Terbit, 17 September 2015 |
Idul Adha menjadi momentum religius bagi umat muslim setiap tahunnya, mereka yang secara finansial, sehat dan aman dalam perjalanan, diwajibkan menunaikan ibadah haji ke tanah suci sekali seumur hidupnya. Proses keberangkatan saudara-saudara kita sudah berlangsung sebulan yang lalu, menurut situs terpercaya, tahun ini lebih dari 155 ribu jamaah haji Indonesia diberangkatkan ke tanah suci Mekah untuk memenuhi panggilan suci sebagai tamu Allah (dhuyufur-rahman). Kita semua tentu berharap sekembalinya mereka ke tanah air membawa dampak perubahan sosial yang positif, budaya dan etika keberagamaan yang luhur. Momentum puncak yang ditunggu ialah hari dimana semua jamaah haji di dunia berkumpul di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah menurut perhitungan bulan Qamariyah.
Bagi ummat muslim yang berdomisili di negerinya masing masing, sangat dianjurkan merayakan momentum Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban berupa binatang ternak, domba, sapi atau sejenisnya, yang dilaksanakan selepas sholat Idul Adha sampai tiga hari setelahnya (ayyamut-tasyriq), sebagai simbol rasa syukur atas karunia kenikmatan yang telah diterima dari rabb-nya. Sungguh menjadi hari yang sakral bagi orang orang yang mampu menemukan hikmah ajaran kurban.
Ibadah Qurban laksana napaktilas laku lampah Nabi Ibrahim as yang ketika itu diperintah menyembelih putera kesayangan yaitu Nabi Ismail as, kala itu Ismail maih bocah sedang lucu-lucunya. Demi kepatuhannya kepada Allah apapun harus rela dipertaruhkan meskipun seorang putra dari darah dagingnya sendiri. Sebuah totalias kepatuhan yang harus diteladani, anak yang dicintai setelah sekian lama dinanti harus diikhlaskan atas permintaan Sang Pencipta
Pertama, dari sudut akar historisnya, merujuk pada pelaksanaan kurban sejak Nabi Adam, kurban adalah bentuk ibadah yang sama tuanya sejak manusia ini ada, ibadah kurban sama sekali bukan hal baru, ountentisitas historinya jelas dan terdokumentasikan dalam refrensi primer yang tak pantas untuk diragukan, karenanya tak butuh perdebatan epistemologis berkepanjangan. Yang harus tetap digali dan disesuaikan dengan kondisi kekinian.
Kedua, dengan digantikannya Ismail dengan domba surga, seolah memberi jawaban tuntas sekaligs meluruskan kekeliruan pemikiran kurban berupa manusia yang kerap terjadi pada masa itu. Sebut saja di Mesir dikenal tradisi mengurbankan gadis tercantik untuk dewi sungai Nil, di Kanaan Iraq bayi-bayi dipersembahkan untuk dewa Ba’al. Di Meksiko suku Aztec mengorbankan jantung manusia untuk dewa Matahari. Di Eropa utara, orang-orang Viking yang tadinya mendiami skandinavia mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin”. (Tafsir al-Misbah: Vol.12 ) Kehadiran Nabi Ibrahim yang diperkirakan hidup pada ke-18 sebelum masehi menjadi jawaban atas penolakan kurban berwujud manusia.
Ketiga, Tuhan sedemikian kasihnya terhadap manusia, sehingga kurban dalam bentuk mansuia tidaklah diperkenankan, manusia hidup tidak untuk dikurbankan tetapi untuk dimuliakan, karena manusia diciptakan untuk mengabdi dan melestarikan isi bumi.
Darah dan daging yang teralir pada saat penyembelihan kurban bukan untuk Allah Yang Maha Suci (QS. 22:37), karena Dia tidak butuh darah segar, wanita cantik, bayi mungil atau jantung manusia. Justru Dia-lah sang pemberi nikmat, melalui media kurban hendak mengingatkan kepada hambanya yang bertaqwa akan pentingnya hidup berbagi kepada sesama dan menebar kasih sayang dengan pembuktian bukan sekedar manisnya slogan.
Dalam kehidupan sehari-hari yang katanya modern ini, pelajaran hakikat kurban sering terlupakan, faktanya praktek dan penjelmaan wujud korban berupa manusia kerap kali masih berjatuhan, tentu dengan praktek yang berbeda dan lebih sistematis, tidak langsung mengiriskan pisau di urat leher atau mencekiknya, tetapi melalui mekanisme tertentu yang dapat menindas orang lain. Toh, seandainya ada tindakan pembunuhan sadisme secara fisik tentu terbilang sangat langka.
Bentuk kurban berwujud manusia saat ini, berubah wujud menjelma menjadi kekerasan non-fisik dengan kemasan yang lebih elegan, sebut saja salah satunya adalah tindakan korupsi, sepak terjang koruptor menelan uang negara jutaan bahkan milyaran rupiah adalah bentuk kurban berwujud manusia, bagaimana tidak, uang negara yang seharusnya terdistribusikan untuk kepentingan kesejahteraan umum raib dikantong koruptor, dalam kasus ini sudah berapa jumlah anggota keluarga yang ‘dibunuh’ kesejahteraan. Contoh lain yang setara dengan kurban berwujud manusia adalah pertentangan dua kubu politisi yang saling berseberangan, biasanya saling piting, saling banting dengan berbagai cara hingga tak segan-segan menghancurkan reputasi rival politiknya.
Pendek kata, pola seperti apapun yang korbannya dalam wujud manusia baik secara langsung maupun tidak langsung harus lenyap dari bumi persada ini, seiring dengan penghayatan yang mendalam terhadap momentum hari raya kurban karena manusia terlalu mahal untuk dikorbankan untuk tujuan apapu, terlebih lagi untuk tujuan duniawi yang tidak luhur misalnya jabatan, bisnis, atau sekedar pencitraan belaka.
Selain itu, peristiwa kurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim mengajak kepada kita untuk patuh kepada Allah secara totalitas, secara all out mengorbankan semua yang kita punya bila tuhan sang pemberi telah memintanya, apalagi hanya sekedar hewan sesembelihan. Bila dibandingkan dengan dengan pengorbanan Nabi Ibrahim atas putera belahan jiwanya, hal itu tak seberapa.
Melalui kurban yang pro-sosial itu, rasa kasih sayang kita kepada sesama sedang ditagih secara konkret, dimana keuntungannya tidak hanya kepada penerima tetapi berpengaruh positif terhadap kejiwaan si pemberi (Mark Devis: 2004). Karenanya harus dikembangkan disuarakan dengan lantang dimanapun kita berada.
No comments:
Post a Comment
Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )