Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

No comments:

Post a Comment

Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan