25/02/2016 |
Seperti beberapa artikela lainnya yang masih membincang teologi, seperti teologi kekeringan, kali ini juga masih ada kental nuansa teologisnya yang saya beri judul Banjir Ditinjau Dari Aspek Teologis diterbitkan tanggal 25 Pebruari 2016. selamat membaca, semoga bermanfaat.
Dedikasi manusia menjadi mandataris Tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) terkadang dimaknai berlebih, alih-alih dengan argumen sebagai khalifah di bumi, mereka melegitimasi dirinya meng-eksploitasi alam tanpa batas. Alam dipandang sebagai cosmos berisi tumpukan benda mati yang dijadikan objek sasaran untuk ditundukkan, kemudian diperalat sebagai pemuas hasrat materialisme dan kerakusan manusia, dengan dukungan sains dan tekhnologi tanpa kesadaran dan tanggung jawab, modus perusakan lingkunganpun makin menggila dan mengerikan, tak pelak lagi, krisis ekologi berupa longsor, pemanasan global, kekeringan, kebakaran hutan, termasuk banjir di beberapa titik sedang aktif melumat pemukiman saudara-saudara kita.
Penulis berasumsi, bahwa alam semesta didisain oleh tuhan seimbang sesuai takaran sunnatullah-Nya, tak terkecuali setting kemampuan bumi menyerap debit curah hujan dari langit, sekaligus menampungnya di dalam rongga tanah sebagai cadangan air di musim kemarau. Namun karena pola pikir dikotomis yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentris), menjadikan ego manusia sebagai makhluk superior bertindak sewenang-wenang pada hingga akhirnya mendegradasi peran dan fungsi bumi mengolah air hujan, baik areal luasnya maupun kualitas daya serapnya seiring peningkatan demografi pertumbuhan dan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, banjir bukan disebabkan bumi tak mampu menyerap debit air hujan, melainkan ada perubahan alih fungsi bumi yang berlebihan.
Menurut Sayyid Hosein Nasr, kerusakan ekologis dalam pelbagai jenisnya dua abad terakhir ini disebabkan krisis spiritual, salah satu bentuknya adalah teologi antroposentris dimana memposisikan manusia sebagai penguasa alam, sehingga keduanya tidak terjalin hubungan yang harmonis. Sejalan dengan pendapat Fritjof Capra yang mensinyalir, bahwa berbagai macam ragam krisis yang terjadi saat ini disebabkan keserakahan manusia dan kerakusan memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya, sehingga mendorong ego manusia sebagai subyek penguasa, sedang alam adalah obyek sasarannya.