi Filsafat Al-Farabi dalam Era Modern”, Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah al-Fadhilah."
- Sholihin, KH. Muhammad, 2008, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Yogyakarta: Narasi
- Uliri, Daulasi, 1961, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, Kairo: Ālam al-Kutub
- Wahid, Dr. Ali Abdul Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah lil Farabi, Kairo: Nahdhoh Mishri, tt