Nasionalisme didefinisikan sebagai paham cinta bangsa dan negara sendiri (KBBI). Adapaun tujuan paling esensial dari nasionalisme adalah membangun harmoni individu dengan masyarakat lain di atas papan bantalan cinta bangsa, negara dan tanah air. Kata kuncinya adalah cinta yang diasosiasikan secara lahiriyah dengan berperan serta merawat, mengasihi, tanggungjawab dalam mewujudkan kemanan dan kesejahteraan. Jadi, Nasionalisme secara substansi bukan ‘makhluk’ langka, meskipun secara wujud terbilang baru lahir. Kebaruannya itulah menimbulkan sebagian masyarakat gagal fokus dan menolaknya, dengan alasan nasionalisme tak berdalil.
Indikasi penolakan tersebut dapat dilihat dari cuitan netizen dan sempat viral, kurang lebih dikatakan membela nasionalisme tidak berdalil, berbeda dengan memperjuangkan khilafah yang sudah jelas. Penulis duga, penolakan tersebut bukan satu-satunya, masih banyak kelompok kecil berkepala batu yang bersumsi nasionalisme itu ajaran baru dan kebarat-baratan, setiap yang baru dianggap tak berurat nadi terhadap sendi agama.
Berbeda dengan kelompok moderat, baginya agama tanpa nasionalis akan mengantar pemeluknya menjadi ekstrimis, sebaliknya, nasionalis tanpa agama akan menggiring bangsanya menuju sekularisme yang kering spiritualitas. Antara negara dan agama dalam kontek kehidupan keduanya terletak dalam satu bingkai yang saling membutuhkan, karena berbicara agama, akan dibangun di mana jika tidak ada negara. Itulah yang menjadi pandangan para pendiri bangsa ini.
Akhir-akhir ini, keharmonisan hubungan keduanya sedikit terganggu oleh pengusung khilafah, fakta itulah menjadikan pekik nasionalisme beserta prinsip yang mengelilinginya laik untuk terus diteriakkan. Tuduhan bahwa nasionalisme tidak berdalil, adalah kesalahan. Secara implisit, nasionalisme berurat dan berakar dalam ajaran agama, sejalan dan searah. Kalau kita menyisir lembaran-lembaran kitab suci Alquran, maka di sana akan ditemukan doa Nabi Ibrahim as., ” Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya...” (QS. al-Baqarah: 126).
Ada dua hal yang sangat esensial dalam doa Nabi Ibrahim as tersebut. Pertama, keamanan sebagai kebutuhan, dalam konteks pelaksanaan ritual keagamaan, mustahil bisa melaksanakan agama dengan sempurna tanpa jaminan keamanan dari dalam negara. Oleh karena itu, kecintaan kepada negara yang diasosiasiakan dengan pengorbanan menjadi bagian dari cara beragama itu sendiri. Kedua, rizki melimpah yang mengantar bangsanya kepada kesejahteraan. Hal ini dibutuhkan juga bagi orang beragama. Faktanya, banyak ajaran agama yang pelaksanaannya berbasis materi, misalnya zakat, infak, sedekah, wakaf, hadiah dan lain sebagainya. Lagi-lagi untuk mencapai kesejahteraan dibutuhkan situasi yang kondusif yang lahir dari dari kecintaan seseorang terhadap negerinya.
Dua esesnsi doa Nabi Ibrahim as tersebut berbanding lurus dengan semangat nasionalis pancasila, yakni menciptakan keamanan bangsa dengan menjunjung persatuan dan kesatuan, sedangkan kesejahteraan sebagai tujuan akhir bernegara terwakili dengan membentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Kedua esensi doa Nabi Ibrahim tersebut, secara tidak langsung, semangat dan ide-nya tercermin dalam sila-sila pancasila.
Dengan demikian dapat disimpulkan sementara, apabila sepakat bahwa doa yang dipanjatkan Ibrahim adalah begian dari kecintaannya terhadap tanah air Mekah, maka semakin nampak jelas bahwa mencintai negeri (nasionalisme) mempunyai landasan yang cukup kuat. Tidak seperi yang dikatakan oleh sebagian kelompok yang anti nasionalisme.
Di dalam Islam, sikap mencintai negeri (nasionalis) dapat dilacak dari kecintaan baginda Nabi saw terhadap Madinah, dimana beliau menetap dan dimakamkan. Ada riwayat dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah pernah bedoa, Ya Allah cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana engkau membuat kami mencintai Mekah, atau lebih cintakanlah kami kepada Madinah (HR. Bukhari). Secara eksplisit Nabi saw memohon agar hatinya ditanamkan benih kecintaan terhadap Madinah, di sana beliau bertempat tinggal dan jasad sucinya dikebumikan. Apa yang dipraktikkan dua Nabi dan Rasul di atas sudah cukup menjadi bukti yang kuat, bahwa mencintai negeri yang atau nasionalisme mempunyai pertalian yang kuat dengan agama.
Dapat ditambahkan di sini, bahwa karakter dasar manusia sangat mencintai tanah air. Tak heran seorang perantau merindukan kampung halamannya meskipun kondisinya jauh lebih terbatas daripada di kota tempat dia bekerja. Ibrahim bin Adham, seorang sufi termasyhur pernah berkata, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air.” Hal itu menunjukkan betapa cintanya terhadap tanah air, dalam pribahasa dikatakan, hujan batu dinegara sendiri lebih dari pada hujan emas di negeri orang.
Lebih jauh, Fakhr al-Din Al-Rāzi (w. 1210 M) mengatakan dalam tafsirnya, penderitaan orang yang meninggalkan kampun halamannya sama dengan orang yang bunuh diri. Hal itu menunjukkan betapa besar rasa cinta (nasionalisme) seseorang terhadap negeri kelahirannya. Sebaliknya, betapa tersiksanya orang yang terlempar jauh dari negeri sendiri.
Rangkaian penjelasan di atas sudah lebih dari cukup, bahwa nasionalisme dalam arti mencintai tanah air yang berarti juga berkorban, membela serta merawatnya, tidak hanya bersadar terhadap tradisi keagamaan melainkan berurat-akar kuat dengan prinsip agama.