Teologi Virus Corona

Tiongkok menjadi negara pertama yang melaporkan kasus warganya terinfeksi Corona Virus Disease (Covid-19). Kemudian virus tersebut menyebar secara massif ke seluruh belahan dunia. Corona ‘mengamuk’ menyerang siapapun tidak pandang bulu, melumpuhkan berbagai sektor; politik, pariwisata, ekonomi dan budaya, bahkan beberapa ritual agama juga mengadaptasi dengan kondisi yang ada.

Dunia sebesar ini terguncang oleh makhluk super kecil bernama Corona. Ia bagai hantu menakutkan yang senantiasa menebar ancaman, Corona hakekatnya ada tapi tidak nampak kasat mata, sehingga sulit dilawan. Semakin hari korbannya bertambah, saat ini (29/03/20) sudah menyentuh angka dua puluh enam ribu jiwa melayang, angka ini dinamis, sangat terbuka kemungkinan untuk terus bertambah.

Ada narasi keagamaan yang coba-coba dihadapkan dengan pandemi global ini. Misalnya narasi “takut kepada Allah saja, untuk apa takut kepada Corona, mestinya takut hanya kepada Allah saja”. Corona dimaknai sebagai abail, dajjal, azab dan semacamnya. Menyikapi hal itu, ada baiknya kita melihat wabah ini dari perspektif teologis. (seperti tulisan-tulisan sebelumnya seperti teologi penanggulangan narkoba )

Menurut perspektif teologis virus Corona adalah makhluk ciptaan Tuhan, seperti manusia juga. Setiap makhluk memiliki karakter masing-masing, termasuk virus Corona. ia bersifat parasit dan mampu me-replikasi dirinya sehingga terus bertambah. Adapun media yang dipakai untuk berkembang biak adalah diri manusia, inilah yang menyebabkan manusia tidak tinggal diam, bergerak untuk bersama-sama melawannya.

Kemampuan me-replikasi dirinya merupakan kemampuan yang terberikan (given) dari Sang Pencipta, seperti manusia dengan kemampuan reproduksinya. Jadi, hemat penulis, tidak perlu dikaitkan dengan ababil, azab, dajjal atau sejenisnya. Bukan berarti ingkar terhaap kuasa dan takdir-Nya, tetapi mendudukkan perkara ini dalam sudut pandang teologi antroposentris, sehingga tidak acuh dan fatalistik.

Perlu dicatat, Corona bukan makhluk sakti, secara teologis ia hanyalah makhluk, sama seperti manusia, pasti ada sisi lemahnya. Para pakar virologi menjelaskan bahwa virus jenis ini cangkangnya mudah rusak dengan deterjen, oleh sebab itu dihimbau rajin cuci tangan memakai sabun dengan air mengalir. Adapun penyebaran virus ini adalah melalui droplet, untuk menjauhinya, pemerintah menghimbau social distancing dan work from home.

Penulis tidak sepakat kalau tinggal di rumah (stay at home) dua pekan untuk menghambat penyebaran covid-19 ini berbanding lurus dengan aksi takut mati, sama sekali tidak, rajin cuci tangan, menjaga hidup bersih, social distancing maupun stay at home semata-mata bagian dari ikhtiyar seorang hamba tuhan yang lemah.

***
Dari perspektif teologis, paling tidak ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi wabah covid-19 ini. Pertama, setiap penyakit ada obatnya. “Allah tidak menurunkan penyakti kecuali Allah juga menurunkan obatnya” (HR. Bukhari), hadis yang senada juga dapat ditemukan dalam riwayat Imam Muslim, Rasul saw bersabda, “semua penyakit ada obatnya, bila komposisinya cocok antara penyakit dan obat maka akan sembuh dengan izin Allah.”

Keyakinan sepeti di atas harus dibangun agar tumbuh optimisme kepada masyarakat luas. Para ilmuwan dihadapkan kepada medan baru untuk melakukan penelitian dan penemuan vaksin penawarnya. Bagi ilmuan, kehadiran Corona seharusnya dianggap sebagai seorang guru baru, kehadirannya akan mengajarkan sebuah objek ilmu yang baru. Dengan demikian tidak ada yang tak bermakna dalam hidup ini. Semuanya punya arti.

Kedua, yakin bahwa hakikat kematian itu datangnya dari Allah swt. Dia yang menghidupkan dan yang mematikan (QS. Al-Hadid: 2), kematian merupakan suratan takdir, adapun serangan binatang buas, kuman atau virus—termasuk Corona—pada hakikatnya hanyalah sebab belaka. Ikhtiyar tak lain dan tak bukan adalah memilih sebab kematian yang lebih baik.

Ketiga, berdoa dan tawakkal. Doa menjadi sarana yang efektif setelah ikhtiyar, karena dalam keyakinan beragama, doa adalah senjata. Doa menjadi sarana paling efektif untuk ‘meminjam’ kuasa Tuhan. Rasul saw pernah bersabda tidak ada yang bisa menolak qadha kecuali dengan doa. Dia-lah Sang Kuasa terhadap segala-galanya, kuasa-Nya itulah yang hendak dipinjam dengan cara menyusun untaian doa-doa. Setelah itu semua dilakukan barulah kemudian disusul dengan tawakkal kepada Sang Maha Kuasa.

Pandemi global saat ini harus disikapi dengan logika yang rasional-teologis, yaitu mengedepankan penalaran yang benar dan komprehensif antara kekuasaan Allah swt dengan ikhtiyar hambanya, agar tetap berfikir moderat. Moderat dalam arti, tidak takut berlebihan juga tidak nekad tanpa perhitungan. Kita semua berharap seraya berdoa semoga wabah ini lekas usai dan bumi pertiwi ini kebali ceria seperti sebelumnya.

Share:

No comments:

Post a Comment

Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan