Diterbitkan tanggal, 24 April 2020 |
Islam sebagai agama pamungkas, hadir menawarkan konsep zakat sebagai salah satu solusi memerangi kemiskiann dan kekuarangan pangan, terlebih dalam kondisi sulit di tengah ‘gempuran’ virus korona yang belum terlihat tanda-tanda menurunkan tensi serangannya. Dampak korona sangat luar biasa; penghasilan ekonomi tergerus, PHK tak terhindari, kemiskinan meningkat dan pengangguran semakin merajalela. Bersamaan dengan itu, kita memasuki bulan suci Ramadhan, di mana semua umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah, melalui pendekatan maqashid syariah, penulis yakin zakat fitrah semakin menemukan urgensinya.
Zakat tidak lahir begitu saja dalam ruang hampa masalah, melainkan ada maksud terentu dibalik pensyariatan zakat tersebut, sebagaimana syariat agama lainnya seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Al-Syathibi dalam karyanya al muwafaqat secara meyakinkan mengatakan, syari’at bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat kepada penganutnya (Beirut: 1999, 281). Sejalan dengan Fathi al-Daraini, ia berpendapat hukum-hukum itu tidak dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain, yakni kemaslahatan (Damaskus, 1975, 28). tidak terkecuali dengan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal.
Secara geneologi, maqashid al-syari'ah didasarkan kepada pertimbangan yang logis, bahwa wahyu agama mengandung spirit yang berlaku untuk seluruh umat Islam dari masa ke masa dan abadi. Melalui interpretasi-interpretasi spirit wahyu tersebut menghasilkan produk hukum yang adaptatif, lentur, relevan dan salih fi zaman wa makan. Termasuk dalam hal ini adalah spirit ta’jil zakat fitrah di tengah pandemi korona
Zakat Fitrah di Tengah Korona
Zakat melahirkan dimensi kesalehan ganda, satu sisi mengandung kesalehan individual, di sisi yang lain, zakat sarat dengan kesalehan sosial. Kesalehan individual zakat fitrah tercermin dari pensucian diri dan membersihkan diri dari kikir. Selain itu, zakat fitrah merupakan implementasi iman serta bukti kepatuhan terhadap perintah agama. Jadi, zakat bukan semata-mata lahir dari sifat iba si kaya kepada si miskin, melainkan menjadi bagian dari komitmen keagamaan the have kepada the have not
Dimensi sosial zakat--termasuk fitrah--menghendaki adanya pemerataan dan tolong menolong kepada fakir miskin, pelakunya melakukan zakat dengan suka rela, bukan karena dorongan rasio timbal balik untung dan rugi. Zakat fitrah semata-mata dimaksudkan untuk meringankan himpitan beban hidup bagi fakir dan miskin.
Zakat fitrah diwajibkan kepada semua orang Islam; kecil, besar, lelaki maupun perempuan. Semakin besar jumlah pemeluk Islam, semakin besar pula potensi zakat yang bisa dihimpun. Menurut globalreligiusfutures tahun 2020 penduduk muslim di Indonesia diperkirakan mencapai 263,92 juta jiwa. Sebuah jumlah yang fantastis, apabila dikelola dengan baik, maka zakat fitrah pasti memberi kontribusi positif terhadap ketersediaan pangan bagi fakir-miskin yang terus menerus tergerus tergerus oleh pademi saat ini.
Besaran zakat fitrah memang tidak sebanyak zakat harta (maal), namun karena jumlah muslim yang banyak tersebut sehingga memperoleh jumlah yang besar pula. Besarannya adalah satu sha’ kurma atau gandum (HR. Bukhari) atau setara dengan 2,7 kg bahan pokok. Dalam distribusinya, zakat fitrah difokuskan kepada konsumsi tradisional, dalam arti dapat dimanfaatkan secara langsung oleh penerimanya (mustahiq) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan kalkulasi matematis, zakat fitrah yang dibayarkan oleh 263,92 juta muslim, dapat menghimpun bahan makanan 712,5 ribu ton. Perolehan zakat fitrah tersebut apabila dibagikan kepada masyarakat miskin yang saat ini diperkiran 24.79 juta jiwa, maka masing-masing mendapat lebih dari 28 kg per-jiwa. Jumlah tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka selama satu bulan Ramadhan di rumah saja.
Kemudian untuk kebutuhan lauk-pauk dan kebutuhan lainnya masih bisa dapat dipenuhi dari zakat harta (maal). Zakat harta justru lebih besar lagi, dengan asumsi semua orang kaya membayar zakat secara penuh, diperkirakan tahun ini ada 340 trilyun rupiah yang bisa dihimpun. Artinya, kebutuhan makanan pokok dan lauk pauk untuk masyarakat miskin dalam masa pademi korona selama bulan Ramadhan sudah aman tercukupi dari zakat. Keluarga miskin pegawai harian tidak harus keluar rumah untuk mengais nafkah, sambil menunggu ‘gempuran’ virus korona reda. Di sinilah nilai urgensi menyegerakan waktu membayar zakat (ta’jil zakat)
Waktu afdhal untuk membayar zakat fitrah adalah menjelang hari raya tiba, namun boleh juga dibayarkan di awal Ramadhan menurut mazhab Syafi’i. Dari dua pendapat tersebut, apabila kita merujuk kepada spirit syariat zakat sebagai kesalehan sosial dalam kondisi pandemi korona seperti saat ini, bisa jadi membayar zakat fitrah di awal ramadhan justru lebih dianjurkan.
Alasannya, karena dalam rangka upaya pemutusan mata rantai penyebaran virus korona. masyarakat disarankan untuk tinggal di rumah, namun bagi orang miskin hal itu tidak mungkin, karena ada tuntutan hidup dengan mengais nafkah di luar rumah. Kenyataan itulah yang menuntut adanya perubahan waktu untuk menyegerakan bayar zakat fitrah di awal sebagai pembelajaran sikap sensitive to the reality.
Himbauan menyegerakan zakat di awal Ramadhan, secara formal juga disuarakan pemerintah melalui Surat Edaran Kemenag Nomor 6 tahun 2020, walaupun pemerintah sudah punya otoritas yang kuat terkait isu pengelolaan zakat berdasarkan UU RI No. 38 tahun 1999. Sayangnya kurang efektif. Dalam konteks ta’jil zakat fitrah ini, mungkin sosialisasinya akan lebih efektif bila ada keterlibatan para da’i, kyai, pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat. Kita semua tentu berharap, semoga pandemi korona ini tidak berlangsung lama, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih serius lagi dari sekedar persoalan pangan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan..!!
No comments:
Post a Comment
Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )