• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Guru di Simpang Jalan Literasi dan Administrasi

Terbit, Februari 2025

Kehadiran guru sangat dibutuhkan oleh setiap bangsa dalam kerangka mencetak generasi penerus yang handal, di pundak mereka nasib bangsa ditentukan. John Dewey menekankan pentingnya pendidikan menjadi alat utama dalam membangun masyarakat maju. Dalam hal ini guru punya peran strategis menelurkan warga negara yang inovatif, produktif, kritis dan berdaya saing. Senada dengan teori perubahan sosial melalui pendidikan yang digagas Emile Durkheim yang mengatakan bahwa pendidikan adalah alat utama dalam membangun kohesi sosial dan integrasi masyarakat. Pendek kata, guru merupakan pilar utama dalam membangun kemajuan bangsa.

Kalau pembaca yang budiman setuju dengan mukaddimah di atas, berarti negara seharusnya selektif memilih guru dan memberi ruang pengayaan wawasan terhadap semua guru supaya up to date fokus tidak pecah dalam proses transformasi pengetahuan kepada anak didiknya. Namun faktanya tidak demikian, masih banyak guru yang disibukkan dengan administrasi yang menyita waktu.

Pagi-pagi, penulis garis bawahi, tulisan ini bukan bentuk peng-abai-an terhadap pentingnya administrasi guru, karena admninistrasi menciptakan efisiensi kerja, evaluasi siswa, profesionalisme dan kordinasi dengan orang tua. Tapi bila terlalu banyak dan bertele-tele dengan hal-hal yang bersifat administratif, bukan tidak mungkin menyebabkan defisit waktu untuk membaca.

Seyogyanya guru menjadi pembaca buku yang ‘rakus’ terhadap pengetahuan dan tidak cepat puas dengan penguasan meteri bahan ajar saja, melainkan meningkatkan perkembagan diri melalui banyak membaca, selain pengayaan wawasan juga sebagai teladan untuk siswa-siswinya, sesuai adagium Jawa guru itu digugu dan ditiru.

Sungguh memprihatinkan baca di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah,  menempati peringkat ke-60 dari 61 negara, sekitar 0,001% dari populasi yang gemar membaca, atau 1 dari 1.000 orang. Perkara seperti ini harus mendapat perhatian serius dari semua elemen bangsa.

Apabila bangsa se-kaya Indonesia dengan anugerah sumber daya melimpah, serta bonus demografi yang dimiliki tidak dikelolah dengan baik, maka kelak akan menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri. Bukan rahmat didapat melainkan laknat.

Dahulu saya pernah mendengar pidato BJ. Habibie yang mengatakan bahwa rakyat yang banyak satu sisi anugerah, tetapi bila salah kelolah akan menjadi prahara bagi bangsa itu sendiri, karena masyarakat yang banyak secara otomatis kebutuhan logistiknya besar dan rentan masalah. Oleh sebab itu butuh SDM yang kreatif, inovatif dan bijak. Pengkaderannya adalah sejak dibangku sekolah dan tumpuan harapannya adalah kualitas guru.

Berbagai strategi diupayakan, perpustakaan didirikan, bahan ajar dicetak, kontennya dibuat semenarik mungkin, namun kadang dilupakan, bahwa minat baca murid harus diimbangi minat baca guru, bila minat baca guru rendah secara otomatis minat baca murid ikut rendah. Ingat bahwa Hasil penelitian John Hattie seorang profesor dari Australia sekaligus peneliti dalam penelitiannta menunjukkan bahwa guru adalah faktor terpenting dalam keberhasilan siswa.

 ***

Sudah bukan rahasi ada sekian banyak guru mengeluh bukan karena kegiatan belajar mengajar melainkan terlalu disibukkan dengan segudang tugas administrasi yang harus diisi, hal ini menyita konsentrasi guru dalam pengajaran, antara lain, program tahunan, laporan program semester, silabus, analisis kopentensi, prosedur penilaian, RPP, jurnal guru, buku presensi, daftar nilai, pembuatan modul, pembuatan soal dan lain sebagainya. Belum lagi tuntutan administrasi dari lembaga dimana guru ditempatkan. Jadi, sebenanrnya aktifitas guru tidak hanya pada proses mengajar, melainkan guru juga harus melaksanakan evaluasi yang holistik dan formatif.

Mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga pernah menyampaikan hal ini terkati dengan beban administrasi, menurutnya "Tantangan lain yang sampai hari ini masih sering menjadi kendala peningkatan mutu pendidikan adalah tugas-tugas administrasi yang harus diselesaikan guru dan kepala sekolah," (Kamis, 20 Mei 2021)

Untuk menjadi model guru sesuai yang diharapkan, dibutuhkan solusi yang salah satunya adalah  mengurangi beban administratif, di era modern ini seharusnya informasi bisa digali dengan cepat dan akurat tanpa harus mengumpulkan bukti yang juga terkadang karya editan..Bila guru masih dihadapkan dengan sederet aturan administrasi, lebih-lebih yang bersifat formil maka fokus mengajar dan pengembangan diri berkurang sedang beban administrasi terus menghantui
Share:

Kurban sebagai Simbol Abadi antara Ritual dan Spiritual

momentum kurban 2025
Momentum kurban 2025

Ada dua momen besar yang melekat dengan 10 Dzulhijjah yakni haji dan kurban. Keduanya bukan sekadar rangkaian prosesi atau sekadar formalitas tahunan tetapi keduanya ibadah yang sarat simbolik dan kaya makna. 

Pertama, haji tanpa pemahaman yang mendalam, bisa berubah menjadi sekadar safari biasa, bahkan ada yang sibuk selfie dan memotret Ka'bah. Haji menjadi wisata religius yang melelahkan tubuh tapi tidak menggugah ruh. Seperti itu pula kalau tawaf dilakukan tanpa perenungan, maka tak jauh beda dengan mengitari tumpukan batu yang disusun menjadi rumah tua. Padahal kandungan dalam ibadah tawaf sangat mendalam. 

Kedua, berkurban. Kurban adalah puncak pembuktian ujian cinta dipersimpangan jalan, antara cinta harta dengan cinta terhadap perintah Allah ta’ala. kurban tidak semata-mata tentang apa yang telah dilepaskan, tetapi bagian dari menyerahkan kepemilikan yang semu kepada Allah yang maha abadi. 

Kalau kita menyisir lembaran sejarah, sebenarnya ibadah kurban sama tuanya dengan usia manusia di alam persada ini, yaitu ketika putra Adam as diperintah berkurban, namun dalam perjalanan sejarah, kurban mengalami penyelewengan dimana kurban berwujud manusia, di suku Aztec di Mexico mempersembahkan jantung manusia kepada dewa matahari. Di Kanaan (Irak kuno), bayi-bayi ditumbalkan untuk dewa Ba’al. Bangsa Viking mengorbankan tokoh agama untuk dewa perang mereka yakni dewa Odion, Sementara di Mesir kuno, gadis-gadis cantik ditenggelamkan sebagai sesajen bagi Dewi Sungai Nil. 

Puncaknya adalah ketika Nabi Ibrahim as diperintah menyembelih putra semata wayangnya saat usia bocah yang sedang lucu-lucunya. Beliau lakukan tanpa tawar-menawar. Kemudian digantikan domba dari surga. Digantikannya Isma’il dengan domba bukan berarti Tuhan berubah ‘pikiran’ melainkan demikian kasihnya Tuhan sekaligus menjadi jawaban bahwa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan, bahkan untuk pengabdian sekalipun. 

Maka, bagaimana bisa manusia dikorbankan demi ambisi dunia, uang, kekuasaan terlebih untuk keuntungan pribadi? Ketika cinta pada dunia membuat seseorang tega mengorbankan sesamanya, saat itulah ia jatuh ke dalam kehinaan paling bawah. Jadi, kurban bukan sekadar sembelihan, bukan tentang jumlah daging yang dibagikan, melainkan tentang keberanian meletakkan apa yang paling kita cintai di hadapan Allah. Bukan tentang daging yang terbagi, tetapi hati yang berserah. 

Di hadapan Allah, yang diterima bukan bentuk, darah atau dagingnya karena Allah bukan dewa yang haus darah atau seperti singa yang keranjingan makan daging mentah. Melainkan esensinya adalah ketaqwaannya. 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang    sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu… (QS. Al-Hajj: 37) 

Di sinilah semua umat Islam tidak membiarkan 10 Dzulhijjah berlalu hanya sebagai tanggal merah, melainkan sebagai panggilan langit bagi hati yang bersedia disucikan, sebab yang Allah terima bukan darah dan daging, tapi ketakwaan dan kerelaan yang mengiringinya.

Share:

Jejak yang Tak Mati: Ziarah ke Pusara Para Wali

Kawasan makam Sunan Ampel
 Kemarin, tiga hari lamanya menembus gelap malam menerjang teriknya siang bolong berziarah ke makam-makam wali di Jatim, tak kurang dari tujuh belas titik yang sengaja kami ziarahi. Ada banyak hal penting yang perlu dikenal dan diambil ‘ibrah dari perjalanan religi tersebut. 

Ziarah bukan sekadar langkah kaki menuju tanah sunyi, bukan sekedar menunduk di hadapan batu nisan dan harum bunga setaman. Ziarah menjadi perjalanan spiritual dengan kaki menapak lembut di antara tanah dan langit, relung fikiran kita berada antara fana dan abadi. 

Di sana, di balik pusara, tersimpan sejarah jiwa-jiwa besar yang telah menyelesaikan tugas sucinya: menjadi hamba Allah seutuhnya, menjadi cahaya di tengah gelapnya dunia. Ziarah ke makam para wali, bukan sekadar mengingat kematian yang pasti, tetapi juga menyaksikan bukti, bahwa hidup bisa berakhir tanpa benar-benar mati. Bahwa ada manusia, yang amalnya menjelma harum, yang namanya dikenang bukan karena dunia, tetapi karena cintanya kepada Yang Maha Esa. 

Makam para wali adalah monumen hidup, situs keabadian yang disingkap oleh Allah kepada mereka yang ingin mencari arah. Ia bukan berhala yang disembah, tetapi pelita yang menuntun, bahwa manusia bisa menjadi mulia, bila hidupnya untuk Allah semata. 

Lihatlah, berapa banyak kaki melangkah ke sana, bukan untuk menyembah, tapi untuk berharap: agar hatinya diberi bara yang sama, bara cinta yang membakar dunia demi akhirat, bara dzikir yang menembus malam-malam dingin, bara amal yang tak haus pujian. 

Ziarah adalah pelajaran tanpa suara. Ia mengajarkan bahwa hidup ini bukan tentang panjang usia, tetapi tentang bagaimana meninggalkan jejak yang tak dilupa. Bahwa ada ruh-ruh mulia yang tubuhnya telah kembali ke tanah, tapi inspirasinya terus hidup, mengalir dalam doa, dzikir, dan air mata. 

Maka, wahai diri…ketika engkau bersimpuh di depan pusara para wali, jangan sekadar menunduk. Bangkitkan hatimu.Tanyakan pada dirimu sendiri: Apakah aku sedang berjalan di jalan yang sama? Ataukah hanya singgah sebagai tamu tanpa tujuan? Karena sungguh, makam para wali bukan sekadar tempat, tetapi cermin jiwa yang mengingatkan, bahwa menjadi hamba yang dicintai Allah itu nyata, dan bisa diraih— bila hidup ini benar-benar untuk-Nya.

Share:

Belanja Kebaikan di Tahun 2025

Saya tidak mau pusing berdebat soal definisi waktu, selain abstrak, waktu juga tidak memiliki pengertian tunggal, tergantung dari perspektif apa waktu didefinisikan. Yang jelas ada waktu psikologis apa yang biasanya dipikirkan orang ketika mereka bertanya apakah waktu hanyalah konstruksi pikiran, ada pula waktu fisik atau sering disebut waktu objektif dan waktu ilmiah. 

Terbukti sehari saat pesta dengan sehari di penjara secara ilmiah durasinya sama, tetapi dalam persepsi psikologis yang menjalaninya pasti berbeda. Saat pesta terasa singkat tetapi saat di penjara terasa sangat lama sekali, itulah perbedaan yang dapat dirasakan. Secara ilmiah saat ini kita telah ditakdirkan Tuhan menghirup udara tahun 2025, meski secara psikologis tidak atau belum merasakan perbedaannya.

Dalam konteks perjalanan hidup ini –tentu yang dimaksud adalah waktu ilmiah--kita bisa menganalogikan usia bagaikan modal untuk belanja kebaikan yang akan dibawa ke alam baka. Setiap individu diberi modal yang berbeda-beda. Ada yang modalnya 50 tahun, 60 tahun bahkan sampai 90 tahun lebih. Namun perlu diperhatikan bahwa keuntungan tidak tergantung besar atau kecilnya modal, melainkan dari kalkulasi nilai barang yang diperoleh dari aktivitas yang dikerjakan. Modal lima juta menjadi sepuluh juta itu lebih baik daripada modal seratus dikembangkan menjadi seratus dua puluh juta. Begitu pula usia, usia 50 tahun dengan seribu kebaikan itu lebih baik daripada satu abad dengan seribu lima ratus kebaikan. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara bahwa waktu merupakan kekayaan yang tidak bisa direnovasi, apabila waktu telah rusak maka rusak dan berakhirlah sebuah babak permainan (end game). Oleh karena itu agama mengingatkan betapa pentingnya waktu. Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an akan ditemukan aneka ragam sumpah yang dikaitkan dengan waktu seperti demi waktu fajar, demi waktu subuh, demi waktu dhuha, demi siang, demi malam dan masih sederet ayat ayat Al-Qur'an yang membincang seputar persoalan waktu. 

Durasi 24 jam yang kita jalani dipergunakan untuk beraktifitas seperti ibadah, makan, minum, menonton film, bercanda, main dan lain-lain merupakan investasi untuk masa depan, aktifitas baik akan mendapat balasan kebaikan, karena hidup ini menggunakan prinsip siapa yang menabur benih dialah yang berpeluang memanen, siapa yang berbuat ia harus menanggung akibatnya. Semua penggunaan waktu merupakan investasi untung rugi di hadapan Allah, kelak ada pertanggungjawabannya. Rasulullah saw bersabda;

 لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أربع: عن عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ 

Artinya, “Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sampai dia ditanya tentang empat hal; tentang umurnya, ke mana dihabiskan; terkait ilmunya, apakah yang telah dilakukan dengan ilmu yang dimilikinya; soal hartanya, dari mana ia memperolehnya dan di mana dibelanjakan; dan tentang tubuh badannya, untuk apa ia gunakan.” (HR at-Tirmidzi) 

Perjalanan waktu detik demi detik, menit dan jam berganti hingga hari, bulan berganti bulan dan tahun pun berganti tahun, bagaikan titik demi titik yang membentuk sebuah gugusan garis yang solid. Kehadiran kita di tahun baru ini merupakan hal penting untuk disyukuri, karena masih punya kesempatan untuk belanja kebaikan yang lebih banyak lagi. 

Saya berharap di tahun ini lebih baik dan lebih beruntung dari tahun sebelum-sebelumnya. Orang beruntung adalah dia yang hari ini lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih baik dari sekarang. Saya berharap dipertemukan dengan orang orang yang mengisnpirasi, tidak ruwet dan tidak baper serta dipertemukan orang-orang yang kehadirannya memacu iman dan taqwa serta berkarya. Di tahun ini juga semoga lebih tekun menyelesaikan beberapa buku sebagai asupan bergizi untuk ruhani serta mencerdaskan dan menyehatkan. Semoga Allah mengabulkan… amiin. 

Selamat tinggal 2024…

Share:

Kewajiban Berkurban Bagi Orang Muslim

Dokumentasi Kurban di Soebono tahun 2012
Dok. kurban di Yayasan Soebono 2012

Dzulhijjah bagi umat muslim merupakan momentum bersejarah tak terlupakan, pada bulan tersebut peristiwa dahsyat yaitu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah swt menyembelih puteranya sebagai kurban. Dari situlah akar historis ibadah kurban diambil. Selain itu, Dzulhijjah juga bulan terakhir dalam perhitungan kalender hijriyah. Di akhir tahun tersebut, seolah-olah setelah bekerja setahun penuh, sebagai hamba Allah yang taat ‘ditagih’ sebagian kecil penghasilannya untuk berkurban, sebagai bentuk syukur dan cara mendekatkan diri kepada Allah. 

Adapun landasan hukum kurban didasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas ra yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ibn Majah, At-Tirmidzi, An-nasa’I, Ibn Majah dan Imam Ahmad, semakna dengan riwayat Imam Muslim.

 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا 

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas, dia berkata: “Rasulullah saw. berkurban dengan dua ekor domba jantan yang berwarna putih kehitaman lagi bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sambil mengucapkan basmalah dan bertakbir dan meletakkan kakinya di salah satu sisi dari kedua hewan tersebut. 

Dalam hadis tersebut di atas, Rasul saw berkurban dua kambing, dirinci dalam riwayat Imam Baihaqi Nabi berkurban untuk beliau dan ummatnya. Dalam hadis tersebut juga disebutkan bertanduk dan warnanya, hal ini menurut ulama’ isyarat disunnahkan yang bertanduk dan pilihan warna putih yang ada hitamnya. Pendek kata, berkurban hendaknya dengan hewan yang terbaik dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. 

Kemudian Nabi menyembalih dengan tangan beliau sendiri, artinya disunnahkan untuk menyembelihnya sendiri, kecuali ada uzur, baru diwakilkan kepada ahlinya atau panitia. dengan catatan sesuai dengan aturan syara’. 

Kemudian hadis di atas juga menyebutkan tata cara menyembelihnya, yaitu direbahkan terlebih dahulu, artinya tidak disembelih dalam keadaan berdiri. Hal ini akan dibicarakan khusus dalam kitab-kitab fiqh tentang cara penyembelihan. 

Adapun berkaitan dengan hukumya, ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ mewajibkan namun menurut jumhur menghukuminya sunnat, marilah kita udar satu persatu; 

Berkurban Hukumnya Wajib

 Pendapat yang menyatakan bahwa kurban itu wajib antara lain berdasarkan kepada Al-Qur'an dalam surat al-Kautsar.

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 

Dalam kaidahnya, perintah menunjukkan wajib, pada frase ‘berkorbanlah’ dalam surat al-Kautsar di atas difirmankan dengan bentuk amar (perintah), hal ini menunjukkan bahwa berkurban hukumnya wajib. Diperkuat dengan hadis 

 

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من كان له سعة ولم يُضَحِّ فلا يقربنَّ مُصلاَّنا 

“Barang siapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami” (H.R. Ibnu Majah). 

Larangan mendekati tempat shalat dalam hadis di atas mengindikasikan adanya kewajiban, Di dalam kitab subul as-salam, Imam as-Shan’ani menuliskan pendapat ulama’ yang mengesankan bahwa tidak ada faidahnya melaksanakan shalat tetapi meninggalkan kewajiban ini (kurban). Adapun yang mempunyai pendapat wajibnya kurban antara lain adalah Ima Hanafi. 

Berkurban Hukumnya Sunnah

Mayoritas ulama berpendapat sunnat, salah satu dasarnya adalah hadis Ummu Salamah,

 أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يُضحى فلا يمسَّ من شعره وبشره شيئًا 

“Jika 10 Dzulhijjah telah datang, dan Apabila salah satu diantara kamu hendak berkurban maka janganlah ia menyentuh (ikut memakan) rambut dan kulitnya sedikit pun”. 

Dari hadis di atas terdapat frase, ‘apabila salah satu diantara mau menghendaki” ini menunjukkan tidak wajib. Jadi, hukum berkurban adalah sunnat, pendapat jumhur ulama’ mengatakan bahwa berkurban hukumnya sunah. Seperti pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Mundir, Daud dan Ibnu Hazm. 

Adapun berkaitan dengan hadis nabi yang bernuansa perintah/wajib, sebenarnya bagi rasul kurban adalah wajib tapi bagi ummatnya adalah sunah, Sebagaimana riwayat Imam Baihaqi, kutiba alaiyya an-nahru wa walam yuktab alaikum, diwajibkan atasku tapi tidak wajib untuk kalian. Masih hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi bahwa “ada tiga amal yang wajib bagiku, namun sunnah bagi kalian”, salah satunya adalah ibadah kurban. Bahkan dalam riwayat Imam Baihaqi yang lain dijelaskan Abu Bakar dan Umar pada tahun-tahun awal tidak berkurban karena khawatir dianggap sebagai syariat wajib, padahal secara finansial Abu Bakar termasuk sahabat yang kaya raya. 

Meski tidak wajib, tapi berkurban sangat dianjurkan karena mempunyai nilai penting bagi kemaslahatan bersama, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Saking pentingnya berkurban, dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada Imam Baihaqi, Ibn Abbas ketika jelang ‘Idul Adha memberikan dua dirham kepada budaknya untuk membel idaging dan mengabarkan kepada orang-orang sebagai kurbannya Ibn Abbas. 

Riwayat yang lain, Bilal bin Rabah berkurban dengan ayam, pendek kata, berkurban itu penting bagi siapapun. Mental Islam didik sebagai mental pekurban bukan peminta-minta, hatta sahabat sekalipun, apalagi masih sekelas ustadz, karena perbuatan meminta-minta adalah memalukan dan tidak terpuji.

Share:

Multi Tafsir Makna Fi Sabilillah


Ramadhan datang lagi, setiap memasuki penghujung Ramadhan salah satu pertanyaan yang selalu terulang adalah mustahik zakat dalam kategori fi sabilillah. Penulis akan berusaha menyajikan pendapat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang mazhab baik klasik maupun ulama’ kontemporer, agar maknanya jelas bagai bulan purnama (jw. ceto welo-welo).

Kalau kita menyisir lembaran Al-Qur'an maka kita akan temukan kata fisabilillah terulang 45 kali yang tersebar dalam 42 ayat di 13 surat. Satu kali di surat Makiyyah yaitu surat al-Muzammil dan selebihnya di dalam surat yang tergolong Madaniyah, paling banyak terulang di surat al-Baqarah dan at-taubah, masing-masing terulang 9 kali. Namun yang akan kita kaji adalah fokus dengan fi sabilillah dalam kaitannya dengan ashnaf mustahik zakat. Kami cukupkan sampai di sini profil frase fi sabilillah dalam Al-Qur'an.  

Tulisan ini bukan pledoi yang melihat penafsiran fi sabilillah dengan kaca mata kuda, melainkan mengungkap secara ilmiah bahwa faktanya ada perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari mengenai makna fi sabilillah sebagai ashnaf zakat sebagaimana ditunjuk dalam surat at-Taubah: 60.

Terminologi fi sabilillah tampak global, tidak ada target audiens yang spesifik, sehingga butuh keterangan pendamping untuk menjelaskan maksudnya. Secara literal fi sabilillah bermakna di jalan Allah.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang berbeda, yaitu ulama’ kontemporer seperti Rasyid Ridha, mahmud syaltut dan kawan-kawan, di sisi lain ada jumhur ulama’ dalam hal ini adalah imam empat mazhab; Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

 

Fī Sabilillah Menurut Ulama Kontemporer

Sayyid Rasyid Rida dalam tafsir al-manār menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai makna fī sabīlillah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan sabīlillah di sini adalah kemaslahatan umat Islam secara umum karena dengannya (zakat) dapat memperkuat urusan agama dan negara. Senada dengan Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut berpendapat, fi sabīlillah lebih dekat dengan makna kemaslahatan umum, Syaltut memberikan beberapa contoh yang salah satunya adalah keperluan militer untuk meningkatkan keamanan negara. Termasuk di dalamnya pendirian rumah sakit militer, pembuatan jalan, rel kereta api dan keperluan umum lainnya untuk kepentingan militer.

Mahmud Syaltut mengutip pendapat ar-Rāzī dalam kitab tafsir mafatihul ghaib (Juz, 16, 115): “Secara umum makna fī sabīlillah  tidak dipersempit ke makna tentara perang. Oleh sebab itu al-Qaffāl menuliskan dalam tafsirnya yang bersumber dari pendapat para ahli fikih bahwa mereka membolehkan distribusi zakat (melalui asnaf ini) untuk keperluan kemaslahatan umum. Dan masih banyak lain pendapat ulama’ kontemporer, namun tidak ditampilkan secara keseluruhan di sini. Benang merah pendapat mereka dapat ditangkan bahwa di jalan Allah yang dimaksud adalah semua jalan kebaikan (sabilil khair) yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Hasil penelitian Jamalia Idrus tahun 2011, membagi perbedaan makna fi sabilillah menjadi dua katagori yakni pengertian secara sempit dalam arti jihad atau perang di jalan Allah seperti Ibnu Katsir, meskipun mufasir lain seperti  al-Maraghi, Buya Hamka dan lainnya memaknai fi sabilillah dalam arti luas atau umum, yaitu meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, dan memasukkan semua kegiatan sosial.

Perlu diketahui bahwa, ulama’ kontemporer juga tidak bulat satu suara menginterpretasikan fi sabilillah dalam makna luas, seperti Wahbah az-Zuhaily, seorang profesor produktif ahli di bidang tafsir, fiqh dan keilmuan lainnya, beliau berpendapat fī sabīlilah sebagaimana pendapat para imam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang memaknai fī sabīlilah sebagai tentara perang yang tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah/negar (baca, Mausū’atu al-Fiqh al-Islāmiy, 782-783).

Syekh Yusuf al-Qaradhawi sendiri sebenarnya netral, seperti pengakuannya dalam Kitab az-Zakah menurutnya, tidak ada perluasan arti sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Begitu pula tidak mempersempit pengertian sabilillah hanya untuk jihad dalam arti tentara saja. Beliau melihat bahwa jihad itu lebih umum pengertiannya dari pada qital (berperang), peperangan itu hanya bagian dari bentuk jihad yang diberi dana zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun menurut penilaian penulis al-Qaradhawi lebih condong kepada pemaknaan lebih luas, silahkan telusuri Kitab az-Zakah, di sana banyak makna yang dipaparkan.  

 Menurut Jumhur Ulama’

Pendapat Imam Hanafi, diwakili Abu Yusuf, fī sabīlillāh adalah tentara perang yang miskin, termasuk juga orang haji yang kehabisan perbekalannya, karena haji termasuk jihad melawan nafsu. Imam Kasāni menafsirkan fi sabilillah termasuk semua amal saleh dan ketaatan kepada Allah Swt. Namun perlu digaris bawahi tebal-tebal, seluruh Ulama' Hanafiyah di atas menurut Ibnu Najim dalam al-Bahrur Raiq mensyaratkan status fakir miksin. Ini yang terkadang luput dari penceramah. Bahkan seorang tentara perang tidak diberi bagian zakat apabila ia tidak fakir, lebih jelasnya, Ibn al-‘Arabi dalam ahkam al-Qur’an mengatakan la tu’tha al-ghazi illa idza kana faqiran (tentara perang tidak diberi bagian fi sabilillah kecuali bila ia fakir)

Kemudian Imam Maliki sebagaimana dinukil oleh Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menyatakan,

سُبُل الله كثيرة, ولكنى لا أعلم خلافا في أن المراد بسبيل الله هاهنا الغزو من جملة سبيل الله

Jalan-jalan Allah itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fī sabīlillah di ayat ini adalah berperang (di jalan Allah Swt.)

Muhammad bin Abdul Hakam membolehkan keperluan diambil dari zakat. Sependapat dengan ad-Dasūqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi mengatakan, harta zakat dapat diberikan dalam bentuk peralatan perang yang dibagikan kepada mujahid, kalau demikian dapat disimpulkan sementara bahwa fī sabīlillah menurut malikiyah berkenaan dengan perang dan jihad tanpa memandang status ekonomi tentara. Penggunaan zakat juga bisa untuk bangunan perang atau peralatan perang, tapi pada intinya adalah berkaitan dengan perang—tidak sembarang sesuatu yang mengandung kemashlahatan umum. Jadi, jelas bahwa bukan untuk sekolahan, rumah sakit umum, jalan raya atau publikasi, karena terlalu jauh dan terkesan dipaksakan konteks kegunaannya dari zakat, kecuali kalau dari infaq atau sumber dana baitul mal lainnya.

Dalam kitab al-minhāj, Imam Nawawi juga musyarrihnya Ibnu Hajar al-Haitami, berpendapat, maksud fī sabīlillah adalah tentara perang sukarela yang tidak digaji pemerintah. Dapat ditarik benang merahnya bahwa antara mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sepakat fī sabīlillah dalam konteks zakat hanya untuk hal hal yang berkaitan dengan perang. Sepakat pula dalam pemberian zakat untuk tentara yang kaya sekalipun, serta sepakat dalam membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang. Bukan untuk pembangunan rumah sakit, jalan atau fasilitas umum lainnya. Seperti gedung sekolah, pesantren. Sekali ini dalam pandangan imam mazhab. 

Senada dengan pandangan mazhab Syafi’I adalah pandangan fī sabīlillah menurut mazhab Hanbali, yakni tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah, walaupun mereka orang kaya boleh diambilkan dari dana zakat. Sayyid Hasan Khan dalam kitab Raudhatun Nadhiyyah yang dikutip oleh Qaradhawi dalam Kitabuz Zakah bahwa tak perduli kaya atau miskin semua ulama’ boleh mendapat bagian zakat dari sabilillah.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa jumhur empat mazhab berbeda pendapat dalam hal tekhnis distribusi zakat kepada ashnaf fi sabilillah, namun semua sepakat bahwa jihad yang dimaksud adalah dalam arti perang baik secara langsung maupun sarana prasaran perang atau keamanan, termasuk dibolehkan untuk kesejahteraan tentara perang

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ ابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ يُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، فَيُهْدِي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa tentara perang yang berjihad di jalan Allah dihalalkan baginya harta zakat. Penyebutan kriteria tentara di hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah dalam ayat 60 di surah At-Taubah adalah tentara perang. Seklai lagi, bukan kemashlahatan dalam makna umum.

 

Kesimpulan

Setelah mempertimbangan beragama pendapat seperti terbaca di atas maka, dapat disimpulkan menjadi dua pemaknaan fi sabilillah, pertama, para cerdik cendekia dan ulama kontemporer menginterpretasikan fi sabilillah dalam arti luas, yaitu dalam arti semua jalan kebaikan (fi sabilil khoir) sehingga cabangnya tak terbatas, mengatanamakan kontekstualisasi dan perbedaan zaman dalam memaknai perang. Inpirasi ini juga dapat ditemukan pendapat al-Qaffal dalam Tafsir Murah Labiid atau yang dikenal dengan nama tafsir al-munir karya Syeikh Nawawiy al-Bantani.

Kedua, jumhur ulama’ dari empat mazhab memaknai fi sabilillah dalam arti sempit yaitu sesuatu yang hal-hal yang berkaitan dengan jihad dalam arti perang. karena jika fi sabilillah dimaknai dalam arti luas yaitu fi sabilil khair, maka apapun kebaikan akan masuk calam cakupannya, termasuk bagian kepada fakir miskin, yatim, jatah ‘amil, gharim dan seterusnya semua masuk dalam sabilil khair dan ini akan menimbulkan kerancuan cakupan makna fi sabilillah itu sendiri. Tidak perlu kitab tebal, kita bisa lihat di Tafsir al-Jalalain saja misalnya,

وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء

Maksudnya: “ (fi sabilillah) artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ sekalipun mereka kaya”

Jadi, fi sabilillah dalam arti sempit lebih tepat menurut penulis, bukan semua kebaikan yang bersifat umum dicakup dalam makna fi sabilillah, terlebih lagi pembangunan fasilitas umum tidak ada batasannya yang jelas, yang mengkhawatirkan nasib kemanusiaannya fakir, miskin dan ashnaf zakat lainnya. Penulis juga dikuatkan dengan karya DR. Muhammad bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadlih yang memilih bahwa sabilillah dalam arti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT adalah yang paling benar. Perlu diingat itu pula pendapat mayoritas ulama’.

Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan