Terbit, 22 Pebruari 2021 |
Semua bangsa di dunia berjibaku melawan penularan covid-19, beragam jurus dikeluarkan, namun belum ada tanda-tanda turun, justru belakangan ini menunjukkan trend peningkatan tajam, setiap harinya memakan korban puluhan ribu orang. Pendek kata, semua elemen masyarakat dibelahan dunia manapun kesulitan berdamai dengan pandemi, tak terkecuali Indonesia.
Upaya pemerintah menghambat laju penularan covid dibuktikan dengan gencar melakukan sosialisasi protokol kesehatan sudah berlangsung satu tahun, puncaknya adalah ikhtiar pemerintah yang memberikan vaksin gratis kepada semua elemen masyarakat. Meski demikian, sebentuk penolakan terhadap vaksin oleh sebagian kelompok terdengar nyarin di awal-awal sosialisai, meskipun sampai saat ini sudah mulai senyap—tetapi bukan berarti tidak ada.
Di sisi lain, masyarakat mulai jenuh terhadap situasi dan kondisi ‘terpenjara’ di rumah sendiri, terbukti banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, di jalan, perkatoran, pertokohan, tempat hiburan bahkan masih kita jumpai event resepsi yang tetap digelar meskipun sadar bahwa kerumunan massa tak terlekkan.
Pemerintah menghadapi dua masalah sekaligus yaitu masalah eksternal berupa pandemi dan problem internal berupa kejenuhan masyarakatnya untuk tetap sabar dan mengurangi mobilitas di luar rumah. Harus diakui sebagian memang terpaksa harus bekerja di luar rumah.
Kejenuhan tersebut menimbulkan sebentuk ‘putus asa’ seraya berseloroh, hidup mati sudah suratan, orang yang malang melintang di jalanan faktanya sehat-sehat saja. Fakta-fakta seperti ini kerap menjadi papan bantalan masyarakat beragama dalam mengaplikasikan tawakal. Tawakal dimaknai serampangan sebagai sistem penyerahan total tanpa ikhtiar apa-apa. Pasrah yang lebih bersifat nekad dan konyol belaka. Oleh sebab itu, rancang bangun pemikiran tawakal butuh dikonstruksi ulang—minimal diluruskan.
Tawakal disebut berulang kali dalam Alquran, namun perlu digarisbawahi, tawakkal dalam bentuk kata perintah (fi’il amr) tak kurang dari sebelas kali, sepuluh diantaranya selalu didahului dengan tindakan yang bersifat aktif, bukan menyerah dan pasrah tanpa upaya apapun.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi Rasul saw. memberikan gambaran tawakalnya dengan mengambil pelajaran dari upaya seekor burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam kondisi lapar, kemudian kembali ke sarangnya sore hari dalam kondisi kenyang. Hadis tersebut mengajarkan, untuk memperoleh anugerah harus didahului dengan aktivitas yang bersifat aktif, bukan berpangku tangan sembari mengharap keajaiban dari langit. Begitu pula dengan menghadapi pandemi saat ini, dibutuhkan ikhtiar untuk menghidarkan diri dari massifnya penularan yang terjadi.
Dari sini nampak sekali, sesungguhnya konsep tawakal adalah konsep religi yang dikonstruk sebagai konsep yang aktif, namun tidak sedikit yang karena kekerdilan pengertiannya dan kurang menghayati ajaran agama sehingga konsep tersebut berubah sebaliknya, menjadi konsep yang pasif bahkan cenderung destruktif. Alih-alih mengaku bertawakal, menyerah dengan nihil usaha.
Dalam masa pendemi seperti ini, mengaplikasikan tawakal secara aktif menjadi sangat penting. Hal itu dapat diaplikasikan ke dalam dua cara, Pertama, menyerahkan suratan takdir setelah melakukan upaya keras yang bersifat aktif. Seperti, new normal, PSBB, PPKM, sosialisasi 5M; memakain masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangin mobilitas. Karena hanya inilah langkah satu-satunya yang paling bijak hingga vaksin diberikan, bahkan setelah vaksin diberikan pun protokol kesehatan harus tetap digalakkan.
Kedua, pengadaan vaksin, bila dikatakan vaksin yang ada adalah bersifat darurat karena terlalu cepat, maka jawabannya adalah ‘iya’. Tetapi dalam kondisi darurat seperti saat ini, bukan tidak beralasan menciptakan vaksin bersifat darurat. Ibarat orang lapar adalah, kondisi saat ini mendekati kelaparan, oleh karena itu tidak perlu menunggu makanan yang benar-benar bergizi, tetapi cukup untuk menjaga kelangsungan hidup adalag prioritas pertama, kira-kira itulah eksistensi vaksin yang ada pada saat ini.
Kita tentu heran dengan pola pikir sebagian orang di masa pandemi seperti saat ini, sudah terpantau dengan mudah di Indonesia tiap harinya ribuan orang yang terpapar covid tapi pelanggaran protokol kesehatan sampai penolakan vaksin masih saja terdengar, nampaknya mereka hanya percaya dengan apa yang ia mau percaya sesuka hatinya. Salah dan benar, fakta dan fiktif hanya menjadi tumpukan berita belaka, tidak mampu mengubah ideologi dan tindakan kesehariannya.
Sebagian masyarakat merasakan jenuh ‘terkurung’ di rumah hampir satu tahun ini terjadi lompatan berfikir tentang tawakal. Pemahaman tawakal yang mengandalkan kepasrahan perlu dikontruksi ulang supaya menduduki porsi yang sebenarnya, yakni tawakal sebagai konsep religi yang bersifat aktif dan jauh dari sifat pasif. Di sinilah peran agama dan pendakwah ditantang eksistensinya.