• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Kewajiban Berkurban Bagi Orang Muslim

Dokumentasi Kurban di Soebono tahun 2012
Dok. kurban di Yayasan Soebono 2012

Dzulhijjah bagi umat muslim merupakan momentum bersejarah tak terlupakan, pada bulan tersebut peristiwa dahsyat yaitu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah swt menyembelih puteranya sebagai kurban. Dari situlah akar historis ibadah kurban diambil. Selain itu, Dzulhijjah juga bulan terakhir dalam perhitungan kalender hijriyah. Di akhir tahun tersebut, seolah-olah setelah bekerja setahun penuh, sebagai hamba Allah yang taat ‘ditagih’ sebagian kecil penghasilannya untuk berkurban, sebagai bentuk syukur dan cara mendekatkan diri kepada Allah. 

Adapun landasan hukum kurban didasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas ra yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ibn Majah, At-Tirmidzi, An-nasa’I, Ibn Majah dan Imam Ahmad, semakna dengan riwayat Imam Muslim.

 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا 

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas, dia berkata: “Rasulullah saw. berkurban dengan dua ekor domba jantan yang berwarna putih kehitaman lagi bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sambil mengucapkan basmalah dan bertakbir dan meletakkan kakinya di salah satu sisi dari kedua hewan tersebut. 

Dalam hadis tersebut di atas, Rasul saw berkurban dua kambing, dirinci dalam riwayat Imam Baihaqi Nabi berkurban untuk beliau dan ummatnya. Dalam hadis tersebut juga disebutkan bertanduk dan warnanya, hal ini menurut ulama’ isyarat disunnahkan yang bertanduk dan pilihan warna putih yang ada hitamnya. Pendek kata, berkurban hendaknya dengan hewan yang terbaik dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. 

Kemudian Nabi menyembalih dengan tangan beliau sendiri, artinya disunnahkan untuk menyembelihnya sendiri, kecuali ada uzur, baru diwakilkan kepada ahlinya atau panitia. dengan catatan sesuai dengan aturan syara’. 

Kemudian hadis di atas juga menyebutkan tata cara menyembelihnya, yaitu direbahkan terlebih dahulu, artinya tidak disembelih dalam keadaan berdiri. Hal ini akan dibicarakan khusus dalam kitab-kitab fiqh tentang cara penyembelihan. 

Adapun berkaitan dengan hukumya, ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ mewajibkan namun menurut jumhur menghukuminya sunnat, marilah kita udar satu persatu; 

Berkurban Hukumnya Wajib

 Pendapat yang menyatakan bahwa kurban itu wajib antara lain berdasarkan kepada Al-Qur'an dalam surat al-Kautsar.

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 

Dalam kaidahnya, perintah menunjukkan wajib, pada frase ‘berkorbanlah’ dalam surat al-Kautsar di atas difirmankan dengan bentuk amar (perintah), hal ini menunjukkan bahwa berkurban hukumnya wajib. Diperkuat dengan hadis 

 

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كان له سعة ولم يُضَحِّ فلا يقربنَّ مُصلاَّنا 

“Barang siapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah). 

Larangan mendekati tempat shalat dalam hadis di atas mengindikasikan adanya kewajiban, Di dalam kitab subul as-salam, Imam as-Shan’ani menuliskan pendapat ulama’ yang mengesankan bahwa tidak ada faidahnya melaksanakan shalat tetapi meninggalkan kewajiban ini (kurban). Adapun yang mempunyai pendapat wajibnya kurban antara lain adalah Ima Hanafi. 

Berkurban Hukumnya Sunnah

Mayoritas ulama berpendapat sunnat, salah satu dasarnya adalah hadis Ummu Salamah,

 أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يُضحى فلا يمسَّ من شعره وبشره شيئًا 

“Jika 10 Dzulhijjah telah datang, dan Apabila salah satu diantara kamu hendak berkurban maka janganlah ia menyentuh (ikut memakan) rambut dan kulitnya sedikit pun”. 

Dari hadis di atas terdapat frase, ‘apabila salah satu diantara mau menghendaki” ini menunjukkan tidak wajib. Jadi, hukum berkurban adalah sunnat, pendapat jumhur ulama’ mengatakan bahwa berkurban hukumnya sunah. Seperti pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Mundir, Daud dan Ibnu Hazm. 

Adapun berkaitan dengan hadis nabi yang bernuansa perintah/wajib, sebenarnya bagi rasul kurban adalah wajib tapi bagi ummatnya adalah sunah, Sebagaimana riwayat Imam Baihaqi, kutiba alaiyya an-nahru wa walam yuktab alaikum, diwajibkan atasku tapi tidak wajib untuk kalian. Masih hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi bahwa “ada tiga amal yang wajib bagiku, namun sunnah bagi kalian”, salah satunya adalah ibadah kurban. Bahkan dalam riwayat Imam Baihaqi yang lain dijelaskan Abu Bakar dan Umar pada tahun-tahun awal tidak berkurban karena khawatir dianggap sebagai syariat wajib, padahal secara finansial Abu Bakar termasuk sahabat yang kaya raya. 

Meski tidak wajib, tapi berkurban sangat dianjurkan karena mempunyai nilai penting bagi kemaslahatan bersama, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Saking pentingnya berkurban, dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada Imam Baihaqi, Ibn Abbas ketika jelang ‘Idul Adha memberikan dua dirham kepada budaknya untuk membel idaging dan mengabarkan kepada orang-orang sebagai kurbannya Ibn Abbas. 

Riwayat yang lain, Bilal bin Rabah berkurban dengan ayam, pendek kata, berkurban itu penting bagi siapapun. Mental Islam didik sebagai mental pekurban bukan peminta-minta, hatta sahabat sekalipun, apalagi masih sekelas ustadz, karena perbuatan meminta-minta adalah memalukan dan tidak terpuji.

Share:

Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan