• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts

Guru di Simpang Jalan Literasi dan Administrasi

Terbit, Februari 2025

Kehadiran guru sangat dibutuhkan oleh setiap bangsa dalam kerangka mencetak generasi penerus yang handal, di pundak mereka nasib bangsa ditentukan. John Dewey menekankan pentingnya pendidikan menjadi alat utama dalam membangun masyarakat maju. Dalam hal ini guru punya peran strategis menelurkan warga negara yang inovatif, produktif, kritis dan berdaya saing. Senada dengan teori perubahan sosial melalui pendidikan yang digagas Emile Durkheim yang mengatakan bahwa pendidikan adalah alat utama dalam membangun kohesi sosial dan integrasi masyarakat. Pendek kata, guru merupakan pilar utama dalam membangun kemajuan bangsa.

Kalau pembaca yang budiman setuju dengan mukaddimah di atas, berarti negara seharusnya selektif memilih guru dan memberi ruang pengayaan wawasan terhadap semua guru supaya up to date fokus tidak pecah dalam proses transformasi pengetahuan kepada anak didiknya. Namun faktanya tidak demikian, masih banyak guru yang disibukkan dengan administrasi yang menyita waktu.

Pagi-pagi, penulis garis bawahi, tulisan ini bukan bentuk peng-abai-an terhadap pentingnya administrasi guru, karena admninistrasi menciptakan efisiensi kerja, evaluasi siswa, profesionalisme dan kordinasi dengan orang tua. Tapi bila terlalu banyak dan bertele-tele dengan hal-hal yang bersifat administratif, bukan tidak mungkin menyebabkan defisit waktu untuk membaca.

Seyogyanya guru menjadi pembaca buku yang ‘rakus’ terhadap pengetahuan dan tidak cepat puas dengan penguasan meteri bahan ajar saja, melainkan meningkatkan perkembagan diri melalui banyak membaca, selain pengayaan wawasan juga sebagai teladan untuk siswa-siswinya, sesuai adagium Jawa guru itu digugu dan ditiru.

Sungguh memprihatinkan baca di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah,  menempati peringkat ke-60 dari 61 negara, sekitar 0,001% dari populasi yang gemar membaca, atau 1 dari 1.000 orang. Perkara seperti ini harus mendapat perhatian serius dari semua elemen bangsa.

Apabila bangsa se-kaya Indonesia dengan anugerah sumber daya melimpah, serta bonus demografi yang dimiliki tidak dikelolah dengan baik, maka kelak akan menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri. Bukan rahmat didapat melainkan laknat.

Dahulu saya pernah mendengar pidato BJ. Habibie yang mengatakan bahwa rakyat yang banyak satu sisi anugerah, tetapi bila salah kelolah akan menjadi prahara bagi bangsa itu sendiri, karena masyarakat yang banyak secara otomatis kebutuhan logistiknya besar dan rentan masalah. Oleh sebab itu butuh SDM yang kreatif, inovatif dan bijak. Pengkaderannya adalah sejak dibangku sekolah dan tumpuan harapannya adalah kualitas guru.

Berbagai strategi diupayakan, perpustakaan didirikan, bahan ajar dicetak, kontennya dibuat semenarik mungkin, namun kadang dilupakan, bahwa minat baca murid harus diimbangi minat baca guru, bila minat baca guru rendah secara otomatis minat baca murid ikut rendah. Ingat bahwa Hasil penelitian John Hattie seorang profesor dari Australia sekaligus peneliti dalam penelitiannta menunjukkan bahwa guru adalah faktor terpenting dalam keberhasilan siswa.

 ***

Sudah bukan rahasi ada sekian banyak guru mengeluh bukan karena kegiatan belajar mengajar melainkan terlalu disibukkan dengan segudang tugas administrasi yang harus diisi, hal ini menyita konsentrasi guru dalam pengajaran, antara lain, program tahunan, laporan program semester, silabus, analisis kopentensi, prosedur penilaian, RPP, jurnal guru, buku presensi, daftar nilai, pembuatan modul, pembuatan soal dan lain sebagainya. Belum lagi tuntutan administrasi dari lembaga dimana guru ditempatkan. Jadi, sebenanrnya aktifitas guru tidak hanya pada proses mengajar, melainkan guru juga harus melaksanakan evaluasi yang holistik dan formatif.

Mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga pernah menyampaikan hal ini terkati dengan beban administrasi, menurutnya "Tantangan lain yang sampai hari ini masih sering menjadi kendala peningkatan mutu pendidikan adalah tugas-tugas administrasi yang harus diselesaikan guru dan kepala sekolah," (Kamis, 20 Mei 2021)

Untuk menjadi model guru sesuai yang diharapkan, dibutuhkan solusi yang salah satunya adalah  mengurangi beban administratif, di era modern ini seharusnya informasi bisa digali dengan cepat dan akurat tanpa harus mengumpulkan bukti yang juga terkadang karya editan..Bila guru masih dihadapkan dengan sederet aturan administrasi, lebih-lebih yang bersifat formil maka fokus mengajar dan pengembangan diri berkurang sedang beban administrasi terus menghantui
Share:

Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

Al-Quar'an Ditinjau Dari Perspektif Angka

 ABSTRAK: Dekade awal turunnya Qur'an setelah wafatnya Nabi saw kira kira abad 2 hijriyah, para mufasir mengira bahwa kemukjizatan Alquran hanya terdapat pada segi bahasa saja, kemudian dengan berkembangnya disiplin tema ulumul Alquran, mereka menemukan beberapa kemukjizatan lain di dalam Alquran, seperti kemukjizatan ‘ilmi, al-ghaibiy, at-tasyrī’iy hingga saat ini ditemukan adanya kemukjizatan alquran dari segi pengulangan kata dalam Alquran yang kemudian disebut dengan i’jaz ar-raqmiy atau i’jaz ‘adadi. Kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka tergolong baru dan masih belum mempunyai metodologi baku, meski upaya ini sudah dilakukan sejak masa As-Saqafi dan Khalifah Marwan, kemudian kurun berikutnya dikembangkan oleh Rasad Khalifah, Abdul Razaq Naufal, Abd. Daim al-Kahil dan lain-lain. I’jāz ‘adadi masih perlu dikembangkan lebih sempurna lagi untuk menjadi metodologi baru dalam memahami kandungan isi Alquran.

PENDAHULUAN
Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam memberikan sajian yang mempesona dengan semua kajian keilmuan yang melekat didalamnya, baik dari segi gaya bahasa (uslub),  ketelitian redaksinya maupun hubungan pilihan diksi dengan  probabilitas kemunculan kata tersebut. Dari segi gaya bahasanya, alquran mempunyai gaya bahasa yang paling indah dalam literatur arab yang ada, Al-Khulli menyebutnya al-kitab al-‘arabiyyah al-akbar. Tidak mungkin ditandingi oleh gerombolan ahli sastra arab sekalipun. Segi otentisitas Alquran melalui periwayatan yang ketat, mustahil terjadi kesepakatan untuk berbohong. Argumen yang terkandung didalamnya tak bisa dipatahkan.

Dekade awal turunya Alquran ‘dituduh’ sebagai produk olah pikir Muhammad saw untuk mempengaruhi kaum Quraisy Mekah agar berkenan mengikuti risalah yang dibawanya, namun argumen tersebut terpatahkan oleh Nabi Muhammad saw yang tidak mengenal tulis baca (ummi). Sebenarnya pengakuan Nabi saw bahwa Alquran bersumber dari Allah adalah sudah cukup menjadi bukti, seandainya Muhammad adalah pembohong seperti yang kaum quraisy tuduhkan, mestinya beliau mengaku bahwa Alquran merupakan karyanya, untuk meningkatkan popularitas dirinya.  Bisa saja seseorang membantah sengaja dikatakan sebagai firman Allah agar ditaati dan diikuti, bukankah di dalamnya juga ada ayat-ayat yang ‘mengecam’ beliau?.  Belum lagi terkait dengan ke-ummi-an Nabi Muhammad itu sendiri. Masih sederet bukti lain yang bisa ditunjukkan dalam hal ini.

Sampai abad modern ini –dan abad-abad berikutnya—Alquran tetap kokoh menjadi penuntun kebenaran dan informasi penting bagi kehidupan, salah satu petunjuk Alquran yang mencengangkan adalah akurasi probabilitas kata yang digunakan ternyata mempunyai pertalian makna yang sempurna dengan pengulangan kata tersebut, padahal ayat demi ayat turun secara gradual dalam kurun waktu yang cukup lama, namun setelah dibukukan, ditemukan berbagai keajaiban berupa angka-angka probabilitas kemunculan kata yang mempunyai pertalian dengan makna yang dikandungnya. Tapi tak jarang juga disalahgunakan dan dipaksakan untuk menyikapi kejadian tertentu yang dianggap fenomenal (baca; cocoklogi)

Pernah ada seorang ustadz yang khutbah dengan lantang bahwa runtuhnya gedung WTC tanggal 11 September 2001 terkait erat QS. At-Taubah ayat 109. Tanggal 11 adalah angka surat at-Taubah yang terletak di juz 11, tahun 2001 dikorelasikan dengan jumlah huruf dalam surat at-taubah. Jumlah tingkat di gedung WTC ada 109 dihubungkan sebagai ayatnya. Maka lahirlah kesimpulan serampangan dengan menunjuk kepada QS. at-Taubah: 109.

Tidak hanya itu. Kejadian runtuhnya WTC hanya satu dari sekian fenomena yang dihubungkan dengan ayat Alquran dari perspektif angka. Seperti Tsunami, gempa, jatuhnya pesawat termasuk aksi 212 dan lain sebagainya. Perujukan Alquran semacam ini perlu disikapi dengan tegas dan dikaji, agar tidak lahir tafsir yang serampangan tidak berdasar kajian yang ilmiah dan validitasnya diragukan.

Ketelitian redaksi Alquran memang sangat megagumkan sehingga setiap kata mengandung mukjizat. Termasuk kemukjizatan Alquran dilihat dari perspektif angka-angka dan pengulangan kata-katanya mengandung makna yang mencengangkan yang tak tertandingi oleh karya manusia. Namun benarkah cara-cara di atas adalah bagian dari metode mengungkap sisi kemukjizatan Alquran dalam perspektif angka (i’jāz al-raqmiy atau i’jāz ‘adadi) sebagaimana sudah dilakukan para penggiat kajian Alquran terdahulu. Butuh kajian lebih mendalam dalam hal ini.


Adapun obyek kajian tulisan ini seputar mengungkap temuan-temuan mukjizat Alquran ditinjau dari perspektif angka (i’jāz ‘adadi). Adapun yang akan diulas adalah berkaitan dengan angka 7, 19 dan 11. Untuk lebih fokus terhadap arah penulisan ini, maka dipandang perlu dibuat sebuah rumusan masalah; Apa pengertian i’jaz adadi dan Bagaimana kemu’jizatan angka 7, 19 dan 11 serta korelasi pertalian makna yang dikandungnya?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan sumber-sumber terkait dengan mukjizat Alquran perspektif angka dalam kitab al mausu’ah i’jaz ar raqmi karya Abd Daim al Kahil, kemudian al i’jaz ‘adadi lil qur’ani al kariim karya Abdurrozaq Naufal,  serta beberapa karya lain yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut. 

Karena keterbatasan tempat, selanjutnya bisa anda kutip, baca dan download di link berikut: Jurnal Ushuluddin PTIQ: artikel M. Wiyono.

Share:

Potret Vaksin Dalam Rekonstruksi Tawakal

Terbit, 22 Pebruari 2021

Semua bangsa di dunia berjibaku melawan penularan covid-19, beragam jurus dikeluarkan, namun belum ada tanda-tanda turun, justru belakangan ini menunjukkan trend peningkatan tajam, setiap harinya memakan korban puluhan ribu orang. Pendek kata, semua elemen masyarakat dibelahan dunia manapun kesulitan berdamai dengan pandemi, tak terkecuali Indonesia.

Upaya pemerintah menghambat laju penularan covid dibuktikan dengan gencar melakukan sosialisasi protokol kesehatan sudah berlangsung satu tahun, puncaknya adalah ikhtiar pemerintah yang memberikan vaksin gratis kepada semua elemen masyarakat. Meski demikian, sebentuk penolakan terhadap vaksin oleh sebagian kelompok terdengar nyarin di awal-awal sosialisai, meskipun sampai saat ini sudah mulai senyap—tetapi bukan berarti tidak ada. 

Di sisi lain, masyarakat mulai jenuh terhadap situasi dan kondisi ‘terpenjara’ di rumah sendiri, terbukti banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, di jalan, perkatoran, pertokohan, tempat hiburan bahkan masih kita jumpai event resepsi yang tetap digelar meskipun sadar bahwa kerumunan massa tak terlekkan.

Pemerintah menghadapi dua masalah sekaligus yaitu masalah eksternal berupa pandemi dan problem internal berupa kejenuhan masyarakatnya untuk tetap sabar dan mengurangi mobilitas di luar rumah. Harus diakui sebagian memang terpaksa harus bekerja di luar rumah.

Kejenuhan tersebut menimbulkan sebentuk ‘putus asa’ seraya berseloroh, hidup mati sudah suratan, orang yang malang melintang di jalanan faktanya sehat-sehat saja. Fakta-fakta seperti ini kerap menjadi papan bantalan masyarakat beragama dalam mengaplikasikan tawakal. Tawakal dimaknai serampangan sebagai sistem penyerahan total tanpa ikhtiar apa-apa. Pasrah yang lebih bersifat nekad dan konyol belaka. Oleh sebab itu, rancang bangun pemikiran tawakal butuh dikonstruksi ulang—minimal diluruskan.

Tawakal disebut berulang kali dalam Alquran, namun perlu digarisbawahi, tawakkal dalam bentuk kata perintah (fi’il amr) tak kurang dari sebelas kali, sepuluh diantaranya selalu didahului dengan tindakan yang bersifat aktif, bukan menyerah dan pasrah tanpa upaya apapun.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi Rasul saw. memberikan gambaran tawakalnya dengan mengambil pelajaran dari upaya seekor burung yang keluar dari sarangnya pagi hari dalam kondisi lapar, kemudian kembali ke sarangnya sore hari dalam kondisi kenyang. Hadis tersebut mengajarkan, untuk memperoleh anugerah harus didahului dengan aktivitas yang bersifat aktif, bukan berpangku tangan sembari mengharap keajaiban dari langit. Begitu pula dengan menghadapi pandemi saat ini, dibutuhkan ikhtiar untuk menghidarkan diri dari massifnya penularan yang terjadi.

Dari sini nampak sekali, sesungguhnya konsep tawakal adalah konsep religi yang dikonstruk sebagai konsep yang aktif, namun tidak sedikit yang karena kekerdilan pengertiannya dan kurang menghayati ajaran agama sehingga konsep tersebut berubah sebaliknya, menjadi konsep yang pasif bahkan cenderung destruktif. Alih-alih mengaku bertawakal, menyerah dengan nihil usaha.

Dalam masa pendemi seperti ini, mengaplikasikan tawakal secara aktif menjadi sangat penting. Hal itu dapat diaplikasikan ke dalam dua cara, Pertama, menyerahkan suratan takdir setelah melakukan upaya keras yang bersifat aktif. Seperti, new normal, PSBB, PPKM, sosialisasi 5M; memakain masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangin mobilitas. Karena hanya inilah langkah satu-satunya yang paling bijak hingga vaksin diberikan, bahkan setelah vaksin diberikan pun protokol kesehatan harus tetap digalakkan. 

Kedua, pengadaan vaksin, bila dikatakan vaksin yang ada adalah bersifat darurat karena terlalu cepat, maka jawabannya adalah ‘iya’. Tetapi dalam kondisi darurat seperti saat ini, bukan tidak beralasan menciptakan vaksin bersifat darurat. Ibarat orang lapar adalah, kondisi saat ini mendekati kelaparan, oleh karena itu tidak perlu menunggu makanan yang benar-benar bergizi, tetapi cukup untuk menjaga kelangsungan hidup adalag prioritas pertama, kira-kira itulah eksistensi vaksin yang ada pada saat ini. 

Kita tentu heran dengan pola pikir sebagian orang di masa pandemi seperti saat ini, sudah terpantau dengan mudah di Indonesia tiap harinya ribuan orang yang terpapar covid tapi pelanggaran protokol kesehatan sampai penolakan vaksin masih saja terdengar, nampaknya mereka hanya percaya dengan apa yang ia mau percaya sesuka hatinya. Salah dan benar, fakta dan fiktif hanya menjadi tumpukan berita belaka, tidak mampu mengubah ideologi dan tindakan kesehariannya.

Sebagian masyarakat merasakan jenuh ‘terkurung’ di rumah hampir satu tahun ini terjadi lompatan berfikir tentang tawakal. Pemahaman tawakal yang mengandalkan kepasrahan perlu dikontruksi ulang supaya menduduki porsi yang sebenarnya, yakni tawakal sebagai konsep religi yang bersifat aktif dan jauh dari sifat pasif. Di sinilah peran agama dan pendakwah ditantang eksistensinya.

Share:

Banjir Perspektif Eko-Teologis

Terbit, 18 Pebruari 2021

Manusia di daulat sebagai mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) terkadang dimaknai berlebih, alih-alih sebagai khalifah semestinya melestarikan bumi, justru meng-eksploitasinya secara berlebih. Alam hanya dipandang sebagai kosmos berstruktur tumpukan material untuk ditundukkan, dinikmati dan diperalat untuk pemuas nafsu serakah belaka, efek dari semua itu adalah krisis ekologi. Dampak yang ditimbulkan ketika musim kemarau kekeringan, ketika musim hujan kebanjiran. 
 
Tidak diragukan lagi bahwa desain alam semesta pasti seimbang, tak terkecuali setting kemampuan bumi menyerap debit curah hujan kemudian menampungnya dalam rongga tanah sebagai cadangan air di musim kemarau. Namun pola pikir teologis antroposentris yang dikotomis mendorong ego manusia sebagai makhluk superior bertindak sewenang-wenang, akibatnya peran dan fungsi bumi dalam mengolah air hujan terdegradasi. 
 
Wujud kesewenang-wenangan tersebut antara lain berupa penggundulan hutan, pendangkalan sungai, tata kelolah kota yang salah diperburuk lagi problematika sampah yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan demografi penduduk biasanya konservasi alam yang menurun. Sampai di sini, sebenarnya tidak salah bila dikatakan banjir disebabkan kesalahan tangan-tangan jahat manusianya itu sendiri. 
 
Menurut Sayyid Hossein Nasr, kerusakan ekologis dalam pelbagai jenisnya dalam dua abad belakangan ini disebabkan krisis spiritual, mendudukkan manusia di singgasana penguasa alam (antroposentris), alam sebagai objek semata. Dampaknya, terjadi disharmonis antara penghuni dan lingkungannya. Walhasil, kerusakan ekologi makin parah, mata rantai ekosistem timpang, musim hujan kebanjiran, musim kemarau kekeringan. 
 
Hujan mestinya anugerah berbalik jadi petaka, bukan rahmat melainkan laknat. Fritjof Capra mensinyalir, bahwa beragam krisis sejatinya disebabkan keserakahan dan kerakusan yang menempatkan ego manusia sebagai subyek penguasa di alam semesta ini. Kalau kita sepakat bahwa salah satu sumbangsih kerusakan ekologi akibat krisis spiritual yang antroposentris, maka tawaran solutifnya adalah meningkatkan wawasan eko-teologis secara massif. 
 
 Wawasan Eko-teologis 
 
Teologi lingkungan (eco-theology) memandang alam dan manusia di hadapan Tuhan adalah sama, keduanya tidak boleh saling ‘menyakiti’. Pandangan semacam ini, satu sisi mendobrak ego, di sisi lain membangun kesadaran bahwa Tuhan poros seluruh kehidupan. Manusia dan alam sama-sama sebagai makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu keduanya harus menjalin harmoni, pola hubungan subyek ineteraktif, mutualisme dan take and give bukan dieksploitasi atas dasar kehalifahan yang kerap ditunggangi sifat rakus.
 
Wawasan eko-teologis menawarkan perspektif alternatif sebagai solusi atas penanggulangan banjir melalui dua hal; Pertama, kesetaraan manusia dan alam. Manusia dan alam adalah sejajar, masing-masing mengemban fungsi dan peran tersendiri saling menguntungkan dan bersimbiosis secara mutualistik. Eksistensi alam ini ditegaskan oleh Alquran, bahwa bukan diciptakan secara main-main (QS.44:39). Adapun karakter alam selalu bergerak konstan menuntut manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan, dalam konteks banjir manusia-lah yang semestinya bertanggung jawab melestarikan dan mengatur sedemikian rupa sehingga bumi tetap mampu menyerap debit hujan yang dikirim oleh langit. Bila terjadi langganan banjir, hal itu harus dipahami karena salah kelolah, bukan faktor cuaca semata. 
 
Kedua, amanah dalam memelihara pesona alam persada dengan cara melestarikan dan mematuhi sunnatullahnya, tidak merusaknya (QS.2:11) supaya bumi ini tetap menjadi tempat yang survive untuk anak cucu kita. Bumi merupakan satu-satunya planet yang cocok kembang biak anak cucu manusia secara turun temurun, meskipun ada ilmuwan menemukan secercah kehidupan di planet lain. Pasti, ongkos hidup di sana sangat mahal sekali. 
 
Konservasi alam dalam perspektif Islam sangat kental dengan ritual keagamaan, dimuat dalam berbagai literasi keagamaan. Misalnya, banyak dijumpai tema hadis tentang larangan membunuh hewan atau mencabut tumbuhan saat melaksanakan ibadah haji, larangan buang hajat di air tenang atau di bawah pohon rindang, memangkas pohon sedang berbuah dan masih banyak lagi tentang pelestarian lingkungan, namun terkadang karena kurang peka dengan makna esoteris, sehingga bentangan makna hadits menguap entah kemana.
 
Hak milik seutuhnya terhadap alam semesta ini adalah Tuhan. Eksistensi manusia di dunia adalah hak pakai, karena itu harus melakukan harmoni serta melestarikannya dengan penuh amanah dan tanggung jawab sebagai mandataris Tuhan di alam raya ini. Banjir, tanah longsor dan sejenisnya tidak lain adalah bagian sabda alam dan protes karena telah diperlakukan semena-mena, seperti penggundulan hutan, buruknya drainase, sempitnya lahan hijau, tata kota yang buruk dan sederet masalah penyerta lainnya. Oleh karena itu, demi keselamatan dan kenyamanan samapi ke anak cucu kita, wawasan lingkungan melalui perspektif teologis (eco-theology) seharus terus disuarakan.
 
 
Share:

Menyegarkan Nasionalisme Melawan Khilafah


Alquran menjadi kitab samawi terakhir paling sempurna diantara kitab samawai lainnya. Di dalamnya memuat aneka cakrawala pengetahuan yang tak lekang ditelan zaman. Alquran laksana samudera tak bertepi, kedalaman informasinya tidak terbatas. Untuk itulah, Alquran terus terbuka untuk diinterpretasi.

Nasionalisme menjadi perbincangan para akademisi sejak revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Isu nasionalisme berkembang ke Eropa Timur dan Tenggara pada abad berikutnya hingga sampai di Afrika memasuki abad XX, termasuk di Indonesia ditandai dengan Budi Utomo.

Nasionalisme didefinisikan sebagai paham cinta bangsa dan negara sendiri (KBBI). Adapaun tujuan paling esensial dari nasionalisme adalah membangun harmoni individu dengan masyarakat lain di atas papan bantalan cinta bangsa, negara dan tanah air. Kata kuncinya adalah cinta yang diasosiasikan secara lahiriyah dengan berperan serta merawat, mengasihi, tanggungjawab dalam mewujudkan kemanan dan kesejahteraan. Jadi, Nasionalisme secara substansi bukan ‘makhluk’ langka, meskipun secara wujud terbilang baru lahir. Kebaruannya itulah menimbulkan sebagian masyarakat gagal fokus dan menolaknya, dengan alasan nasionalisme tak berdalil.

Indikasi penolakan tersebut dapat dilihat dari cuitan netizen dan sempat viral, kurang lebih dikatakan membela nasionalisme tidak berdalil, berbeda dengan memperjuangkan khilafah yang sudah jelas. Penulis duga, penolakan tersebut bukan satu-satunya, masih banyak kelompok kecil berkepala batu yang bersumsi nasionalisme itu ajaran baru dan kebarat-baratan, setiap yang baru dianggap tak berurat nadi terhadap sendi agama.

Berbeda dengan kelompok moderat, baginya agama tanpa nasionalis akan mengantar pemeluknya menjadi ekstrimis, sebaliknya, nasionalis tanpa agama akan menggiring bangsanya menuju sekularisme yang kering spiritualitas. Antara negara dan agama dalam kontek kehidupan keduanya terletak dalam satu bingkai yang saling membutuhkan, karena berbicara agama, akan dibangun di mana jika tidak ada negara. Itulah yang menjadi pandangan para pendiri bangsa ini.

Akhir-akhir ini, keharmonisan hubungan keduanya sedikit terganggu oleh pengusung khilafah, fakta itulah menjadikan pekik nasionalisme beserta prinsip yang mengelilinginya laik untuk terus diteriakkan. Tuduhan bahwa nasionalisme tidak berdalil, adalah kesalahan. Secara implisit, nasionalisme berurat dan berakar dalam ajaran agama, sejalan dan searah. Kalau kita menyisir lembaran-lembaran kitab suci Alquran, maka di sana akan ditemukan doa Nabi Ibrahim as., ” Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya...” (QS. al-Baqarah: 126).

Ada dua hal yang sangat esensial dalam doa Nabi Ibrahim as tersebut. Pertama, keamanan sebagai kebutuhan, dalam konteks pelaksanaan ritual keagamaan, mustahil bisa melaksanakan agama dengan sempurna tanpa jaminan keamanan dari dalam negara. Oleh karena itu, kecintaan kepada negara yang diasosiasiakan dengan pengorbanan menjadi bagian dari cara beragama itu sendiri. Kedua, rizki melimpah yang mengantar bangsanya kepada kesejahteraan. Hal ini dibutuhkan juga bagi orang beragama. Faktanya, banyak ajaran agama yang pelaksanaannya berbasis materi, misalnya zakat, infak, sedekah, wakaf, hadiah dan lain sebagainya. Lagi-lagi untuk mencapai kesejahteraan dibutuhkan situasi yang kondusif yang lahir dari dari kecintaan seseorang terhadap negerinya.

Dua esesnsi doa Nabi Ibrahim as tersebut berbanding lurus dengan semangat nasionalis pancasila, yakni menciptakan keamanan bangsa dengan menjunjung persatuan dan kesatuan, sedangkan kesejahteraan sebagai tujuan akhir bernegara terwakili dengan membentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Kedua esensi doa Nabi Ibrahim tersebut, secara tidak langsung, semangat dan ide-nya tercermin dalam sila-sila pancasila.

Dengan demikian dapat disimpulkan sementara, apabila sepakat bahwa doa yang dipanjatkan Ibrahim adalah begian dari kecintaannya terhadap tanah air Mekah, maka semakin nampak jelas bahwa mencintai negeri (nasionalisme) mempunyai landasan yang cukup kuat. Tidak seperi yang dikatakan oleh sebagian kelompok yang anti nasionalisme.

Di dalam Islam, sikap mencintai negeri (nasionalis) dapat dilacak dari kecintaan baginda Nabi saw terhadap Madinah, dimana beliau menetap dan dimakamkan. Ada riwayat dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah pernah bedoa, Ya Allah cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana engkau membuat kami mencintai Mekah, atau lebih cintakanlah kami kepada Madinah (HR. Bukhari). Secara eksplisit Nabi saw memohon agar hatinya ditanamkan benih kecintaan terhadap Madinah, di sana beliau bertempat tinggal dan jasad sucinya dikebumikan. Apa yang dipraktikkan dua Nabi dan Rasul di atas sudah cukup menjadi bukti yang kuat, bahwa mencintai negeri yang atau nasionalisme mempunyai pertalian yang kuat dengan agama.

Dapat ditambahkan di sini, bahwa karakter dasar manusia sangat mencintai tanah air. Tak heran seorang perantau merindukan kampung halamannya meskipun kondisinya jauh lebih terbatas daripada di kota tempat dia bekerja. Ibrahim bin Adham, seorang sufi termasyhur pernah berkata, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air.” Hal itu menunjukkan betapa cintanya terhadap tanah air, dalam pribahasa dikatakan, hujan batu dinegara sendiri lebih dari pada hujan emas di negeri orang.

Lebih jauh, Fakhr al-Din Al-Rāzi (w. 1210 M) mengatakan dalam tafsirnya, penderitaan orang yang meninggalkan kampun halamannya sama dengan orang yang bunuh diri. Hal itu menunjukkan betapa besar rasa cinta (nasionalisme) seseorang terhadap negeri kelahirannya. Sebaliknya, betapa tersiksanya orang yang terlempar jauh dari negeri sendiri.

Rangkaian penjelasan di atas sudah lebih dari cukup, bahwa nasionalisme dalam arti mencintai tanah air yang berarti juga berkorban, membela serta merawatnya, tidak hanya bersadar terhadap tradisi keagamaan melainkan berurat-akar kuat dengan prinsip agama.

Share:

Tanatophobia Di Tengah Corona Merona

Dampak ‘serangan’ virus Corona saat ini telah dirasakan oleh seluruh dunia, secara fisik maupun mental. Pemerintahan di seluruh dunia berjibaku melawan melaluipembuatan kebijakan-kebijakan baru, semua fokus untuk menyelamatkan bangsanya masing-masing.

Pandemi global yang terjadi saat ini, membuat mesin pemerintahan menjadi terganggu dan stagnan, tidak hanya terbatas secara fisik seperti ekonomi, politik, budaya dan pariwisata, tapi Corona juga menggelayuti mentalmasyarakat dunia. Banyak manusia di muka bumi saat ini merasa terancam, tidak nyaman dan cemas hingga takut terhadap kematian, walaupun setiap individu percaya bahwa kematian itu sebuah kepastian. Kalau tidak dicarikan solusinya dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit thanatophobia.

Thanatophobia berasal dari bahasa latin yaitu thanatos yang berarti kema ian dan phobia yang berarti takut yang berlebihan. Jadi, thanatophobia diartikan sebagai gangguan kegelisahan yang diderita oleh individu karena takut yang berlebihan terhadap kematian. Pengidap thanatophobia melihat dirinya seolah sudah berada tepat di palang pintu kematian, sehingga aktivitasnya terhenti, karena takut mati ‘diserang’ Corona.

Penyebaran virus Corona yang sangat massif ke seluruh dunia dan grafik angkakorbannya terus meningkat, mengirimkan pesan kecemasan dan suasana kepanikan yang luar biasa, acap kali mendengar kata ‘Corona’. Belum lagi derasnya arus informasi yang hoax membuat galau ini semakin paripurna.

Untuk menghindari terjadinya sifat cemas yang berlebih itu, masyarakat butuh edukasi sebagai bentuk coping stress kepada mereka agar terhindar dari sifat thanatophobia. Menurut Rasmun dalam bukunya Stress, Coping dan Adaptasi, Coping merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. (Rasmun, 2004; 29)

Apabila tidak dipersiapkan dengan baik pasca stay at home maupun social distancing bukan tidak mungkin akan menyisakan pengalaman traumatik,mengubah prilaku sosial keseharian kita, dari ceria menjadi pemurung. Padahal jaga jarak dan tinggal dirumah saja sementara ini adalah bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran belaka, bukan memupuk rasa takut mati

***
Sebenarnya apa yang membuat kita takut menghadapi kematian?. Ragib al-Asfihani dalam kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim as-Syari’ah menjelaskan bahwa ada empat hal yang membuat seseorang takut mati, salah satunya adalah disebabkan kehidupan setelah mati menjadi adalah kehidupan secara isterius. Siapapun tidak mengetahui secara pasti dan ilmiah apa yang terjadi di sana. Mereka yang telah mati tak pernah kembali dan mereka yang hidup tidak kuasa untuk coba-coba masuk ke alam baka, dimana para leluhur telah mendahului kita.

Novelis Amerika Serikat, Andrew Anselmo Smith pernah mengatakan, “Manusia itu mempunyai sifat takut pada hal-ihwal yang tidak bisa difahami dan benci terhadap sesuatu yang tidak bisa ditaklukkan.”

Kematian yang sedang kita bahas ini,berkesesuaian dengan ugkapan Smith, bahwa kematian merupakan sesuatu yang ‘tidak bisa dipahami’ dan ‘tidak bisa ditaklukkan’. Untuk menghindari  terjangkit thanatophobia sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai obat.

Pertama, kematian adalah kepastian. Orang yang takut dan yang berani,keduanya akan sama sama merasakan kematian (dza’iqatul maut). Oleh karena itu memikirkan, kemampuan manusia yang lemah ini terbatas hanya memilih sebab-sebab yang mengantar kematian. Dalam arti, menginginkan kematian dalam keadaan berbuat baik dan menyenangkan. Lebih baik mati sebab sakit biasa daripada sebab korona, ikhtiyar itulah yang saat ini sedang dilakukan bersama-sama. Selebihnya kehendak Tuhan yang pasti menang.

Kedua, hidup ini bagaikan tugas atau kerja, sedangkan kematian ibarat menjemput honornya. Segala aktivitas kebaikan maupun keburukan punya konsekuensi masing-masing, kebaikan berbalas kebaikan pun juga demikian sebaliknya (Qs. al-Isra’:7). Dengan analogi seperti ini, kematian mesti disambut dengan gembira karena akan menerima balasan.

Ketiga, kematian adalah kembali kepada pemiliknya, sebenarnya manusia tidak ditempatkan di dunia yang fana ini, tetapi ditempatkan di alam yang lebih kekal, oleh karena itu ia ‘diperjalankan’ ke alam berikutnya untuk menuju alam akhirat. Jadi, kematian layaknya seperti pulang kampung halaman. Karena itulah orang Islam dikenalkan dengan istirja’ atau ucapan innalillahi wa innal ilayhi raji’un.

Kematian menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan, oleh siapapun dan agama manapun. Oleh karena itu tidak terlalu penting memikirikan kematian, yang terpenting adalah ikhtiyar mencari penyebab kematian. Stay at home dan social distancing dalam konteks wabah seperti saat ini bukan karena takut kematian, melainkan ikhtiyar untuk lari dari penyebab kematian yang satu menuju kematian yang lebih baik
Share:

Urgensi Ta'jil Zakat Fitrah

Diterbitkan tanggal, 24 April 2020
Islam sebagai agama pamungkas, hadir menawarkan konsep zakat sebagai salah satu solusi memerangi kemiskiann dan kekuarangan pangan, terlebih dalam kondisi sulit di tengah ‘gempuran’ virus korona yang belum terlihat tanda-tanda menurunkan tensi serangannya. Dampak korona sangat luar biasa; penghasilan ekonomi tergerus, PHK tak terhindari, kemiskinan meningkat dan pengangguran semakin merajalela. Bersamaan dengan itu, kita memasuki bulan suci Ramadhan, di mana semua umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah, melalui pendekatan maqashid syariah, penulis yakin zakat fitrah semakin menemukan urgensinya.

Zakat tidak lahir begitu saja dalam ruang hampa masalah, melainkan ada maksud terentu dibalik pensyariatan zakat tersebut, sebagaimana syariat agama lainnya seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Al-Syathibi dalam karyanya al muwafaqat secara meyakinkan mengatakan, syari’at bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat kepada penganutnya (Beirut: 1999, 281). Sejalan dengan Fathi al-Daraini, ia berpendapat hukum-hukum itu tidak dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain, yakni kemaslahatan (Damaskus, 1975, 28). tidak terkecuali dengan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal.

Secara geneologi, maqashid al-syari'ah didasarkan kepada pertimbangan yang logis, bahwa wahyu agama mengandung spirit yang berlaku untuk seluruh umat Islam dari masa ke masa dan abadi. Melalui interpretasi-interpretasi spirit wahyu tersebut menghasilkan produk hukum yang adaptatif, lentur, relevan dan salih fi zaman wa makan. Termasuk dalam hal ini adalah spirit ta’jil zakat fitrah di tengah pandemi korona

Zakat Fitrah di Tengah Korona
Zakat melahirkan dimensi kesalehan ganda, satu sisi mengandung kesalehan individual, di sisi yang lain, zakat sarat dengan kesalehan sosial. Kesalehan individual zakat fitrah tercermin dari pensucian diri dan membersihkan diri dari kikir. Selain itu, zakat fitrah merupakan implementasi iman serta bukti kepatuhan terhadap perintah agama. Jadi, zakat bukan semata-mata lahir dari sifat iba si kaya kepada si miskin, melainkan menjadi bagian dari komitmen keagamaan the have kepada the have not
Dimensi sosial zakat--termasuk fitrah--menghendaki adanya pemerataan dan tolong menolong kepada fakir miskin, pelakunya melakukan zakat dengan suka rela, bukan karena dorongan rasio timbal balik untung dan rugi. Zakat fitrah semata-mata dimaksudkan untuk meringankan himpitan beban hidup bagi fakir dan miskin. 

Zakat fitrah diwajibkan kepada semua orang Islam; kecil, besar, lelaki maupun perempuan. Semakin besar jumlah pemeluk Islam, semakin besar pula potensi zakat yang bisa dihimpun. Menurut globalreligiusfutures tahun 2020 penduduk muslim di Indonesia diperkirakan mencapai 263,92 juta jiwa. Sebuah jumlah yang fantastis, apabila dikelola dengan baik, maka zakat fitrah pasti memberi kontribusi positif terhadap ketersediaan pangan bagi fakir-miskin yang terus menerus tergerus tergerus oleh pademi saat ini.

Besaran zakat fitrah memang tidak sebanyak zakat harta (maal), namun karena jumlah muslim yang banyak tersebut sehingga memperoleh jumlah yang besar pula. Besarannya adalah satu sha’ kurma atau gandum (HR. Bukhari) atau setara dengan 2,7 kg bahan pokok. Dalam distribusinya, zakat fitrah difokuskan kepada konsumsi tradisional, dalam arti dapat dimanfaatkan secara langsung oleh penerimanya (mustahiq) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan kalkulasi matematis, zakat fitrah yang dibayarkan oleh 263,92 juta muslim, dapat menghimpun bahan makanan 712,5 ribu ton. Perolehan zakat fitrah tersebut apabila dibagikan kepada masyarakat miskin yang saat ini diperkiran 24.79 juta jiwa, maka masing-masing mendapat lebih dari 28 kg per-jiwa. Jumlah tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka selama satu bulan Ramadhan di rumah saja. 

Kemudian untuk kebutuhan lauk-pauk dan kebutuhan lainnya masih bisa dapat dipenuhi dari zakat harta (maal). Zakat harta justru lebih besar lagi, dengan asumsi semua orang kaya membayar zakat secara penuh, diperkirakan tahun ini ada 340 trilyun rupiah yang bisa dihimpun. Artinya, kebutuhan makanan pokok dan lauk pauk untuk masyarakat miskin dalam masa pademi korona selama bulan Ramadhan sudah aman tercukupi dari zakat. Keluarga miskin pegawai harian tidak harus keluar rumah untuk mengais nafkah, sambil menunggu ‘gempuran’ virus korona reda. Di sinilah nilai urgensi menyegerakan waktu membayar zakat (ta’jil zakat

Waktu afdhal untuk membayar zakat fitrah adalah menjelang hari raya tiba, namun boleh juga dibayarkan di awal Ramadhan menurut mazhab Syafi’i. Dari dua pendapat tersebut, apabila kita merujuk kepada spirit syariat zakat sebagai kesalehan sosial dalam kondisi pandemi korona seperti saat ini, bisa jadi membayar zakat fitrah di awal ramadhan justru lebih dianjurkan. 

Alasannya, karena dalam rangka upaya pemutusan mata rantai penyebaran virus korona. masyarakat disarankan untuk tinggal di rumah, namun bagi orang miskin hal itu tidak mungkin, karena ada tuntutan hidup dengan mengais nafkah di luar rumah. Kenyataan itulah yang menuntut adanya perubahan waktu untuk menyegerakan bayar zakat fitrah di awal sebagai pembelajaran sikap sensitive to the reality.

Himbauan menyegerakan zakat di awal Ramadhan, secara formal juga disuarakan pemerintah melalui Surat Edaran Kemenag Nomor 6 tahun 2020, walaupun pemerintah sudah punya otoritas yang kuat terkait isu pengelolaan zakat berdasarkan UU RI No. 38 tahun 1999. Sayangnya kurang efektif. Dalam konteks ta’jil zakat fitrah ini, mungkin sosialisasinya akan lebih efektif bila ada keterlibatan para da’i, kyai, pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat. Kita semua tentu berharap, semoga pandemi korona ini tidak berlangsung lama, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih serius lagi dari sekedar persoalan pangan.

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan..!!
Share:

Teologi Virus Corona

Tiongkok menjadi negara pertama yang melaporkan kasus warganya terinfeksi Corona Virus Disease (Covid-19). Kemudian virus tersebut menyebar secara massif ke seluruh belahan dunia. Corona ‘mengamuk’ menyerang siapapun tidak pandang bulu, melumpuhkan berbagai sektor; politik, pariwisata, ekonomi dan budaya, bahkan beberapa ritual agama juga mengadaptasi dengan kondisi yang ada.

Dunia sebesar ini terguncang oleh makhluk super kecil bernama Corona. Ia bagai hantu menakutkan yang senantiasa menebar ancaman, Corona hakekatnya ada tapi tidak nampak kasat mata, sehingga sulit dilawan. Semakin hari korbannya bertambah, saat ini (29/03/20) sudah menyentuh angka dua puluh enam ribu jiwa melayang, angka ini dinamis, sangat terbuka kemungkinan untuk terus bertambah.

Ada narasi keagamaan yang coba-coba dihadapkan dengan pandemi global ini. Misalnya narasi “takut kepada Allah saja, untuk apa takut kepada Corona, mestinya takut hanya kepada Allah saja”. Corona dimaknai sebagai abail, dajjal, azab dan semacamnya. Menyikapi hal itu, ada baiknya kita melihat wabah ini dari perspektif teologis. (seperti tulisan-tulisan sebelumnya seperti teologi penanggulangan narkoba )

Menurut perspektif teologis virus Corona adalah makhluk ciptaan Tuhan, seperti manusia juga. Setiap makhluk memiliki karakter masing-masing, termasuk virus Corona. ia bersifat parasit dan mampu me-replikasi dirinya sehingga terus bertambah. Adapun media yang dipakai untuk berkembang biak adalah diri manusia, inilah yang menyebabkan manusia tidak tinggal diam, bergerak untuk bersama-sama melawannya.

Kemampuan me-replikasi dirinya merupakan kemampuan yang terberikan (given) dari Sang Pencipta, seperti manusia dengan kemampuan reproduksinya. Jadi, hemat penulis, tidak perlu dikaitkan dengan ababil, azab, dajjal atau sejenisnya. Bukan berarti ingkar terhaap kuasa dan takdir-Nya, tetapi mendudukkan perkara ini dalam sudut pandang teologi antroposentris, sehingga tidak acuh dan fatalistik.

Perlu dicatat, Corona bukan makhluk sakti, secara teologis ia hanyalah makhluk, sama seperti manusia, pasti ada sisi lemahnya. Para pakar virologi menjelaskan bahwa virus jenis ini cangkangnya mudah rusak dengan deterjen, oleh sebab itu dihimbau rajin cuci tangan memakai sabun dengan air mengalir. Adapun penyebaran virus ini adalah melalui droplet, untuk menjauhinya, pemerintah menghimbau social distancing dan work from home.

Penulis tidak sepakat kalau tinggal di rumah (stay at home) dua pekan untuk menghambat penyebaran covid-19 ini berbanding lurus dengan aksi takut mati, sama sekali tidak, rajin cuci tangan, menjaga hidup bersih, social distancing maupun stay at home semata-mata bagian dari ikhtiyar seorang hamba tuhan yang lemah.

***
Dari perspektif teologis, paling tidak ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi wabah covid-19 ini. Pertama, setiap penyakit ada obatnya. “Allah tidak menurunkan penyakti kecuali Allah juga menurunkan obatnya” (HR. Bukhari), hadis yang senada juga dapat ditemukan dalam riwayat Imam Muslim, Rasul saw bersabda, “semua penyakit ada obatnya, bila komposisinya cocok antara penyakit dan obat maka akan sembuh dengan izin Allah.”

Keyakinan sepeti di atas harus dibangun agar tumbuh optimisme kepada masyarakat luas. Para ilmuwan dihadapkan kepada medan baru untuk melakukan penelitian dan penemuan vaksin penawarnya. Bagi ilmuan, kehadiran Corona seharusnya dianggap sebagai seorang guru baru, kehadirannya akan mengajarkan sebuah objek ilmu yang baru. Dengan demikian tidak ada yang tak bermakna dalam hidup ini. Semuanya punya arti.

Kedua, yakin bahwa hakikat kematian itu datangnya dari Allah swt. Dia yang menghidupkan dan yang mematikan (QS. Al-Hadid: 2), kematian merupakan suratan takdir, adapun serangan binatang buas, kuman atau virus—termasuk Corona—pada hakikatnya hanyalah sebab belaka. Ikhtiyar tak lain dan tak bukan adalah memilih sebab kematian yang lebih baik.

Ketiga, berdoa dan tawakkal. Doa menjadi sarana yang efektif setelah ikhtiyar, karena dalam keyakinan beragama, doa adalah senjata. Doa menjadi sarana paling efektif untuk ‘meminjam’ kuasa Tuhan. Rasul saw pernah bersabda tidak ada yang bisa menolak qadha kecuali dengan doa. Dia-lah Sang Kuasa terhadap segala-galanya, kuasa-Nya itulah yang hendak dipinjam dengan cara menyusun untaian doa-doa. Setelah itu semua dilakukan barulah kemudian disusul dengan tawakkal kepada Sang Maha Kuasa.

Pandemi global saat ini harus disikapi dengan logika yang rasional-teologis, yaitu mengedepankan penalaran yang benar dan komprehensif antara kekuasaan Allah swt dengan ikhtiyar hambanya, agar tetap berfikir moderat. Moderat dalam arti, tidak takut berlebihan juga tidak nekad tanpa perhitungan. Kita semua berharap seraya berdoa semoga wabah ini lekas usai dan bumi pertiwi ini kebali ceria seperti sebelumnya.

Share:

Islam Moderat Merawat Kebhinekaan

Diterbitkan, 13 September 2017
Bumi Nusantara selain kaya sumber daya alamnya juga kaya etnis, suku, bahasa budaya dan agama. Keberagaman ini selain menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti juga menjadi sebuah ancaman yang mengerikan bila tidak pandai-pandai merawatnya, terlebih persoalan yang berkaitan dengan perbedaan agama dan keyakinan. Tentu masih lekat dalam benak kita, bahwa secara historis, sejak penetapan sila pertama pancasila sudah berpolemik antara rumusan pancasila Muhammad Yamin dan sudah rentan dalam pancasila sudah mengalami

Meskipun mayoritas penduduk di bumi Nusantara ini beragama Islam, namun rupanya para pendiri negeri sadar, bahwa Indonesia lahir dari rahim perjuangan bersama, bukan pejuang Islam semata, di dalamnya ada juga non-muslim yang berperan secara aktif mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, karenanya secaral legal-formal, Indonesia memberikan payung teduh agama dan keyakinan lain bernaung di bawahnya, selama keyakinan tersebut tidak mengancam eksistensi NKRI, sebaliknya, apabila ada sekelompok orang yang mengancam persatuan dan kesatuan republik ini, mereka adalah musuh bersama (common enemy), meski mengaku berfaham Islam sekalipun.

Bagi penulis, dasar negara berfungsi mengatur tata cara atau rambu-rambu etika berbangsa, selama prinsip dasar praktik beribadah tidak dibatasi kekuasaan dasar negara yang ada, maka tidak ada alasan untuk ‘menentang’ dasar negara yang telah dirumuskan oleh pendahulu-pendahulu negeri ini.

Dr, Mukhlis Hanafi seorang penulis dan penggiat kajian al Qur'an dalam kuliah perdananya kepada kader mufasir dan pasca tahfiz di Masjid Bayt Al Qur'an, memperkenalkan misi Pusat Studi Al Qur'an (PSQ) dalam merawat Islam moderat (al-Islamiyah al-wasathiyyah) yang dituangkan dalam trilogi pembacan kitab suci al Qur'an. Sederhanya adalah menghidangkan Islam moderat di tengah-tengah masyarakat yang mejemuk.

Konsep ini menjadi kebutuhan yang bersifat urgen, di saat praktik keber-agama-an mengalami dilematis, satu sisi kajian al Qur'an semakin marak menyentuh berbagai lapisan masyarakat, sejak usia dini, remaja, dewasan dan orang tua, termasuk ranah jelajahnya pun meluas tidak hanya di masjid, di sekolah atau di kampus tetapi juga sampai ke instansi atau perkantoran tertentu, namun pada saat yang bersamaan, pemaknaan atas nama al Qur'an (baca: tafsir) seringkali ‘dicurigai’ sebagai alat untuk melegitimasi kelompok tertentu. Akibatnya, memperuncing perbedaan –bila keberatan dikatakan perpecahan--antar golongan di dalam internal Islam itu sendiri, bahkan bisa menimbulkan teror bagi agama lain yang bertempat tinggal dalam wadah besar bernama NKRI.
***
Merujuk kepada arti trilogi itu sendiri adalah kesatuan gagasan atau pokok pikiran yang dituangkan dalam tiga bagian yang saling terhubung. Dalam ranah kesusastraan, istilah ini memiliki arti seri karya yang terdiri atas tiga kesatuan yang utuh.

Tiga kesatuan dalam pemahaman al Qur'an itu meliputi, pertama, membaca al Qur'an dan menghafal (tilawatan wa tahfidzan), kedua, pemahaman dan penafsiran (fahman wa tafsiran) kandungan isi al Qur'an atau penafsiran yang benar sesuai kaidah tafsir yang telah disepakati oleh para ulama’, ketiga, pengamalan dan dakwah (amalan wa da’watan), orientasi pemahaman tersebut dimaksudkan untuk pengamalan sehari hari secara pribadi, kemudian berlanjut kepada tuntutan berdakwah diformulasikan untuk menularkan ‘virus’ kebenaran interpretasi kitab suci kepada masyarakat yang mulai dikungkung penafsiran tekstual, bahkan terkadang rigid. Seorang muslim tidak hanya diarahkan membaca al Qur'an untuk dinikmati keindahan susunan bahasanya belaka, lebih dari itu, pembacaan terhadap al Qur'an harus diarahkan untuk membuka cakrawala makna pengatahuan yang terkandung di dalamnya.

Pemahaman terhadap kandungan isi al Qur'an tidak hanya sebatas pelepas dahaga pengetahuan semata, bagai oase di tengah padang pasir, akan tetapi menuntut pembacanya untuk diamalkan, dipedomi dan dijadikan pegangan hidup sehari-hari, mampu tampil menjadi teladan masyarakat sekelilingnya. Perlu segera dicatat, bahwa toleransi di sini tidak identik dengan ‘pembiaran’ manafikan dakwah, melainkan harus terus menerus mengajak kepada jalan kebenaran sesuai dengan yang kita yakini, tetapi terus menerus melakukan gerakan dialogis dengan budaya yang berkembang tanpa melahirkan kekerasan dan kebencian kepada kelompok lain.

Baru baru ini, terlahir disertasi yang ditulis oleh Dr. Irawan, ia membincang empat tokoh pluralis dengan pendekatan filsafat perenial, keempat tokoh tersebut adalah Sayyid Husein Nasr, Gary Legenhausen, Gus Dur dan Cak Nur, keempat-empatnya mempunyai pandangan yang seragam, bahwa semua pemeluk agama berkeyakinan memperoleh keselamatan di alam ‘sana’. Dalam konteks kindonesiaan, pandangan tersebut ekuivalen dengan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing masing, mereka sejajar sama-sama berpayung teduh di bawah Pasal 29 UUD 1945. Bila demikian, maka harus ada komitmen bersama antar-intern ummat beragama merawat kebinekaan dalam bingkai persatuan dan kesatuan, tidak sekedar wacana tapi harus diwujudkan dalam bentuk nyata.
Prof. Nasaruddin Umar, guru besar bidang tafsir, dalam pengantar Muslim moderat: toleransi, terorisme, dan oase perdamaian dengan tegas mengatakan, salah satu ide dasar pemeliharaan moderasi Islam di negeri ini diwujudkan dalam komitmennya dalam melestarikan warisan khazanah Islam klasik dengan mengambil aspek-aspek hal baru yang relevan atau lebih dikenal dengan diktum al-muḥāfadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.

Harus diakui, memang bukan tugas ringan memuluskan jalannya agenda moderasi Islam, jalan yang dilalui penuh onak duri, banyak aral melintang, terlebih buku panduan sucinya berupa teks yang sudah final, sedangkan problem kehidupan berjalan secara dinamis, dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan dalam bidang tafsir, supaya penafsiran kandungan teks suci tetap terjaga sakralitasnya.

Melalui penerapan konsep trilogi qur’ani tersebut di atas, terselip secercah harapan terang menciptakan Islam moderasi di negeri yang majemuk ini, sekaligus mengawal jalannya dinamisasi konstelasi perkembangan NKRI yang semakin majemuk. Selain itu trilogi qurani ini juga diusung dalam rangka menghindarkan masyarakat dari interpretasi ‘menyimpang’ yang berwawasan dangkal, tradisonalis-literalis atau liberal-rasionalis. Keterliabtan pakar tafsir, sarjana muslim dan pemerintah menjadi sebuah keniscayaan tak terbantahkan demi terwujudnya praktik beragama yang pluralis, toleran dan damai

Tulisan dimuat di Koran Harian Duta Masyarakat, 13 September 2017
Share:

Tanggung Jawab Sosial dalam al-Quran

Jurnal diya al-Afkar, vol.4, no.2 (2016)

Abstrak: Dalam al Qur'an tanggung jawab sosial merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam rangka mempererat sekaligus sebagai perekat persatuan dan persaudaraan ummat, termasuk tanggung jawab sosial di bidang ekonomi, konsentrasi al Qur'an dalam bidang ekonomi sangat diperhatikan, mengingat ekonomi menjadi salah satu elemen pembentuk kesejahteraan, prilaku ekonomi yang dimaksud adalah meliputi produksi, kepemilikan dan dsitribusi, dalam kepemilikan al Qur'an mempunyai pola yang khas, berbeda dengan kepemilikan, kapitalis, sosialis maupun liberalis. Keunikan tersebut bila digali lebih dalam maka kita akan mendapatkan sebuah pola baru dalam pengentasan kemiskinan dan pemerataan. Konsep pemerataan dijelaskan oleh mufasir dengan berbagai cara, diantaranya adalah mengambil metode tematik sebagai pilihannya, sebagaimana yang tertuang dalam Tafsir Tematik Kemenag RI. Tulisan ini hendak melihat lebih dekat keunikan metode tematik yang digunakan oleh al Qur'an dalam menggali konsep-konsep tersebut.

Kata Kuci: al-Qura’an, metode tafsir, tematik, tanggungjawab sosial.

PENDAHULUAN
Al Qur'an menempati posisi sentral sebagai sumber inspirasi, pandu kehidupan, sumber keilmuan dan sumber segala sumber, lautan keilmuan yang terkandung dalam al Qur'an bagaikan samudera yang tak pernah kering untuk dikaji, kedalaman maknanya tidak terbatas serta tak pernah membuat jenuh bagi yang mengimaninya. Namun di sisi lain, serangan, tantangan dan kritikan terus datang bergelombang menghantam al Qur'an, semakin keras pertentangannya bukan malah melemahkan justru melahirkan berbagai disiplin keilmuan yang melimpah. Karena itu, memahami metode tafsir menjadi kebutuhan yang urgen bagi para cerdik cendekia. Agar memperoleh makna yang utuh dan penjelasan yang akurat mengenai apa yang dikehendaki al Qur'an itu sendiri.

Sejarah perkembangan metode tafsir, jika dirunut dari upaya penjelasannya terhadap kandungan isi al Qur'an sebenarnya telah dimulai pada masa Nabi dan para sahabat, meskipun pada saat itu belum disebut sebagai metode tafsir seperti saat ini. Pola penafsirannya pada masa itu masih bersifat global (ijmaliy). Dalam arti penafsiran yang dilakukan tidak menampilkan penjelasan secara rinci dengan argumen dan uraian maksud secara detail. Karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. karakteristiknya bersifat singkat dan global, pemaknaannya biasanya tidak jauh dari makna aslinya, sesuai dengan namanya metode ijmāly.

Ada beberapa cara yang ditempuh oleh para pakar tafsir dalam mengungkap kedalaman isi al Qur'an, ada yang menyajikan isi al Qur'an secara berurutan sesuai susunan mushaf seperti yang ada saat ini, di sela sela ayat mereka jelaskan (tahlīly) dengan menonjolkan sisi kebahasaan dan kaitannya antara satu ayat dengan ayat lain (munāsabah) tanpa mengabaikan latar belakang ayat tersebut diturunkan (asbābun nuzūl). Kemudian yang lebih sering kita kenal sebagai metode tahlīly.

Metode lain dalam menjelaskan pesan al Qur'an adalah metode muqāran, yaitu mengumpulkan beberapa ayat yang berkaitan dengan tema tertentu, kemudian menganalisa kecenderungan beberapa mufasir untuk dikomparasikan, tentu dengan memperhatikan latar belakang terlahirnya penafsiran tersebut. Mufassir dalam menggunakan metode ini, dituntut menguasai banyak pendapat dan argumen mufassir yang berkaitan dengan tema yang dibahas tersebut.

Untuk menghilangkan kekaburan metode tematik dan komparasi, al-Farmawi menegaskan pembeda antara metode muqāran dan mauḍu’iy terletak pada tujuannya, bila tematik untuk sampai pada tujuan dengan cara menghimpun seluruh ayat dan menganalisis berdasarkan pemahaman ayat itu sendiri, sedangkan muqāran untuk mencapai tujuan dengan cara menghimpun berbagai pendapat mufasir dan kecenderungan pendapat-pendapatnya yang pernah ditulis mereka. Perlu segera dicatat, bahwa semua metode yang dipakai oleh pakar penafsir tersebut, tidak lain adalah sebuah upaya untuk memberi pemahaman sedalam dalamnya maksud isi al Qur'an.

Melihat perkemabangan penafsiran dan pengetahuan yang demikian pesatnya, maka dibutuhkan kajian metode penafsiran yang bersifat tematik, hal ini dimungkinkan agar tercapainya usaha membiarkan al Qur'an berbicara dengan dirinya sendiri atau sering disebut dengan istantiqu al Qur'ān bi al Qur'ān dengan cara mengumpulkan ayat ayat dalam satu tema tertentu kemudian dianalisa dan disimpulkan kandungannya.

Tafsir al Qur'an Tematik yang disusun oleh Tim Penyusun Lajnah Pentashihan al Qur'an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI edisi 2 tahun 2011 ini adalah salah satu tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode tematik, diharapkan dapat menjawab pelbagai permasalah ummat, karena itu tafsir tematik layak untuk ditulis dan digiatkan serta mengembangkan tema tema penting keummatan. 

Dalam makalah ini, penulis hendak melakukan anilisis keunikan karakteristik metode penulisan tafsir tematik Kemenag RI dibanding dengan tafsir lainnya, Penulis mengambil bagian ke-2 dari lima tema yang telah diterbitkan, tema yang diangkat adalah tema yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial yang akan dibandingkan dengan metode penulisan tagsir tematik lain, yaitu tafsir al māl fi al Qur'an wa as-sunnah karya Dr. Musa Syahin dan tafsir at-takāful fi al Qur'an wa as-sunnah karya Badruddin an-Naajiy, dengan perbadingan tersebut, diharapkan memperoleh perbedaan yang unik dalam tafsir al Qur'an tematik Kemenag RI.

Dengan batasan masalah tersebut di atas diharapkan penelitian kepustakaan mampu menjawab rumusan masalah sebagai berikut: metode tematik apa yang dipakai dalam penulisan tafsir al Qur'an tematik Kemenag RI? dan Bagaimana karakteristik dan keunikan tafsir al Qur'an tematik Kemenag RI dibanding dengan tafsir tematik lainnya ?. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis melakukan analisan data dari buku, jurnal maupun karya tulis yang berkaitan dengan tema tersebut di atas. 

Selengkapnya lihat link
Share:

Pancasila, Merah Putih dan NKRI

Duta Harian, 25 Peb 2017
Kita tinggalkan sejenak gegap gempita pesta demokrasi pemilukada yang telah usai digelar, bagi pasangan calon (paslon) yang menang dalam raihan suara terbanyak jangan jumawah, sebaliknya bagi pasangan calon yang kalah harus legowo. Kalah dan menang kompetisi di dalam negara demokrasi merupakan hal biasa, keduanya sama-sama terhormat sebagai putera bangsa yang telah beri’tikad mempersembahkan dirinya mengabdi kepada NKRI, marilah kita fokus kembali kepada persatuan dan kesatuan membangun negeri dalam kerangka bacaan yang sama, yakni persatuan dalam bingkai satu bangsa dan negara di bawah ideologi Pancasila dan Sang Saka Merah Putih.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan lahir dari proses sulap ‘aba gadabra’, tapi diawali serangkaian perjuangan panjang yang melibatkan berbagai kalangan; etnis, suku dan agamawan yang berbeda-beda, serta pengorbanan yang tak ternilai harganya berupa tenaga, harta, airmata, darah bahkan nyawa. Oleh karena itu, tidak dibenarkan klaim agama claim terhadap NKRI ini milik etnis atau agama tertentu.
Biasanya, setiap peristiwa monumental ditandai dengan berbagai konsepsi dan simbol-simbol sebagai tonggak sejarah, tak terkecuali momentum lahirnya NKRI, sebut saja pancasila, bendera, patung proklamasi, tugu dan sederet simbol monumental lainnya.
Simbol-simbol tersebut dimaksudkan untuk mengenang peristiwa yang pernah terjadi masa lampau agar generasi setelahnya tidak mengalami ‘penyakit’ amnesia sejarah, meminjam istilah Bung karno, ‘jasmerah’ kepanjangan dari jangan lupakan sejarah. Dari perspektif komunikasi, simbol-simbol tersebut dimaksudkan menghidupkan kembali teladan patriotik secara dialogis yang berkesinambungan membentengi status merdeka yang telah susah payah diraih.
Sangat tidak masuk di akal, bila muncul sekelompok kecil ‘alergi’ terhadap simbol-simbol tonggak sejarah tersebut yang notabene-nya secara legalitas formal diakui sebagai lambang negara sejak awal berdirinya bangsa ini, bahkan sejak kelompok kecil tersebut belum lahir. Menurut penulis, penghormatan terhadap simbol-simbol tersebut jauh panggang dari api dengan penghormatan dalam konteks beragama. Setidaknya ada dua simbol tonggak sejarah yang sedang hangat diperbincangkan dalam ranah publik, baik media cetak maupun online
Pertama, Pancasila. Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, saya membayangkan burung Garuda yang bulu di lehernya dan sayapnya berjumlah 45 dan 17 helai, kemudian bulu ekornya persis berjumlah delapan helai. Kemudian lima sila adalah ucapan burung garuda tersebut, rupanya asumsi itu tidak benar. Garuda adalah lambang negara, sedangkan numerik di atas adalah simbol yang bertalian dengan hari kemerdekaan, lima sila yang melekat abstrak di dalamnya menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bila demikian, maka pancasila menjadi hal yang sangat fundamental dan terhormat, siapapun yang menghinanya harus ditindak tegas.
Konstruk filosofis rumusan Pancasila sebangun dengan kultur kehidupan bangsa Indonesia yang heterogen dan plural. Penjabaran reflektif kelima silanya harus meng-ejahwentah dalam bentuk etika prilaku berbangsa dan bernegara, semua individu maupun kelompok yang tumbuh-kembang di bumi pertiwi ‘haram’ berseberangan dengan falsafah pancasila terlebih lagi bertentangan. Pendek kata, manusia Indonesia harus hidup berketuhanan, beradab, bersatu, suka musyawarah dan berkeadilan. Oleh karena itu, semua aktifitas kebangsaan harus mencerminkan penjabaran dari sila-sila Pancasila yang sudah diajarkan oleh guru-guru kita sejak usia dini itu, ia menjadi soko guru etik NKRI, karenanya tidak dibenarkan menolak kehadiran Pancasila.
TAP MPRS/No.XX/MPRS/1966 menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, dari sana diharapkan memancarkan sumber-sumber etika politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hiruk-pikuk aktifitas berbangsa dan bernegara harus bertumpu dalam tatanan nilai yang terkandung dalam Pancasila, bagi Indonesia Pancasila laksana ‘kompas’ penunjuk arah untuk menyamakan visi dalam konteks pembangunan NKRI yang lebih kokoh dan solid, karena itu, tidak ada pilihan lain bagi orang orang yang tidak sepaham dengan pancasila, kecuali dia harus mencari lahan di belahan bumi lain sebagai tempat berdiam diri selain tanah pertiwi nan permai ini. Semua prolog diatas mengantarkan kepata kita untuk menyimpulkan, pancasila adalah perekat persatuan dan kesatuan dimana semua hiruk pikuk aktifitas kebangsaan berada di bawah falsafah nilainya.
Kedua, Bendera Merah Putih, Secara jelas disebutkan dalam pasal 35 UUD 1945, Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, perlakuannya secara tekhnis diatur dalam UU No 24 Tahun 2009. Pasal tersebut berlaku universal berlaku semua rakyat Indonesia, keberlakuannya tidak diskriminatif, tak peduli berbeda agama, keyakinan, etnis, suku, maupun kelas sosialnya, baik pejabat maupun rakyat jelatah, tokoh masyarakat maupun orang biasa, semua ‘wajib’ berbedera negara Merah Putih dan harus menghormatinya sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI, melalui kibarnya semangat darah patriot bergolak melawan penjajah dengan niat yang suci yaitu memperjuangkan pekik kemmerdekaan Indonesia.
Bendera Merah Putih sebagai sebuah simbol merdeka dikibarkan pertama kali oleh Bung Karno dan kawan-kawan, pada tanggal 17 Agustus di Jl. pengangsaan No. 56 Jakarta. Dari sana tonggak dimulainya tinta sejarah bangsa Indonesia meng-ada dalam statusnya yang merdeka.
Dalam catatan sejarah, konon warna merah putih sudah masyhur sejak zaman majapahit, bahkan ada sejarah yang menyebutkan, Jayakatwang menyerang Singosari sudah menggunakan bendera merah putih, sekitar tahun 1292. Terlepas benar dan tidaknya, yang pasti, bendera Merah Putih saat ini sudah sah di mata dunia menjadi bendera negara Indonesia, di bawah kibarnya bangsa ini berdiam diri.
Sangsaka Merah Putih memang tak bertuliskan kata-kata, grafik image atau numerik, namun eksistensi warnanya memancarkan makna, merah artinya berani dan putih artinya suci. Ia harus dijaga, dihormati dan dibela bila ada yang coba-coba ‘mengubah’ ptronase orisinilitasnya. bukan membela sepotong kain dwi warna, tetapi membela Merah Putih berarti membela bangsa dan segala isinya. Di mana pembelaannya dibebankan di atas pundak putera bangsa dengan tekad baja dan semangat empat lima laksana pejuang terdahulu merebut bangsa ini dari cengkeraman kuku penjajah. Kira-kira penghormatan seperti itulah yang diamanatkan oleh UUD 1945 tersebut.
Perlu dicatat, menghormati bendera bukan kultus terhadap benda mati, melainkan bukti tanggung jawab dan cinta tanah air, dari sana kita dipatri menjadi NKRI yang jaya dan bebas dari penjajah. Pembelokan tafsir atas penghormatan yang dikait-kaitkan dengan agama –menurut penulis—adalah tafsir yang berlebihan dan a-historis. Keduanya beda kapling pemikirannya, bila akidah dalam ranah hidup beragama, maka bendera berada dalam ranah bernegara. Dengan demikian jelaslah kiranya, Pancasila, Bendera Merah Putih dan NKRI adalah tiga serangkai yang saling terkait dan terikat. 
selengkapnya linknya ada di sini
Share:

Filsafat Al Farabi; Metafisika, Kenabian dan Negara Utama



 
Jurnal Sibstantia, April 2016
Abstrack
Al farabi is a muslim philosopher who create the foundation of islamic philosophy in systemic and detailed to ease understanding for the later. The thought of his philosophy influenced by the the thought of greek philosophy, including problems the creation of the universe, in the sight of alfarabi that the universe is happening out from allah as a fist form called emanation. To obtain the truth, the philosopher can find it by using the sense, while the prophets find it by inspiration given among to the men as a god's choices. In the political field, alfarabi's viem with the concept of 'almadinat al fadilat' resembling the plato's concept of idealized country. In the concept of 'almadinat alfadilat', he said leaders are the first locomotion of the community for getting happiness, as a heart in the body which members of other body is an accomplice in that happiness desired.

Kata Kunci : Al farabi, Filsafat, Metafisika, Negara Utama, Emanasi

Pendahuluan
Al Farabi (latin: Alpharabius) menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filososf muslim terkemuka. Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Masignon memuji al Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap kalimatnya bermakna. Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang tak mungkin tertandingi derajat keilmuannya. Ia telah berhasil merekonstruksi bangunan ilmu logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan ilmu logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua (al-mu’alim ats-tsāni).
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al Farabi antara lain dengan alasan; Pertama, sangat menonjol dalam ilmu logika (manthīq) yang menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama ilmu filsafat, logika yang dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fil ‘ībārat, penguasaannya terhadap ilmu logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad, kedua, al-Farabi filososf terbesar setelah filososf Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis.
Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab ihshā’ul ‘ulūm. Kitab tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu matiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, Dalam kitab tersebut Sebagaimana Aristoteles yang membuat rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam ihsha’ul ulum al Farabi menjelas beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya.
Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujūdāt bi māhiya al-maujudāt. Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap tabir metafisika penciptaan. Al Farabi menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya dalam karyanya Ārā’ ahl al-madīnah al-fadhīlah dimulai pembahasan tentang tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, sama dengan konsep tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa, tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena tuhan telah sempurna. Dia tidak percaya bahwa tuhan tiba-tiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan pemahaman tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami perubahan.
Al Farabi sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada --sama dengan pendapat al Kindi--, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang dikonsepsikan dengan alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud tuhan dalam mensucikan tuhan, karena apabila mempunyai sifat maka tuhan tidak berbeda dengan wujud yang lain. Al Farabi mengartikan alam idea dari segi kekekalannya --mirip dengan alam akhirat--. Dalam perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang kemudian lebih masyhur dikenal dengan nama neoplatonis.
Al Farabi memandang wujud yang ada ini, merupakan mata rantai wujud abadi yang memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. Penciptaan jagad raya ini terjadi dalam sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang wujud tersendiri, langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi terhenti karena daya akal sudah melemah. Bila ditelisik hingga relung-relung pemikiran al Farabi akan kita dapati samudera keilmuannya yang sangat luas bagai lautan yang tak bertepi.
Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat metafisika penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan kenabian serta ditambahkan dengan konsep negara utama, kesemuanya mempunyai kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supay kita mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam filsafat al Farabi dengan filsafat kenabian dan filsafat politik tentang tujuan bernegara.



Biografi Singkat al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan pemikiran di situlah nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, Al Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah kristen nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M, al Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.
Beliau termasuk filososf yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah; Aghrādhu mā ba’da ath-thābi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.
Karya penting lainnya adalah Risālah al-itsbāt al-mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al jam’u baina ra’yul al-h ā kimain, kitab as-syiyāsāt al-madīnah al-fadhīlah, al mūsiqā al-kabīr, Risālah tahsīlu as-sā’adah,‘Uyūn ul-Masāil, al-Madīnah al fadhīlah, Ārā’ ahl al-madīnah al-fadhīlah, adapun al ihshāul ulūm konon merupakan karya terakhir sebelum ia wafat. Bukti bahwa al Farabi sebagai filosof yang mendalami filsafat Aristoteles adalah, konon pada saat Ibn Sina tidak memahami isi Maqālah fī Aghrād al-hakīm fī kulli Maqālah al-marsūm bi al-hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada karya al Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā ba’da al-Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya aristoteles tersebut.

Filsafat Metafisika
Tak perlu dipungkiri bahwa semua muslim percaya bahwa semua wujud yang ada adalah ciptaan Allah SWT, tetapi bila dikejar pada pertanyaan paling mendasar tentang dari mana dan bagaimana prosesnya tuhan yang maha tunggal itu menciptakan jagad raya menjadi beragam?, karena hal ikhwal penciptaan secara detai tidak pernah dikupas secara elaboratif oleh al Qur'an maupun hadits, karena kita teahu bahwa al Qur'an memuat hal-hal yang bersifat pokok dan global saja. Bagi filosof memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar kata ‘percaya’ dan akhirnya berfikir mencari rujukan karya-karya filosof Yunani sebagai tangga bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta sistematis.
Dalam dunia filsafat menyoal penciptaan , ada dua pendapat tentang penciptaan, Pandangan para filosof Yunani umumnya menyatakan bahwa, alam semesta dengan segala pernak-perniknya yang ada ini tidak diciptakan dari bahan tertentu bentuknya, melainkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), Tuhan menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apapun, melainkan dari katiadaan (ex nihilo). dengan hal ini berarti alam semesta adalah suatu creatio ex nihilo dari pihak tuhan. Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa alam ini diciptakan dari materi awal (al-hayūlā) yang bersifat abadi, alam ini tidak dicipta dari tiada (creatio an ex nihilo) melainkan ada sejak tuhan ada, mustahil tuhan ada namun tanpa ciptaan, meski secara prioritas waktu berdekatan, namun Tuhan harus dipandang sebagai pencipta.
Mengawali filsafat emanasi versi al Farabi, mungkin akan lebih mudah dimengerti bila dirunut melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya mempunyai kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik wujud alam ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi tersebut bersifat non-material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Dunia ide adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut. Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya, dengan pemikirannya yang selalu berkaitan dengan ide ini, menujukkan bahwa Plato termasuk aliran filsafat idealisme. Dengan membagi realitas menjadi dua seperti itu, Plato berusaha mempertemukan antara ‘filsafat ada’ menurut Parmenindes dan ‘filsafat menjadi’ menurut Heraklitos.
Lain Plato lain pula Aristoteles (w. 324 SM) selaku murid Plato, ia mencoba melengkapi gagasan Plato yang masih sederhana, baginya ide-ide yang dijelaskan plato tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Aristoteles memecah dualisme Plato antara alam idea dan alam materi dengan mengemukakan bahwa, alam ide dan materi itu menyatu, sejalan dengan filsafat metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda terdiri dari jiwa (matter) dan bentuk (form) jiwa adalah substansinya sedangkan melalui bentuk itulah jiwa menampakkan eksistensi. Ia telah mengatasi dualisme Plato tentang idea dan wujud, sedangkan Aristoteles lebih kepada jiwa dan materi menyatu dalam sebuah wujud. Penggeraknya –menurut Aristoteles-- adalah sesuatu yang tak bergerak yang bersifat abadi dan kekal atau lebih dikenal dengan penggerak yang tidak bergerak (al-muhārik al-ladzī lam yatakharrāk) yaitu Tuhan atau dikenal dengan causa prima.
Bagi neo-Platonis, akal menjadi adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. dari jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga,

Akal Ide
Jiwa Pemahaman
Jasad Bentuk

Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari sempurna. Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal ((bc. Tuhan). Namun demikian, hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal mempunyai ide, jiwa memiliki pemahaman, maka jasad memiliki bentuk. Semoga gambaran singkat tersebut bisa dijadikan batu loncatan untuk memahami teori emanasi ala al Farabi.
Untuk mendapatkan pemahaman mendalam, Al Farabi setelah membaca karya metafisika-nya Aristoteles ratusan kali tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan, kemudian memutuskan untuk menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan alam dari wujud tunggal yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan sempurna, menurut al Farabi, alam tercipta melalui pelimpahan atau emanasi. Proses emanasi berlangsung dari akal pertama hingga akal ke sepuluh secara serentak dan bertingkat. Disinilah nampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran metafisikanya al Farabi, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari zat yang maha tunggal, kekal dan suci melalui pelimpahan (emanasi).
Argumen al Farabi dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajibul wujūd) yaitu Tuhan, kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd) . Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan melimpah sedemimikian rupa.
Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara mekanis-determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal murni berfikir tetang dirinya yang menghasil wujud pertama (al maujud al awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya fikir tentang diri-Nya. Dari daya pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan akal pertama yang juga punya subtansi
Wujud kedua atau akal pertama berfikir tentang dirinya dan menghasilkan wujud berupa langit pertama, akal kedua berfikir tentang tuhan melahirkan akal ketiga, akal ketiga berfikir tuhan menghasilakan akal ke empat dan seterus sampai akal kesepuluh, dari kesepuluh akal akal tersebut berfikir tentang dirinya menghasilkan wujud materi berupa Lanit, Bintang, Saturnus, Yupitaer, Mars, Matahari, Venus, Mercury dan Rembulan
Maujudul Awwal
Tuhan Befikir tentang Tuhan Akal berfikir
tentang dirinya
Wujud 2 Akal 1 Langit
Wujdu 3 Akal 2 Bintang
Wujud 4 Akal 3 Saturnus
Wujud 5 Akal 4 Yupiter
Wujud 6 Akal 5 Mars
Wujud 7 Akal 6 Matahari
Wujud 8 Akal 7 Venus
Wujud 9 Akal 8 Mercuri
Wujud 10 Akal 9 Rembulan
Wujud 11 Akal 10
(Akal Fa’al) Wujud Roh

Pada akal kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi beremanasi. Begitulah mata rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh ruh manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni air, tanah, api, udara. Selanjutnya dari unsur-unsur ini bermunculan materi lain seperti besi, aluminium, tembaga, perak, emas dan muncul juga tanaman dan hewan, termasuk manusia yang diaktualkan oleh akal-akal yang berhubungan dengan akal kesepuluh (‘aql fa’al).
Dengan demikian, al Farabi hendak menjelaskan bahwa walaupun alam itu berasal dari dzat yang satu yaitu Tuhan, akan tetapi keberadaannya qadim karena dalam proses emanasi menurutnya tidak berada dalam lingkup ruang dan waktu seperti waktu di mana kita berada pada saat ini. Mungkin itulah yang dimaksud dengan waktu transenden.
Menurut Harun Nasution, kalau kaum Mu‟tazilah, berusaha memurnikan tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, berbeda dengan kaum sufi yang mensucikan tuhan dengan cara peniadaan wujud hakikat yang tampak selain wujud Allah, maka kaum filosof Islam yang dipelopori oleh al-Farabi melalui teori emanasinya (al-faidh al ilāhiy) hendak mentaqdis-kan tuhan dengan jalan meniadakan arti banyak dalam diri Tuhan, di sini dapat ditarik benang merahnya, bahwa, baik pemikiran filsafat, tasawuf dan wahyu sama sama ingin mengokohkan ke-esa-an Tuhan melalui metode yang berbeda beda. yang membedakan adalah metode yang ditempuhnya. Rupanya tidak hanya al Kindi dan Al Farabi, tetapi hal yang sama juga dijadikan pedoman oleh Ibn Sina sebagai generasi sekaligus murid al Farabi.

Hubungan Akal, Wahyu dan Konsep Kenabian

Akal dalam pemikiran filsafat al Farabi menempati tempat istimewa sebagai pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal Nabi mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran ‘ada’ dari yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al Farabi dibagi menjadi dua,
1) akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan keterampilan,
2) akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,
Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri (akal actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di dalamnya adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual.
Melalui akal intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah) ala al Farabi.
Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya tanpa harus berijtihad.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikas dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara detail.
Filsafat kenabian ini juga disinalir sebagai jawaban atas keraguan filosof sebelumnya yaitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang menolak adanya kenabian. Menurutnya, para filosof bisa mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, oleh karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan menganggap al Qura’an bukan mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal belaka. Ar Razi ingin membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini cenderung elitis dan inklusif terbatas hanya para filososf yang memungkinkan untuk melakukannya.
Al Farabi hadir dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.
Denga cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah). Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang biasa secara umum.
Konsep kenabian al Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan bekal dalam memilih seorang pemimpin.
Seperti pemikir-pemikir lainnya, al Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal kritik, pendapatnya tentang imajinasi tertinggi (al Quwwah al Mutakhayyilah) bisa mendekatkan diri kepada aql fa’al sehingga—nyaris-- sama antara filosof dengan Nabi dalam mendapatkan kritik dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat kauniyah seorang Nabi, seperti terbelahnya lautan oleh tongkat Musa, turunnya manisan dan burung puyuh (manna wa salwa), memperbanyak makanan dan minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang dan lain lain tidak mungkin bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi. Walaupun bisa saja mukjizat yang termaktub dalam kitab suci bisa ditakwilkan menjadi makna lain oleh filosof.

Konsep Negara Utama (al-Madīnah al-Fadhīlah)
Ada banyak ragam definisi negara, rupanya sesuai dengan latar belakang tokoh dan keilmuwan yang digelutinya. Robert N Bella, membagi negara menjadi tiga teori, pertama, Negara Kota yang kemudian dilanjutkan oleh al-Farabi dengan konsepsi yang dinamai dengan negara utama (al madinat al fadhilat), kedua, Masyarakat Universal yang diawali oleh Romawi dan berkembang terus hingga abad pertengahan, kemudian dilanjutkan oleh al-Ghazali, ketiga Negara Nasional yang dimulai dari zaman renaisance pada abad ke-15 sampai berkembangnya prinsip nasionalis sampai saat ini. Teori ini dalam islam dipelopori oleh Ibnu Khaldun dengan teori ashabiyah dan Negara Kemakmurannya.
Dalam konteks filsafat al-Farabi mengenai negara utama (al madinah al fadhilah), ia tuangkan dalam karyanya monumentalnya Ara’ ahl madinah al fadhilah banyak diilhami dari konsep Yunani, terutama konsep negara ideal Plato. Plato membangun idenya tentang negara menurut skema tubuh yang disebutnya macro anthropos (manusia makro), sebuah gambaran yang mendominasi filsafat politik sepanjang zaman. Penduduk politik tubuh itu pemerintah adalah kepalanya, militer adalah dadanya dan anggota tubuh lain adalah elemen negara penting lainnya. Konsep negara menurut Plato tidak lain adalah negara etik, bahwa peraturan yang menjadi dasar untuk mengurus kepentingan umum--menurut Plato-- tidak boleh diputus oleh kemauan atau pendapat seorang atau oleh rakyat seluruhnya, melainkan ditentukan oleh suatu ajaran yang berdasarkan pengetahuan dengan budi pekerti. Sehingga mencerminkan pemerintahan dipimpin oleh idea yang tertinggi, yaitu idea kebaikan atau pengetahuan.
Secara ringkas al Farabi dalam karyanya al-Madīnah al-Fadhīlah menyatakan bahwa kecenderungan manusia hidup bersosial dengan orang lain yang kemudian melaluoi proses yang panjang terbentuklah sebuah negara. Dari Negara tersebut mereka hendak mencapai kebahagiaan secara bersama sama, indikasi kebahagiaannya adalah tercukupinya sandang, pangan, papan dan keamanan kebahagiaan yang dicita-citakan tersebut bisa dicapai dengan cara membentuk sebuah negara yang disebut negara utama (al-madinat al-fadhilat). Dalam pandangan al Farabi, negara utama diserupakan bagaikan badan sehat yang dilengkapi anggota tubuh sempurna, saling membantu dan bersinergi dengan anggota tubuh lain dalam upaya menyempurnakan kehidupan, di dalamnya mempunyai satu pemimpin yaitu jantung. Penisbatan jantung sebagai pemimpin ini dalam hal sebagai penggeraknya, oleh karena itu, semua anggota masyarakat bisa menjadi pemimpin negara, seseorang yang bisa memimpin negara adalah orang yang mempunyai kapasitas tertinggi dalam sebuah negara.
Kriterian pemimpin yang ideal adalah, fisik sempurna, cerdas, mempunyai pemahaman yang baik, pandai memberikan pemahaman kepada oranag lain, cinta terhadap ilmu pengetahuan, tidak rakus terhadap makanan, pandai bersosialisasi dengan orang lain, mempunyai sifat berjiwa besar, tidak memandang kekayaan dunia adalah segala-galanya, berlaku adil dan membenci kedhaliman, memiliki keseriusan yang tinggi terhadap sesuatu yang dianggap penting. Dari sini nampak bahwa al-Farabi ingin mengkombinasikan konsep negara pemikiran filsafat Yunani dengan Konsep Negara Islam.
Ali Maksum menuliskan, Menurut pendapat al Farabi, Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang sama persis seperti pemimpin yang dikonsepsikan oleh Plato, yakni seorang ideal yang telah mampu mengungkapkan kebenaran universal yang bersifat imajinatif yang bisa dimengerti oleh orang awam. Adapun sebagai mata rantai kenabian sebagai pemimpin sebuah negara, negara utama haruslah dipimpin oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas, akal yang jernih dan mempunyai kemampuan daya pikir yang kuat, pemimpin yang demikian ini tidak lain adalah seorang filosof.

Kesimpulan
Pertalian pemikiran al Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk memahami pokok pikiran al Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim yan ghidup dalam kesederhanaan.
Dalam filsafat metafisika, al Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-platonisme.
Bagi al Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan kecerdasan tinggi serta kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada rakyatnya. Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah satu tujuan dibentuknya negara, konsep negaranya disebut negara utama (al madinah al fadhilah)


==============


DAFTAR PUSTAKA

  1. Al Qur’an dan Terjemah.
  2. Abdul Karim, Aim, 2006, Pendidikan kwarganegaraan, (Jakarta: Grafindo)
  3. al Badawiy, Abd. Rahman, Rasa’il falsafiyyah, (Beirut: Dār Andalusi, tt)
  4. Al Farabi, ‘Arā’ ahl al-Madīnah al-Fadhīlah, tahqiq, Dr. Al Biir Nasri Nadir, (Beirut: Daar Al Masyriq)
  5. __________, Ihshā’ul ‘Ulūm , (Beirut : Inmaul Qaumiy, tt)
  6. __________, Tahshīlus Sa’ādat, 1995, tahqiq DR. Alibu Mulham, (Beirut: Daar al Hilal)
  7. Amin Abdullah, 1992, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, (Diss Yogyakarta)
  8. Armstrong, Karen, 2003, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Bandung: Mizan Utama
  9. Bagir, Haidar, 2006, Buku Saku Filsafat, Bandung: Mizan
  10. Bakar, Osman, 1997, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al Ghazali Dan Quthb Al-Din Al-Syirazi, Terj. Purwanto Bandung: Mizan
  11. Darmodiharjo, Darji, Prof., SH. 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia
  12. Drajat, Dr. Amroeni, 2005, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LkiS
  13. Fuadi, 2013, Peran Akal menurut Pandangan al-Ghazali, Jurnal Substatia, Vol. 15, No. 1
  14. Halim Mahmud, Ahmad, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, Kairo: Dār al Ma’ārif, tt
  15. Hardiman, F. Budi., 2009, Politik sebagai Pengawasan Tubuh, Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan Politik dan Erotik dalam Politea Plato, Studia Philosophica et Theologica. Volume 9. No.1
  16. Hatta, Muhammad, 2001, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press
  17. Hawa, Said, 1998, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah swt., Jakarta; Gema Insani Press
  18. Husein Nashr, Sayyed dan Oliver Leaman, 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, Terj. Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, Cet I.
  19. Ibn Taymiyah, Kitab al-Safagiyah, tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim
  20. Irfan, A.N., 2014, Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas Logika Dan Metafisika al-Farabi, CMES: Jurnal Studi Timur Tengah. Volume 7, No. 2
  21. Juwaini and Nik Yusri bin Musa. 2010, Konsep Akal :Suatu Analisis Terhadap Pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina." Substantia Volume12. No.2
  22. K. Bertens, Prof., 2008, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, cet.V
  23. Kartanegara, Mulyadhi, 2007, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga
  24. M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press
  25. Majid, Abdul. Filsafat Al-Farabi Dalam Praktek Pendidikan Islam. Jurnal Manarul Al Qur'an, abcd.unsiq.ac.id
  26. Maksum, Ali, 2009, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruz Media
  27. Masfoefah, Siti., 1996, Eksistensi Jiwa Menurut al Kindi. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya
  28. Muhammad, Hasbi, 2010 “Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam Dan Hubungannya Dengan Sains Modern”, Al-Fikr. Volume 14. No. 3
  29. Nasutuion, Harun, 2000, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan
  30. Nurdin, M. Amin, Sejarah Pemikiran Islam, (ed), (Jakarta: AMZAH), 2015
  31. Nurseha Dzulhadi, Qosim, 2014 “Al Farabi Dan Filsafat Kenabian”, Jurnal Kalimah, Maret, volume. 12
  32. Petrus L.Tjahjayi, Simon, 2004, Petualangan Intelektual: konfrontasi dengan para filusuf dari zaman yunani hingga modern, Yogyakarta: Kanisius.
  33. Salmah, S. Pd I. "Aktualisasi Filsafat Al-Farabi dalam Era Modern”, Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah al-Fadhilah."
  34. Sholihin, KH. Muhammad, 2008, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Yogyakarta: Narasi
  35. Uliri, Daulasi, 1961, al-fikr al-‘arabiy wa makānuhū fīt-tārīkh, Kairo: Ālam al-Kutub
  36. Wahid, Dr. Ali Abdul Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah lil Farabi, Kairo: Nahdhoh Mishri, tt




Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan