Teologi Kekeringan

terbit, Kamis. 8 Oktober 2015 
Kemarau tahun ini terbilang cukup panjang, beberapa isyaratnya sudah terbaca sejak Bulan Mei ditandai dengan surutnya curah hujan, hawa sejuk mulai menghilang, perlahan-lahan curah hujan melamban dan terhenti total sejak empat bulan belakangan ini, tak pelak lagi, dampaknya terlihat nyata seperti rerumputan menguning, tanah merekah, pohon tak lagi rindang dan sumur-sumur warga secara massal mengering. Fakta ini seolah-olah membenarkan celoteh orang-orang yang berseloroh “di musim hujan kebanjiran, di musim kemarau kekeringan”

Sudah menjadi maklum, salah satu penyebabnya adalah letak geografis Indonesia berada di perlintasan garis katulistiwa yang dilalui iklim tropis dan membuka peluang anomali El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Terlepas dari setting geografis yang memang sudah terberikan dari Sang Maha Pencipta, manusia sebagai mandataris tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) dituntut kreatif dan inovatif menjaga kelestarian bumi dengan melakukan langkah antisipatif menghadapi pergantian musim kemarau diikuti cuaca ekstrim berdampak kekeringan.

Tulisan ini hendak menyoroti kekeringan dari aspek teologis, penulis menyadari sepenuhnya bahwa istilah ‘teologi kekeringan’ terdengar asing di ruang dengar kita. Perlu diketahui bahwa teologi yang dimaksud di situ adalah, sebuah pendekatan epistemologis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar, apakah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia setiap musim kemarau datang itu, takdir atau sunnatullah?

Makna takdir itu sendiri adalah ketetapan Tuhan untuk ciptaannya sejak zaman azali, semuanya tertulis rapi dan tersimpan aman dalam genggamannya. Yang pasti, harus kita yakini bahwa alam semseta ini didesain bergerak dan teratur melayani manusia. Masing-masing ciptaannya berjalan harmonis, tidak tumpang tindih, antara matahari dan rembulan, bumi dan planet lainnya, termasuk desain kemampun daya serap bumi terhadap air hujan dari langit, keseluruhannya terukur dan berkesusuaian. Pergeseran dari hujan kebanjiran dan kemarau kekeringan tentu bukan kesalahan alam, karena alam sebelumnya berjalan sesuai dengan rule yang harmonis.

Dengan demikian kekeringan yang melanda penduduk bumi, bukanlah sebuah takdir yang hana bisa ditangisi atau disesali, melainkan sunnatullah yang tak mungkin berubah bila prilaku sosial yang menjadi penyebab utamanya tidak diubah. Karena sunnatullah berjalan secara pasti dan konsisten (baca, QS. 35:43). Penyebab kemarau dan kekeringan selain faktor geografis, di dalamnya ada andil prilaku sosial masyarakat yang masih saja tidak sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam.

Paling tidak, ada tiga prilaku yang mendorong terjadinya kekeringan; pertama, penggundulan hutan yang membabi buta kemudian tidak diikuti gerakan reboisasi yang menyeluruh, sehingga hutan menjadi gundul, menyebabkan banjir dan kekeringan, penyebab banjirnya karena air tidak terikat oleh akar dan daun daunan, juga menyebabkan kekeringan, karena air cepat meresap dan menguap

Kedua tata kota yang buruk, tata kota yang buruk ikut andil dalam mencipta kekeringan, tata kota tidak semata mata memperhatikan estetika tata letak dan bentuk bangunan, tetapi juga harus memperhatikan etika dalam memperlakukan alam, seperti taman-taman kota, saluran air, resapan dan perbaikan sanitasi. Bila hal ini tidak diperhatikan, maka air di musim penghujan terbuang sia-sia. Dengan menciptakan resapan yang baik, maka debit air hujan akan menjadi tabungan tersendiri di dalam alam untuk diunduh melalui sumber air sumur pada saat langit sundah tidak mengirimkan air hujannya.

Pemangku kebijakan dalam hal ini berperan penting dalam memberikan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), karena merekalah yang menggawangi kebijakan desainnya, diharapkan memperhatikan dan memperhitungkan secara matang serta persyaratan yang ketat terhadap pentingnya resapan air bagikelangsungan hidup dimuka bumi ini, mengingat air merupakan kebutuhan hidup yang paling vital.
Ketiga, penggunaan air yang berlebihan tanpa memperhitungkan daya tampung sumber air secara makro, menurut sumber terpercaya, persediaan air di Pulau Jawa pada tahun 2007 hanya 30 miliar kubik. Sementara kebutuhan air di Pulau Jawa mencapai 62 miliar kubik, statistik angka menunjukkan defisit 32 milyar kubik, sejak puluhan tahun lalu.

Ketiga hal tersebut, bukanlah faktor given yang tidak bisa diubah, melainkan sangat memungkinkan untuk membuat formula mengatasi kekeringan yang ada, bila hal ini diakitkan secara teologis maka pisau analisa yang dipakai adalah sunnatullah atau bisa orang menyebutnya dengan hukum alam (natural law) walaupan bila didaki penjelasannya akan berbeda sari segi epitemologisnya. Meskipun tidak signifikan dalam konteks membincang kekeringan.

Menurut beberapa pakar, sebut saja misalnya Baqir Shadr, mendefinisikan sunnatullah sebagai hukum-hukum Allah yang berlaku untuk seluruh jagad raya, bersifat pasti dan tidak berubah. Definisi ini mempunyai makna bahwa alam yang harmonis ini akan terus langgeng bila penghuninya mampu melestarikan dan menjaga keseimbangannya, sebaliknya bila penghuninya abai maka akan terjadi ketimpananga dan kekacauan, seperti banjir, kebakaran dan termasuk kekeringan.

Secara teologis kekeringan yang terjadi saat ini disebabkan daya tampung serapan air hujan yang kurang maksimal sehingga debit air dalam perut bumi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makhluk tuhan di atasnya. Sehingga kondisi alam berubah, seharusnya alam sebagai ‘pelayan’ manusia, justru berbalik menjadi ‘lawan’ bagi manusia itu sendiri. Bila hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan terus terjadi kekeringan setiap musim kemarau.

Serapan air buatan harus dilakukan sebagai upaya utnuk melestarikan alam yang sudah by design mampu menampung air dan memberikannya kepada manusia melalui sumber air sumur yang dibuat oleh manusia pada saat air tersebut dibutuhkan.

Dampak kekeringan tidak berpengaruh pada kebutuhan keseharian seperti mandi, cuci dan kakus semata, tetapi dampak lainnya sangat besar pula pada produktivitas buah-buahan, sayur mayur, kesehatan lingkungan yang cenderung panas dan membawa banyak penyakit, apalagi bila kaitannya dengan pertanian dan perkebunan. Keseimbangan hidrologis dan agronomis adalah dua hal penting yang harus dijaga keseimbangannya secara berkesinambungan hingga penghuni terakhir alam ini.

Membuat waduk dan mengamankan aliran sungai dari hulu hingga hilir
Bila demikian adanya, maka kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan ini bukanlah bagian dari takdir melainkan semata mata manusia sebagai khalifah yang semesetinya memakmurkan bumi abai dengan keadaannya sendiri

Paradigma kekeringan diyakini sebagai sebuah takdir harus diubah menjadi paradigma sunnatullah, dalam arti bisa diatasi dengan cara merubah pola pikir seseorang berprilaku yang pro alam, agar terjadi hubungana antara manusia dengan alam secara harmonis
Share:

1 comment:

Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan