• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Guru di Simpang Jalan Literasi dan Administrasi

Terbit, Februari 2025

Kehadiran guru sangat dibutuhkan oleh setiap bangsa dalam kerangka mencetak generasi penerus yang handal, di pundak mereka nasib bangsa ditentukan. John Dewey menekankan pentingnya pendidikan menjadi alat utama dalam membangun masyarakat maju. Dalam hal ini guru punya peran strategis menelurkan warga negara yang inovatif, produktif, kritis dan berdaya saing. Senada dengan teori perubahan sosial melalui pendidikan yang digagas Emile Durkheim yang mengatakan bahwa pendidikan adalah alat utama dalam membangun kohesi sosial dan integrasi masyarakat. Pendek kata, guru merupakan pilar utama dalam membangun kemajuan bangsa.

Kalau pembaca yang budiman setuju dengan mukaddimah di atas, berarti negara seharusnya selektif memilih guru dan memberi ruang pengayaan wawasan terhadap semua guru supaya up to date fokus tidak pecah dalam proses transformasi pengetahuan kepada anak didiknya. Namun faktanya tidak demikian, masih banyak guru yang disibukkan dengan administrasi yang menyita waktu.

Pagi-pagi, penulis garis bawahi, tulisan ini bukan bentuk peng-abai-an terhadap pentingnya administrasi guru, karena admninistrasi menciptakan efisiensi kerja, evaluasi siswa, profesionalisme dan kordinasi dengan orang tua. Tapi bila terlalu banyak dan bertele-tele dengan hal-hal yang bersifat administratif, bukan tidak mungkin menyebabkan defisit waktu untuk membaca.

Seyogyanya guru menjadi pembaca buku yang ‘rakus’ terhadap pengetahuan dan tidak cepat puas dengan penguasan meteri bahan ajar saja, melainkan meningkatkan perkembagan diri melalui banyak membaca, selain pengayaan wawasan juga sebagai teladan untuk siswa-siswinya, sesuai adagium Jawa guru itu digugu dan ditiru.

Sungguh memprihatinkan baca di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah,  menempati peringkat ke-60 dari 61 negara, sekitar 0,001% dari populasi yang gemar membaca, atau 1 dari 1.000 orang. Perkara seperti ini harus mendapat perhatian serius dari semua elemen bangsa.

Apabila bangsa se-kaya Indonesia dengan anugerah sumber daya melimpah, serta bonus demografi yang dimiliki tidak dikelolah dengan baik, maka kelak akan menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri. Bukan rahmat didapat melainkan laknat.

Dahulu saya pernah mendengar pidato BJ. Habibie yang mengatakan bahwa rakyat yang banyak satu sisi anugerah, tetapi bila salah kelolah akan menjadi prahara bagi bangsa itu sendiri, karena masyarakat yang banyak secara otomatis kebutuhan logistiknya besar dan rentan masalah. Oleh sebab itu butuh SDM yang kreatif, inovatif dan bijak. Pengkaderannya adalah sejak dibangku sekolah dan tumpuan harapannya adalah kualitas guru.

Berbagai strategi diupayakan, perpustakaan didirikan, bahan ajar dicetak, kontennya dibuat semenarik mungkin, namun kadang dilupakan, bahwa minat baca murid harus diimbangi minat baca guru, bila minat baca guru rendah secara otomatis minat baca murid ikut rendah. Ingat bahwa Hasil penelitian John Hattie seorang profesor dari Australia sekaligus peneliti dalam penelitiannta menunjukkan bahwa guru adalah faktor terpenting dalam keberhasilan siswa.

 ***

Sudah bukan rahasi ada sekian banyak guru mengeluh bukan karena kegiatan belajar mengajar melainkan terlalu disibukkan dengan segudang tugas administrasi yang harus diisi, hal ini menyita konsentrasi guru dalam pengajaran, antara lain, program tahunan, laporan program semester, silabus, analisis kopentensi, prosedur penilaian, RPP, jurnal guru, buku presensi, daftar nilai, pembuatan modul, pembuatan soal dan lain sebagainya. Belum lagi tuntutan administrasi dari lembaga dimana guru ditempatkan. Jadi, sebenanrnya aktifitas guru tidak hanya pada proses mengajar, melainkan guru juga harus melaksanakan evaluasi yang holistik dan formatif.

Mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga pernah menyampaikan hal ini terkati dengan beban administrasi, menurutnya "Tantangan lain yang sampai hari ini masih sering menjadi kendala peningkatan mutu pendidikan adalah tugas-tugas administrasi yang harus diselesaikan guru dan kepala sekolah," (Kamis, 20 Mei 2021)

Untuk menjadi model guru sesuai yang diharapkan, dibutuhkan solusi yang salah satunya adalah  mengurangi beban administratif, di era modern ini seharusnya informasi bisa digali dengan cepat dan akurat tanpa harus mengumpulkan bukti yang juga terkadang karya editan..Bila guru masih dihadapkan dengan sederet aturan administrasi, lebih-lebih yang bersifat formil maka fokus mengajar dan pengembangan diri berkurang sedang beban administrasi terus menghantui
Share:

Kurban sebagai Simbol Abadi antara Ritual dan Spiritual

momentum kurban 2025
Momentum kurban 2025

Ada dua momen besar yang melekat dengan 10 Dzulhijjah yakni haji dan kurban. Keduanya bukan sekadar rangkaian prosesi atau sekadar formalitas tahunan tetapi keduanya ibadah yang sarat simbolik dan kaya makna. 

Pertama, haji tanpa pemahaman yang mendalam, bisa berubah menjadi sekadar safari biasa, bahkan ada yang sibuk selfie dan memotret Ka'bah. Haji menjadi wisata religius yang melelahkan tubuh tapi tidak menggugah ruh. Seperti itu pula kalau tawaf dilakukan tanpa perenungan, maka tak jauh beda dengan mengitari tumpukan batu yang disusun menjadi rumah tua. Padahal kandungan dalam ibadah tawaf sangat mendalam. 

Kedua, berkurban. Kurban adalah puncak pembuktian ujian cinta dipersimpangan jalan, antara cinta harta dengan cinta terhadap perintah Allah ta’ala. kurban tidak semata-mata tentang apa yang telah dilepaskan, tetapi bagian dari menyerahkan kepemilikan yang semu kepada Allah yang maha abadi. 

Kalau kita menyisir lembaran sejarah, sebenarnya ibadah kurban sama tuanya dengan usia manusia di alam persada ini, yaitu ketika putra Adam as diperintah berkurban, namun dalam perjalanan sejarah, kurban mengalami penyelewengan dimana kurban berwujud manusia, di suku Aztec di Mexico mempersembahkan jantung manusia kepada dewa matahari. Di Kanaan (Irak kuno), bayi-bayi ditumbalkan untuk dewa Ba’al. Bangsa Viking mengorbankan tokoh agama untuk dewa perang mereka yakni dewa Odion, Sementara di Mesir kuno, gadis-gadis cantik ditenggelamkan sebagai sesajen bagi Dewi Sungai Nil. 

Puncaknya adalah ketika Nabi Ibrahim as diperintah menyembelih putra semata wayangnya saat usia bocah yang sedang lucu-lucunya. Beliau lakukan tanpa tawar-menawar. Kemudian digantikan domba dari surga. Digantikannya Isma’il dengan domba bukan berarti Tuhan berubah ‘pikiran’ melainkan demikian kasihnya Tuhan sekaligus menjadi jawaban bahwa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan, bahkan untuk pengabdian sekalipun. 

Maka, bagaimana bisa manusia dikorbankan demi ambisi dunia, uang, kekuasaan terlebih untuk keuntungan pribadi? Ketika cinta pada dunia membuat seseorang tega mengorbankan sesamanya, saat itulah ia jatuh ke dalam kehinaan paling bawah. Jadi, kurban bukan sekadar sembelihan, bukan tentang jumlah daging yang dibagikan, melainkan tentang keberanian meletakkan apa yang paling kita cintai di hadapan Allah. Bukan tentang daging yang terbagi, tetapi hati yang berserah. 

Di hadapan Allah, yang diterima bukan bentuk, darah atau dagingnya karena Allah bukan dewa yang haus darah atau seperti singa yang keranjingan makan daging mentah. Melainkan esensinya adalah ketaqwaannya. 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang    sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu… (QS. Al-Hajj: 37) 

Di sinilah semua umat Islam tidak membiarkan 10 Dzulhijjah berlalu hanya sebagai tanggal merah, melainkan sebagai panggilan langit bagi hati yang bersedia disucikan, sebab yang Allah terima bukan darah dan daging, tapi ketakwaan dan kerelaan yang mengiringinya.

Share:

Jejak yang Tak Mati: Ziarah ke Pusara Para Wali

Kawasan makam Sunan Ampel
 Kemarin, tiga hari lamanya menembus gelap malam menerjang teriknya siang bolong berziarah ke makam-makam wali di Jatim, tak kurang dari tujuh belas titik yang sengaja kami ziarahi. Ada banyak hal penting yang perlu dikenal dan diambil ‘ibrah dari perjalanan religi tersebut. 

Ziarah bukan sekadar langkah kaki menuju tanah sunyi, bukan sekedar menunduk di hadapan batu nisan dan harum bunga setaman. Ziarah menjadi perjalanan spiritual dengan kaki menapak lembut di antara tanah dan langit, relung fikiran kita berada antara fana dan abadi. 

Di sana, di balik pusara, tersimpan sejarah jiwa-jiwa besar yang telah menyelesaikan tugas sucinya: menjadi hamba Allah seutuhnya, menjadi cahaya di tengah gelapnya dunia. Ziarah ke makam para wali, bukan sekadar mengingat kematian yang pasti, tetapi juga menyaksikan bukti, bahwa hidup bisa berakhir tanpa benar-benar mati. Bahwa ada manusia, yang amalnya menjelma harum, yang namanya dikenang bukan karena dunia, tetapi karena cintanya kepada Yang Maha Esa. 

Makam para wali adalah monumen hidup, situs keabadian yang disingkap oleh Allah kepada mereka yang ingin mencari arah. Ia bukan berhala yang disembah, tetapi pelita yang menuntun, bahwa manusia bisa menjadi mulia, bila hidupnya untuk Allah semata. 

Lihatlah, berapa banyak kaki melangkah ke sana, bukan untuk menyembah, tapi untuk berharap: agar hatinya diberi bara yang sama, bara cinta yang membakar dunia demi akhirat, bara dzikir yang menembus malam-malam dingin, bara amal yang tak haus pujian. 

Ziarah adalah pelajaran tanpa suara. Ia mengajarkan bahwa hidup ini bukan tentang panjang usia, tetapi tentang bagaimana meninggalkan jejak yang tak dilupa. Bahwa ada ruh-ruh mulia yang tubuhnya telah kembali ke tanah, tapi inspirasinya terus hidup, mengalir dalam doa, dzikir, dan air mata. 

Maka, wahai diri…ketika engkau bersimpuh di depan pusara para wali, jangan sekadar menunduk. Bangkitkan hatimu.Tanyakan pada dirimu sendiri: Apakah aku sedang berjalan di jalan yang sama? Ataukah hanya singgah sebagai tamu tanpa tujuan? Karena sungguh, makam para wali bukan sekadar tempat, tetapi cermin jiwa yang mengingatkan, bahwa menjadi hamba yang dicintai Allah itu nyata, dan bisa diraih— bila hidup ini benar-benar untuk-Nya.

Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan