• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Showing posts with label tasawuf. Show all posts
Showing posts with label tasawuf. Show all posts

Kurban sebagai Simbol Abadi antara Ritual dan Spiritual

momentum kurban 2025
Momentum kurban 2025

Ada dua momen besar yang melekat dengan 10 Dzulhijjah yakni haji dan kurban. Keduanya bukan sekadar rangkaian prosesi atau sekadar formalitas tahunan tetapi keduanya ibadah yang sarat simbolik dan kaya makna. 

Pertama, haji tanpa pemahaman yang mendalam, bisa berubah menjadi sekadar safari biasa, bahkan ada yang sibuk selfie dan memotret Ka'bah. Haji menjadi wisata religius yang melelahkan tubuh tapi tidak menggugah ruh. Seperti itu pula kalau tawaf dilakukan tanpa perenungan, maka tak jauh beda dengan mengitari tumpukan batu yang disusun menjadi rumah tua. Padahal kandungan dalam ibadah tawaf sangat mendalam. 

Kedua, berkurban. Kurban adalah puncak pembuktian ujian cinta dipersimpangan jalan, antara cinta harta dengan cinta terhadap perintah Allah ta’ala. kurban tidak semata-mata tentang apa yang telah dilepaskan, tetapi bagian dari menyerahkan kepemilikan yang semu kepada Allah yang maha abadi. 

Kalau kita menyisir lembaran sejarah, sebenarnya ibadah kurban sama tuanya dengan usia manusia di alam persada ini, yaitu ketika putra Adam as diperintah berkurban, namun dalam perjalanan sejarah, kurban mengalami penyelewengan dimana kurban berwujud manusia, di suku Aztec di Mexico mempersembahkan jantung manusia kepada dewa matahari. Di Kanaan (Irak kuno), bayi-bayi ditumbalkan untuk dewa Ba’al. Bangsa Viking mengorbankan tokoh agama untuk dewa perang mereka yakni dewa Odion, Sementara di Mesir kuno, gadis-gadis cantik ditenggelamkan sebagai sesajen bagi Dewi Sungai Nil. 

Puncaknya adalah ketika Nabi Ibrahim as diperintah menyembelih putra semata wayangnya saat usia bocah yang sedang lucu-lucunya. Beliau lakukan tanpa tawar-menawar. Kemudian digantikan domba dari surga. Digantikannya Isma’il dengan domba bukan berarti Tuhan berubah ‘pikiran’ melainkan demikian kasihnya Tuhan sekaligus menjadi jawaban bahwa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan, bahkan untuk pengabdian sekalipun. 

Maka, bagaimana bisa manusia dikorbankan demi ambisi dunia, uang, kekuasaan terlebih untuk keuntungan pribadi? Ketika cinta pada dunia membuat seseorang tega mengorbankan sesamanya, saat itulah ia jatuh ke dalam kehinaan paling bawah. Jadi, kurban bukan sekadar sembelihan, bukan tentang jumlah daging yang dibagikan, melainkan tentang keberanian meletakkan apa yang paling kita cintai di hadapan Allah. Bukan tentang daging yang terbagi, tetapi hati yang berserah. 

Di hadapan Allah, yang diterima bukan bentuk, darah atau dagingnya karena Allah bukan dewa yang haus darah atau seperti singa yang keranjingan makan daging mentah. Melainkan esensinya adalah ketaqwaannya. 

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang    sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu… (QS. Al-Hajj: 37) 

Di sinilah semua umat Islam tidak membiarkan 10 Dzulhijjah berlalu hanya sebagai tanggal merah, melainkan sebagai panggilan langit bagi hati yang bersedia disucikan, sebab yang Allah terima bukan darah dan daging, tapi ketakwaan dan kerelaan yang mengiringinya.

Share:

Tafsir Lailatul Qadar Perspektif Angka dan Hari


Alquran menjadi kitab samawi terakhir paling sempurna diantara kitab samawai lainnya. Di dalamnya memuat aneka cakrawala pengetahuan yang tak lekang ditelan zaman. Alquran laksana samudera tak bertepi, kedalaman informasinya tidak terbatas. Untuk itulah, Alquran terus terbuka untuk diinterpretasi.

Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengungkap kandungan isi Alquran, salah satunya adalah melalui pendekatan keajaiban angka-angka yang diaplikasikan untuk membedah misteri turunnya malam seribu bulan (laylah al-qadr).

Lailatul qadar menurut mayoritas ulama’ akan terjadi di setiap tahun di bulan Ramadhan. Pendapat tersebut menolak pendapat yang mengatakan bahwa lailatul qadar sudah tidak terjadi lagi. Selain itu, secara tidak langsung menolak pendapat yang mengatakan lailatu qadar--dalam arti malam penentuan perjalanan hidup—terjadi setiap malam Nisfu Sya’ban seperti dalam tafsir al-Qurthubi yang disandarkan kepada Ikrimah.

Terjadinya lailatul qadar setiap tahun di bulan ramadhan diperkuat dengan penjelasan hadis tentang anjuran mencurahkan tenaga untuk ibadah di sepuluh hari terkahir setiap Ramadhan untuk mendapatkan lailatul qadar. Ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu turunnya.
Secara bahasa, lailatul qadar bisa berarti malam penentuan, malam yang penentuan dan malam mulia. Disebut malam penentuan karena pada malam tersebut Allah menentukan nasib hambanya selama satu tahun ke depan. Penentuan tersebut ini merupakan realisasi dari penetuan taqdir azalinya Allah swt. Imam Mujahid menyebutnya dengan lailatul hukmi

Dalam Dar al-Masun karya al-Halibi, lailatul qadar diartikan sebagai malam yang sesak dan sempit, malam tersebut dunia seolah sempit dan sesak karena penuh sesak oleh malaikat yang turun ke bumi. Malam qadar juga diartikan malam mulia, beribadah pada malam tersebut pahalanya dilipatgandakan melebihi seribu bulan bahkan lebih.

Terminologi tersebut dapat ditampung secara keseluruhan, bahwa bahwa lailatul qadar merupakan malam yang mempunyai kemulyaan seribu bulan di mana malaikat turun ke bumi untuk mendoakan hamba Allah yang bermunajat seolah-olah alam ini menjadi sempit dengan banyaknya malaikat yang pada malam tersebut.

Lailatul Qadar dalam Perspektif Angka dan Hari
Mayoritas ulama’ sepakat, bahwa lailatul qadar turun pada malam di bulan bulan ramadhan setiap tahun, namun mereka berselisih pada hitungan malam keberapa lailatul qadar terjadi?. Ada beragam pendapat tentang hal ini. Dari sekian pendapat, yang paling populer adalah pendapat yang di sandarkan kepada Ibn Abbas bahwa bahwa laylah al-qadar terjadi pada setiap tanggal 27 Ramadhan.

Dalam tafsir Ibn Katsir, dikutip sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang terdapat dalam musnad at-Thayalisi, bahwa Rasul saw

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في ليلة القدر: "إنها ليلة سابعة - أو: تاسعة -وعشرين، وإن الملائكة تلك الليلة في الأرض أكثر من عدد الحصى
Sesuangguhnya Rasul saw bersabda: sesungguhnya lailatul qadar itu hari ke 27 atau 29, dan malaikat pada malam itu beradi dibumi lebih banyak daripada hitungan kerikil.

Pendapat tersebut di atas didukung oleh ulama’ Hanabilah, Syafi’iyah dan Abu Hanifah. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, bila ada orang yang berkata pada istrinya: “Kamu wanita yang dicerai pada malam Lailatul Qadar”, maka itu berarti talaknya jatuh pada tanggal 27 Ramadhan. 

Dalam literatur kitab tafsir banyak dijumpai pendapat yang menyatakan lailatul qadar terjadi malam ke-27, sebut saja tafsir Dar al-Masun, Ruh al-Ma’ani maupun Murah Labid dan lain-lain. Argumen mereka disandarkan disandarkan kepada pendapat Ibn Abbas dan sebgian juga disandarkan kepada pendapat Hasan al-Bashri dan Ubay bin Ka’ab. 

Ibnu Abbas mempertimbangkan pendapatnya dengan argumentasi yang didasarkan kepada komposisi huruf yang terhimpun dalam kata “lailatul qadar" (la-ya’-la-t a-l-qa-da-r), jumlahnya ada sembilan. Dalam surat al-Qadr. 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ.
Frase “laylah al-qadr” dalam surat tersebut terulang sebanyak tiga kali, apabila jumlah hurufnya dikalikan dengan banyaknya pengulangan kata tersebut, maka jumlahnya 27, angka inilah yang dikaitkan dengan malam ke-27 di bulan Ramadhan diduga sebagai malam lailatul qadar.

Masih menurut Ibn Abbas, dalam tafsir Ruh al-Bayan karya seorang mufasir sekaligus mutashawif, bahwa kalimat yang terdapat dalam surat al-Qadr secara keseluruhan berjumlah 30 kalimat, sedangkan kata ganti “hiya” yang menunjuk kepada lailatul qadar pada surat tersebut tepat pada urutan ke-27. Hal ini dianggap sebagai isyarat turunnya lailatul qadar pada malam ke-27.

Perlu ditambahkan di sini, di dalam Alquran dan syariat banyak menyebut angka tujuh, seperti tujuh lapis langit, tujuh bumi, tujuh tingkatan surga, tawaf tujuh putaran, sa’i dan lain sebagainya. Hal ini secara tidak langsung mengarahkan lailatul qadar pada hari ke tujuh di sepuluh hari terakhir. 

Selain interpretasi angka-angka seperti di atas, perlu penulis tambahkan sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakar Satha dalam I’anat al-Thalibin. Lailatul qadar bisa juga ditafsirkan dengan menggunakan pedoman terjadinya awal bulan Ramadhan. Salah satunya adalah pendapat Syihab al-Qulyubi yang dirangkai dalam bentuk syair di bawah ini.

يا سائلي عن ليلة القدر التي # في عشر رمضان الأخير حلت
فإنها في مفردات العشر # تعرف من يوم ابتداء الشهر
فبالأحد والأربعاء التاسعة # وجمعة مع الثلاثا السابعه
وإن بدا الخميس فالخامسة # وإن بدا بالسبت فالثالثة
 وإن بدا الاثنين فهي الحادي # هذا عن الصوفية الزهاد

Isi syair di atas dapat diterjemahkan bahwa apabila awal Ahad dan Rabu maka lailatul qadar nya Malam ke-29, apabilah Jumat dan Selasa malak lailatul qadar jatuh malam ke-27, bila Kamis maka malam ke-25, bila Sabtu Malam ke-23 dan apabila awal Ramadhan hari Senin maka malam lailatul qadarnya adalah malam ke-21

Bagaimanapun upaya menemukan lailatl qadar seperti yang telah penulis paparkan di atas tidak lain adalah bagian dari ijtihad para ulama’, adapun kebenarannya bersifat relatif, yang pasti, hanya Allah yang mengetahuinya.

Lailatul qadar menjadi malam yang dirahasiakan oleh Allah, kerahasiannya itu terlihat dari penggunaan kata maa adraka ma laylat al-qadar. M Quraish Shihab menjelakan bahwa penggunaan ma adraka dalam Alquran dikaitkan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan al-qiyamah, al-qari’ah, al-khuthamah, dapat diamati apa yang ditanyakan merupakan hal hal yang tidak mudah dicerna akal biasa. 

Dalam tafsir Bayan al-Ma’ani karya Sayyid Ali Ghozi al-‘Aniy (w. 1389 H) dijelaskan, ma adraka adalah kalimat tanya pengangungan, siapapun tidak akan mampu mengetahui makna asli dari hal yang dipertanyakan. 

Mengamati alur pendapat Ibn Abbas dan Syihab al-Qulyubi, maka dapat disimpulkan sementara, bahwa melalui perhitungan angka maupun hari, lailatul qadar pada tahun ini jatuh pada malam ke-27, terlepas mengenai kebenarannya yang relatif, namun yang pasti, lailatul qadar tetap menjadi rahasia bagi setiap ummat. Dirahasiakannya lailatul qadar mengandung berbagai kebaikan, salah satunya adalah agar setiap hamba mencarinya di semua malam-malam bulan Ramadhan.
Wallahu a’lam bi shawab
Share:

Menegaskan Kurban Sapi Untuk Tujuh Orang

Kurban sapi untuk tujuh orang
Tanpa sedikitpun memperuncing perdebatan soal peruntukan hewan kurban kambing untuk 1 orang dan Sapi 7 orang seperti opini dari video seseorang yang kurang lebih isinya adalah mempertanyakan dalil kurban sapi untuk tujuh orang. Maka perlu adanya pembanding pendapat, setidaknya untuk mempertajam kehati-hatian dalam berfatwa, karena ilmu ini tak bertepi maka tak pantas menyalahkan orang lain sebelum meneliti lebih detail jejak epistemologi yang dijadikan sebagai dasar sebuah pengetahuan.

Sudah mafhum kiranya, bahwa Nabi pernah berkurban untuk keluarganya dengan satu domba, namun juga ditemukan hadits yang dikaitkan unta atau sapi untuk 7 seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan menyebut jenis unta badanah dan sapi boleh untuk tujuh orang dalam hadyu (dam). Kita juga mesti mengenal ada syariat kehususan untuk Nabi, misalnya dalam menyembelih kurban rasul berdoa
بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى
Namun do’a ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat yang menunjukkan adanya isyarat tentang kehususan Nabi. Namun untuk mengatakan kurban yang dilakukan oleh Nabi saw adalah sebuah bentuk kehususan masih perlu kajian yang mendalam lagi untuk mengetahui isyarat persisnya.

Dalam beberapa kitab fiqh as-Syafi’i, sebut saja kitab at-tanbīh fi fiqh Imam Syafi’i karya Yusuf As-Sirazi, memasukkan pada bab uḍhiyah (kurban) menjelaskan bahwa, satu sapi untuk tujuh orang, dalam karya yang lain As-Syirazi memperjelas bahwa sapi untuk tujuh orang sedang kambing untuk satu orang senada dengan pendapat Taqiyuddin as-Syafi’i dalam kifayatul akhyar yang menerangkan bahwa satu unta badanah untuk tujuh orang dan kambing untuk satu orang.

Badanah bermakna unta atau sapi yang telah digemukkan dan disiapkan untuk dikurbankan dalam Haji, sedangkan Jazur bermakna unta yang disiapkan untuk disembelih. Dalam penjelasan tentang hadits yang membolehkan badanah untuk tujuh orang. Adapun hadits yang dimaksud adalah:

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ قَالَ مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ وَحَضَرَ جَابِرٌ الْحُدَيْبِيَةَ قَالَ نَحَرْنَا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ بَدَنَةً اشْتَرَكْنَا كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ
Dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdillah berkata; “Kami bersekutu (patungan) bersama Nabi Saw di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang berkurban seekor badanah (unta yang disiapkan untuk kurban saat haji) atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir, “Bolehkah bersekutu dalam Jazur (hewan kurban yang sudah siap disembelih) sebagaimana bolehnya bersekutu dalam badanah (unta yang disiapkan untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah termasuk badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor badanah. Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk kurban seekor Badanah.” (H.R. Muslim).

Mengenai hadits riwayat Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah Saw di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu tujuh orang.” (H.R. Muslim), Zakariyah Anshoriy dalam kitab Asna al Mathalib menegaskan, bahwa ketujuh orang tersebut bukan satu keluarga, seperti yang dikatakan oleh Muhammad al-Ghamrawiy dalam kitabnya as-siraj al wahaj ‘ala matnil minhaj, bahkan Khatib al-Syarbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj juga menegaskan diperbolehkannya seandainya diantara mereka ada sebagian yang diniatkan membayar dam dan sebagiannya lagi untuk berkurban. Hal itu memperkuat dugaan diperbolehkannya untuk berkurban sapi untuk tujuh orang.
Adapun hadits-hadits semakna dengan hadits di atas adalah

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا عَزْرَةُ بْنُ ثَابِتٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ»

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «كُنَّا نَتَمَتَّعُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ، فَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا»

Sisi teologis berkurban yang patut direnungkan adalah nilai pengorbanan atas kepatuhannya kepada perintah Allah dan nilainya dalam berbagi, tidak hanya sekedar mengukur besar dan kecilnya hewan sesembelihan, karena Allah bukan kanibal pemakan daging juga bukan Tuhan yang haus darah seperti kepercayaan mereka terhadap para dewa dan berhala sesembahannya. Penilaian Allah terletak pada nilai taqwa yang diwujudkan secara nyata dalam bentuk hewan kurban, sebagai salah satu bentuk syukur kepada Allah atas kelebihan karunia yang diberikan kepada kita. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.. (Al Hajj: 37)

Dengan demikian makin banyak yang dikurbankan disertai dengan keikhlasan semata mata menjalankan perintah Allah maka nilai kebaikannya tentu semakin berlimpah bila dibandingkan dengan pengorbanan yang kecil dengan kadar keikhlasan yang sama.

Share:

Pesan Puasa Untuk Penguasa

Terbit 23 Juni 2016

Ritual puasa sudah menjadi ihwal yang maklum bagi agama-agama di dunia, dalam Agama Budha dikenal uposatha, Agama Hindu puasa ( upawasa) nyepi, Yahudi puasa 40 hari dalam setahun dan diantara mereka ada yang puasa Senin dan Kamis (sheni va-hamish), ummat Kristani berpuasa sesuai petunjuk pemuka gereja, bahkan sejak zaman Romawi dan Yunani puasa sudah dikenal, sedangkan orang Islam berpuasa wajib selama satu bulan penuh di Bulan Ramadhan dan puasa sunnat di hari-hari tertentu.

Puasa dianggap sebagai ibadah fenomenal, khas dan sarat dengan pesan moral yang dikandung di dalamnya, dari limit waktu, ibadah puasa lebih banyak memakan waktu diabanding dengan ibadah wajib lainnya, bila sholat atau zakat rampung dalam beberapa jam saja, bila ibadah lain umumnya adalah memakan biaya, maka sholat justru menekan biaya, sedang haji maksimal hanya 4 hari bagi orang yang melakukan nafar tsani, berbeda dengan puasa Ramadhan yang mencapai satu bulan utuh. Tentu ada pesan pesan moral yang khas yang hendak disampaikan kepada ummat yang melaksanakannya.

Luasnya samudera hikmah puasa yang membentang menantang semua orang untuk mengarunginya dari sudut mana saja dia bisa, tergantung alat bantu keilmuan yang melatar belakanginya, namun dari sekian hikmah ada pesan moral puasa yang sangat prinsipil kepada semua ummat khususnya penguasa yaitu kejujuran dan menjauhi prinsip aji mumpung (opportunism).

Kejujuran
Pesan moral tertinggi selain sabar adalah jujur, diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dengan cara melepaskan diri dari kebutuhan makan-minum dan hubungan badan, di mana ketiganya merupakan kebutuhan hidup manusia secara personal yang sangat vital. Alangkah mudahnya melakukan aksi tipu-tipu mengelabuhi orang lain di sekitarnya dengan style puasa, lemah lunglai dan bibir kering, padahal ia dalam kondisi kenyang dan segar bugar setelah makan minum ditempat yang tak terlihat oleh orang, namun pribadi orang berpuasa pantang melakukan itu semua.

Mentalitas kejujuran orang yang berpuasa benar benar diuji, menjadikan puasa sebagai media berlatih berbuat ikhlas tanpa pamrih semata mata karena Allah swt. Jauh dari pencitraan dan abai terhadap penilaian orang yang dia sematkan kepadanya. Latihan ini diharapkan menjadi bekal menapaki jalan kehidupan di bulan bulan berikutnya setelah Ramadhan, kepada siapa saja, terutama kepada penguasa, dimana banyak nasib rakyat yang dititipkan di pundaknya.

Ramadhan ibarat sekolah ruhani, pengawasnya langsung rabbul izzati dengan prinsip kurikulumnya sangat jelas yaitu pengendalian diri, karena isi terpenting dalam puasa adalah pengendalian diri dan sabar (Abdul Manan:2005,103). Dari sini nampak sekali bahwa puasa bukan tujuan (ghayah), melainkan puasa adalah perantara (washilah) untuk mengantar manusia menjadi pribadi bertaqwa.

Mumpungisme
Hikmah lain yang patut direnungkan adalah terhindarnya manusia dari karakter aji mumpung, dalam ritual puasa setiap personal dipaksa untuk disiplin makan dan menunggu pada waktunya, bukan mumpung ada semua makan dilahapnya, meskipun miliknya, maka wajar secara teologis orang yang puasanya hanya menahan kebutuhan fisik dan biologisnya maka ia tidak mendapat hikmah apa-apa dari puasanya, selain lapar dan dahaga (al-Hadits).

Betapa ajaran berpuasa mempunyai orientasi masa depan (future oriented) yang sangat besar, hingga memakan hidangannya sendiri yang sudah sah menjadi miliknya ditahan sampai bedug maghrib tiba. Dalam hal ini puasa mengajarkan menjauhi sikap mumpungisme yang alih-alih dijadikan pemuas kerakusannya, tak sedikit kita menyaksikan menyalahgunakan wewenang untuk kepuasan pribadi dan keluarga, sekali lagi dalil yang digunakan amat sangat sederhana yaitu mumpung masih menjadi penguasa.

Pesan spiritual kejujuran dan anti opportunis yang disampaikan melalui pusa menjadi pilar penting bagi semua manusia khususnya penguasa yang dhalim untuk tidak menggunakan wewenangnya melalui mekanisme yang dinilai tidak amanah. Seandainya mental kejujuran dan tidak aji mumpung ini tertanam dan hidup dalam diri penguasa maka semua problematika kerakyatan akan teratasi dengan baik. Sebaliknya apabila hatinya terkunci mati dari sifat peka terhadap orang lain maka ia tak lagi memiliki kearifan dan sensitifitas kepada sesama, anusia yang demikian bisa menjadi manusia yang bermental/berkebudayaan lembek (soft culture),

Pandangan fiqh sentris bahwa puasa dalam arti mencegah (imsak ) tak perlu dibesar-besarkan, karena ada puasa yang jauh lebih diharapkan keberhasilannya yaitu puasa bathin untuk melatih mental itu tadi, sebagaimana Syeikh Abdul Qadir Jaelani menganjurkan puasa bathin merupakan puasa sejati, yakni selalu mengisi bathin dengan perintah dan menjauhi larangan, puasa yang demikian tak terikat dengan sahur dan berbuka.

Kemampuan memetik hikmah puasa yang demikian luhur dan mulia akan memberi warna tersendiri untuk bangkitkan sebuah bangsa dari keterpurukan dan krisis multi dimensional baik krisis moral maupun krisis spiritual yang dalam dua dasa warsa ini sangat memprihatinkan. Semoga puasa yang tinggal secuil lagi ini bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk menggapai kejujuran dan sikap menjauhi mental aji mumpung (opportunistik).

Share:

Napak Tilas Isra' dan Mi'raj

Setelah beberapa hari yang lalu telah terbit artikel dengan judul banjir ditinjau dari aspek teologis, dan gagal entah terbit atau tidak karena waktu itu masih di kampung halaman, namun tetap masih terposting di website ini, adapun judulnya adalah teologi penanggulangan narkoba. maka saat ini kami posting dengan terbitan korang Tangsel  Pos dengan tema Napak Tilas Isra' dan Mi'raj dalam rangka menyambut peringatan hari besar islam (PHBI), selamat membaca.

Sejarah telah mencatat bahwa Isra’ dan mi’raj mengandung dua perjalan mu’jizat, perjalanan horizontal dari masjid al-Haram (Mekah) menuju Masjid al-Aqsha (Palestina) dilanjutkan perjalanan vertikal dari dari masjid al-Aqsha ke Sidratul Mutaha atau yang lebih dikenal dengan langit ketujuh, Mudhury menyebutnya sebagai ‘maha ruang’ ditempuh hanya dalam waktu semalam. Peristiwa ini di terjadi terjadi 14 abad silam, tepatnya tahun 620-621 M.

Perjalanan singkat dengan jarak tempuh yang demikian jauh ini tak pelak lagi mengundang banyak tanya, khususnya kaum kafir quraisy dan sebagian orang-orang muslim itu sendiri. Kita tidak bisa bayangkan posisi Mekah dan Palestina lebih kurang 1500 KM belum lagi ke Sidratul Muntaha, rampung hanya ditempuh dalam waktu semalam. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains, kecepatan tersebut lambat laun tersibak secara ilmiah dengan alat bantu teori relativitasnya Einstein dan teori annihilasi. 

Teori annihilasi mengatakan, bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi, jika materi dan anti materi dipertemukan maka kedua partikel akan lenyap dan membentuk sinar gama, dari sini bisa dipahami bahwa isra’ dan mi’raj adalah perjalanan hebat secara fisik, bukan sekedar ruh atau mimpi belaka. Diperjelas lagi bila dilustrasikan satelit atau sputnik yang menjadi pesawat penjelajah ruang angkasa, namun bukan berarti teori tersebut mengungkap keseluruhannya secara detail tetapi hanya sebagian kecil saja. Akal manusia yang terbatas ini rupanya tidak dipersiapkan untuk mencerna hal hal serumit isra’ mi’raj, sekaligus disitulah keimanan dibutuhkan untuk meyakini kebenaran peristiwa fenomenal dan monumental tersebut, karena ada yang lebih substantif dari sekedar perjalanan dahsyat itu. 

Al Quran yang terdiri dari 6000 ayat lebih, tak lebih hanya dimuat dalam empat ayat saja yaitu dalam konteks isra’ termaktub dalam QS. al-Isra’:1 sedangkan mi’raj terabadikan dalam QS. an-Najm ayat 13-15. Secara implisit mengandung pesan bahwa bahwa isra’ mi’raj adalah peristiwa imani, titik tekan substansinya adalah hikmah dan oleh-oleh dari perjalanan tersebut, berupa shalat lima waktu seperti yang dilakukan oleh ummat muslim saat ini, bukan sekedar meyakini dan takjub keagungan peristiwanya. 

Napak Tilas Horizontal dan Vertikal
Peristiwa hebat yang tak mungkin terjadi kedua kalinya sepanjang sejarah manusia ini, rupanya melatarbelakangi lahirnya perintah berat dan istimewa yang wajib berupa shalat, kewajiban ini berbeda dengan perintah kewajiban lainnya sebut saja zakat yang harus menunggu modal dalam batas nishab, haji menunggu sampai mampu, berbeda pula dengan puasa yang boleh dibatalkan dalam perjalanan jauh, namun shalat harus dilaksanakan dalam kondisi dan situasi apapun. 

Banyak dimensi yang bisa dikaji dari objek aktivitas shalat ini, baik secara filosfis, sosiologi, psikologis maupun medis, bagi agama Islam, shalat sebagai pilar utama yang pertanggungjawabannya diletakkan di nomor wahid sebelum amal lain dihitungnya, selain itu ia menjadi ibadah prioritas yang harus dibiasakan sejak dini, Hal ini wajar kiranya, karena dalam ibadah shalat mengandung hikmah besar sebagai sebuah sarana untuk melahirkan kepekaan diri yang bersifat sosial-horizontal, sebagai makna simbolik perjalanan isra’, sedangnkan kualitas shalat yang ditentukan khusyu’ sebagai simbol hubungan vertikal-individual dengan Tuhan laksana imitasi (tiruan) dalam mi’raj itu sendiri. 

Shalat dalam arti kosepsional praktis mempunyai fungsi penting dalam upaya pembangunan karakter (character building), peredam nafsu buruk, penanaman akhlak mulia, penyucian jiwa dari sifat penakut, pelit, keluh kesah, dan putus asa. (Qs. al-Ma’arij: 19-23), , shalat juga sebagai doa-doa untuk mendorong hidup optimis dan sabar (Qs. al-Baqarah: 153). Bahkan dalam tingkat tertinggi mampu mejadi terapi kesedihan duniawi sebagaimana dicontohkan oleh Rasul saw dalam sabdanya, “Dan dijadikan penyejuk hatiku di dalam shalat.” 

Indikasi keberhasilan shalat selanjutnya akan tampak dalam prilaku sehari-hari seperti terkendalinya nafsu, kesucian jiwa, pemberani, pemurah, gembira, optimis dan lain sebagainya. Apabila kemuliaan tersebut teraplikasikan dengan baik secara nyata di tengah masyarakat tentu akan melahirkan masyarakat yang dinamis, aman tanpa gangguan, nyaman tanpa rintangan, di situlah fokus utama shalat itu didirikan dalam rangka menegaskan fungsi sosial horizaontal laksana perjalanan horizontal Nabi Muhammad saw dari Mekah-Palestina.

Perlu segera dicatat, bahwa prilaku seseorang tidak serta merta terbentuk dengan sendirinya, melainkan diwarnai latarbelakang faktor simpati, sugesti, imitasi (meniru) maupun situasi, prilaku itu sendiri berarti gerak gerik, kegiatan atau tindakaan prilaku manusia sebagai penampakan dari realisasi pernyataan, ekspresi dan manifestasi sebuah gejala kejiwaan yang menjadi tindakan nyata (baca, Astuti, Jurnal Konseling, 2015). Kaitannya dalam konteks shalat, shalat menjadi pengajaran seorang hamba untuk berhubungan langsung dengan Rabb-nya dalam sebuah dimensi serius yang disebut khusyu’, supaya memperoleh kejernihan hati yang menjadi sumber prilaku. Situasi dan kondisi khusyu’ ini laksana napak tilas mi’rajnya Rasul saw dari Palestina naik ke Sidratul Muntaha yang bersifat sangat pribadi menemui Tuhannya. 

Perbaikan hubungan vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada sesama manusia menjadi indikator kualitas keberhasilan seseorang dalam mendirikan shalat, karena shalat harus dipahami sebagai proses wajib, tujuan utamanya adalah perbaikan diri, yang puncaknya adalah menjauhi perbuatan keji dan mungkar. (Qs. al-Ankabut: 45). Ibn Mas’ud pernah berkata, siapa yang shalatnya tidak menjauhkan perbuatan keji dan mungkar maka shalatnya tidak mendekatkan diri kepada Allah justru menjadikan ia tetap jauh. Menurut Abu Aliyah, shalat harus ada tiga unsur yaitu ikhlas berperan mengajak yang ma’ruf, takut mencegah yang mungkar dan dzikrullah mencakup makna keduanya.

Di lihat dari waktu turun perintah tersebut di pagi hari yakni waktu subuh, bukan tanpa maksud dan kering makna, melainkan ada pesan yang bisa ditangkap bahwa shalat menjadi amal terdepan yang kepadanya amal lain ditumpukan, mengingat pagi adalah awal aktifitas seseoran mulai berdenyut. Dalam hadits juga disebutkan bila shalatnya baik maka amal ibadah lainnya ikut menjadi baik,. Manusia hidup tidak hanya diperintahkan shalat, tetapi shalat adalah awal dari segalanya, dari shalatlah semua berawal, bahkan yang ditanya pertamakali di hari kaiamat adalah shalat (al-hadits).
***
Maksud tulisan singkat ini, tidak lain adalah mengajak ummat Islam untuk memetik mutiara hikmah peringatan isra’ mi’raj dalam kerangka konsepsional praktis yang mampu mendorong terlahirnya sikap dan prilaku keagamaan secara nyata ditengah masyarakat, dengan shalat sebagai salah satu sarananya. Selain itu hikmah yang harus dipegang erat adalah isra’ mi’raj bukan cerita biasa tanpa pesan keagamaan, melainkan disana ada pesan untuk menapktilasi setiap hari dimana gerakan shalat sebagai isra’nya dan khusyu’ sebagai mi’rajnya. Setelah berhasil maka akan ada perubahan besar dalam hidup ini menjadi berakhlak lebih baik, laksana perubahan dari zaman kegelapan jahiliyah menuju zaman terang benderang bersinar akhlak mulia. Tanpa ada pemaknaan kontekstual seperti ini maka peringatan isra’mi’raj akan hampa dan hanya sebatas pada euforia belaka.
Share:

Teologi Penanggulangan Narkoba

Tulisan yang satu ini, nasibnya agak beda dengan tulisan-tulisan sebelumnya seperti Banjir ditinjau secara teologis atau nasib baik dari tulisan teologi kekeringan, pasalnya sejak tulisan ini aku kirim kemudian saya tinggal pulang kampu, meskipun sempat paginya mencari koran yang kami tuju, namun di bawah hujan rintik-rintik dipagi hari saya ke penjual koran, ternyata lagi diborong orang, hingga saat ini belum tahu, sudah terpublish atau belum judul temanya yaitu Teologi Penanggulangan Narkoba

Di ruang dengar kita, Narkoba sudah tidak asing lagi. pemberitaannya santer di berbagai cetak dan eletronik. Meskipun sebagian orang tidak perlu lagi mengetahui delil-delik definis narkoba. Barangkali yang dikenal oleh mereka, narkoba adalah barang haram yang berbahaya dan punya efek ketagihan bagi pemakainya, karenannya menjauhinya menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan..

Narkoba menurut undang undang No. 35 tahun 2009, didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pemakainya akan mengalami ketergantungan yang sangat luar biasa, bahkan mendorong untuk melakukan perbuatan nekad tak memandang etika atau norma apapun demi untuk memenuhi ketergantungan, dari sini narkoba menjadi sumber segala keburukan—selain pengobatan atas anjuran medis-- Efek narkoba amat buruk sekali baik bersifat individual yang buntutnya terhadap dampak sosial, pendek kata, narkoba adalah musuh bersama.

Oleh karena itu, Berbagai formula penanggulangan dikerahkan, dari hulu hingga hilir disusuri dan diusut, dari pemakai sampai bandar pengedar dan kawanan yang memproduksinya. Sikap negara amat jelas dalam hal ini, yakni memberikan hukuman berat terhadap si pemakai, bahkan memberikan hukuman mati terhadap pengedar yang terbukti menjajakan narkoba dalam jumlah tertentu, seperti yang telah dilakukan pada 6 terpidana mati kasus narkoba bulan Januari 2015 yang lalu, karena dianggap pelanggaran berat yang mengancam eksistensi bangsa. 

Menyadari sedemikian besar bahayanya narkoba, Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk Badan Koordinasi, yang terkenal dengan nama Bakolak Inpres 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk kegiatan yang mengancam keamanan negara, seperti pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing. 

Seiring gencarnya penanggulangan narkoba dalam berbagai bentuknya, pengguna narkoba masih menunjukkan kecenderungan meningkat, kondisi Indonesia berada pada level darurat bahaya narkoba seperti yang disampaikan Presiden. Berdasarkan data dari situs situs terpercaya yang mengutip Komjen Pol Budi Waseso Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) saat berkunjung di Pondok Pesantren Blok Agung Banyuwangi Senin (11/1/2016), bahwa jumlah pengguna narkoba di Indonesia hingga November 2015 kemarin diperkirakan mencapai 5,9 juta orang, sebuah jumlah yang sngat fantastis bagi sebuah negara yang berketuhanan.

Efek buruknya tidak hanya merugikan individu si pemakai melainkan merembet ke sosial secara umum. Secara individual pengaruh narkoba sangat aktif bekerja merusak urat syaraf sentral, jantung, darah dan denyut nadi, sedangkan secara mental, umumnya pengaruh narkotika mengakibatkan pemakainya menjadi pelupa, acuh, gelisah, gugup, emosional, apatis, putus asa pendiam, sinis pesimis dan muram (Rachman Herman, 1985), dan sederet efek negatif lainnya. Akibat rusaknya jaringan sentral syaraf dan mental yang sedemikian parah, sehingga menyeret penggunanya melakukan tindakan asusila, (Fuad Kauma, 1999), karena kesadaran dalam mempertimbangkan prilakunya berkurang yang pada akhirnya akan menimbulkan efek buruk prilaku sosialnya. 

Berangkat dari efek buruknya narkoba yang berpeluang meluas ke ranah sosial itulah, tentu tanggung jawabnya bukan hanya ditumpukan kepada pemerintah an-sich, melainkan semua elemen masyarakat dengan berbagai pendekatan harus diupayakan, demi terciptanya keamanan dan kenyamanan dari semua gangguan prilaku sosial anggota masyarakat lainnya agar terlepas dari jeratan barang haram yang bernama narkoba tersebut. Bila tidak, menurut Prof. Adrianus Meliala, Ph.D seorang Kriminolog FISIP UI, bukan tidak mungkin bangsa ini pelan-pelan mengikuti jalan kelam bangsa-bangsa besar dunia, yang menghabiskan ratusan juta dolar memerangi pedagang narkotika (Reza Indragiri, 2007).
***
Dalam agama Hindu ada enam musuh dalam diri yang harus diperangi atau lebih dikenal dengan Sad Ripu, enam hal tersebut salah satunya adalah adalah, Mabuk, bingung, marah, isi hati, rakus dan hawa nafsu, sedangkan umat Kristiani meyakini bahwa orang yang melakukan tindakan merusak dirinya tergolong umat melakukan tindakan meninggalkan tiang salib, adapun agama Budha, ada empat perbuatan yang dilarang, salah satunya adalah Majja yakni sesuatu yang mebuat seseorang tidak sadarkan diri, dalam Islam sendiri mabuk dan tindakan membahayakan sejenis narkoba sangat diharamkan (QS. al-Maidah:90-91), bahkan termasuk dosa besar, kira kira seperti itulah sikap agama-agama dalam membuat garis terang bernada melarang terhadap narkoba. 

Kiranya jelas sudah, bahwa semua agama melarang ummatnya memakai narkoba walau sekedar coba-coba, karena pemakai akan kehilangan kendali setelah syaraf sehatnya diserang dan bisa berlaku nekad, dalam ungkapan jawa yang juga merupakan wejangan Sunan Ampel mengajarkan moh limo (lima hal terlarang), lima hal tersebut yaitu main, maling, madon, mabuk, madat (narkoba), madat ini sudah dikenal sejak 700 tahun yang lalu, bahkan di duga Ken Arok membunuh Mpu Gandring juga di bawah pengaruh narkotika, sejenis kanabis dan larangannya tertuang dalam kitab nagarakertagama.

Sebagai benda yang menghilangkan kesadaran, sifatnya lebih dari memabukkan, dikonsumsi dalam jumlah sedikit maupun banyak, sama haramnya. “Sesuatu yang memabukkan dalam dosis banyak, maka sedikit juga hukumnya haram”. (HR. Tirmidzi). Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Rasulullah saw melarang setiap sesuatu yang memabukkan dan mufattir (yang merusak). Sejalan dengan tinjauan para ahli sedikitinya ada tiga efek negatif narkoba, pertama, depresan yakni memperlambat fungsi syaraf pusat sehingga hilang kesadaran dan tertidur, kedua, stimulan merangsang sistem saraf pusat meningkatkan kegairahan dan kesadaran, ketiga, halusinogen, narkoba akan mengubah rangsangan perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi. 

Penanggulangan secara normatif seperti yang lazimnya dilakukan dengan cara promotif, kuratif, preventif dan advokasi bukanlah cara yang buruk, tetapi tak ada salahnya bila pendekatan teologis dijadikan sebagai cara alternatif dalam menanggulangi bahaya narkoba, sebab semua manusia mesti mempunyai sistem kepercayaan terhadap sang maha kuasa, maha melihat atas perbuatan yang dilakukan. Dalam knteks narkoba, teologi agama-agama dimata pemeluknya mempunya garis kesamaan yang jelas, bahwa narkoba adalah barang haram yang harus dijauhi sejauh jauhnya. Dengan kata lain, narkoba bagi kaum beragama apapun adalah musuh bersama (common enemy

Cara yang paling sederhana adalah dengan cara kerjasama bahu membahu antara pemerintah (umara’) dan tokoh agamawan, yang dibentuk dalam wadah tertentu dengan legalitas formal melalui ‘palu’ hukum peraturan pemerintah serta dilakukan sistematis, terstruktur dari masyarakat bawah hingga kalangan atas, terukur dengan menggunakan fluktuasi penurunan pemakain sebagai sebagai parameternya dan terencana dalam arti sesuai dengan target dan sasarannya. Posisi tokoh agama dalam hal ini menjadi ujung tombak dan perpanjangan tangan pemerintah dalam mempertebal keimanan dan kesadaran mereka dalam beragama.

Setelah itu kemudian dilakukan penelitian hasil yang dicapai dari rencana yang telah dibuat dengan seksama dengan tujuan penebalan keimanan akan nilai luhur agama yang menyelematkan jiwa pemeluknya serta mengungkap kebesaran dan ke-Maha Tahu-an Tuhan atas perbuatan makhluknya. Cara semacam ini lebih mejadikan personal ummat sebagai titik central penanggulangan, bukan pemagaran melalui sederet peraturan yang mengesankan pemaksaan, lebih mejadikan ummat beragama dalam posisi sebagai memproteksi dirinya ketimbang sebagai obyek teks larangan ber-narkoba dari agamanya itu sendiri. Tawaran solusi ini tidak lain adalah sebagai upaya memperkaya formula penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang perlu dicoba.
Share:

Berkarya Kemudian Menyejarah

Terkadang terlintas dalam pikiran yang bosan berputar dalam pusaran arus perjalanan hidup yang ‘begini-begini saja’, tak ada nuansa hidup lain, selain rutinitas yang padat, bekerja, kuliah dan di akhir bulan menunggu gajian tiba. Ada hampa di dalamnya karena tak ada harapan yang lebih berarti untuk ditinggalkan dalam setiap jengkal liku kehidupan ini. Berawal dari sini, semoga ada secercah harapan baru yang layak dijadikan modal penting untuk merefleksikan kehidupan, karena hidup yang tidak direfleksikan maka tak layak untuk dihidupi. 

Untuk menjadi hidup lebih bermakna, salah satunya adalah harus dilalui dengan melahirkan sebuah karya, dengannya alam sekitar bisa mengingat dan siap untuk diapresiasi oleh orang-orang setelah kita, karena tanpa karya apapun mustahil anak cucu mengingatnya apalagi membanggakannya. Setidaknya ada dua isi kehidupan ini, yakni membaca dan menulis, dengan membaca wawasan menjadi luas, pengetahuan makin mendalam dan sudut pandang keilmuan menjadi lebar. Karena pengetahuan pula salah satu cara untuk berekspresi dalam menjani langkah kehidupan yang kian hari kian sulit, rumit dan problema terus membumbung tinggi melangit.
Share:

Selektif Memilah dan Memilih Guru


Penyematan klausul baik-buruk seseorang biasanya dikaitkan dengan lembaga pendidikan formal maupun tidak formal tidaklah terlalu salah, karena lembaga pendidikan di masjid, surau, mushollah, sekolah atau kampus difungsikan untuk perbaikan (lil ishlah). Di sana peserta didik diasah dan diasuh seorang guru yang didedikasikan untuk mengukir melakukan perbaikan karakter. Sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan untuk memilah dan memilih guru, baik untuk diri sendiri maupun orang terdekat kita. Kiranya sangat penting melakukan seleksi sebelum terlanjur memuji, karena guru amat penting eksistensinya dalam kehidupan ini, tidak sekedar mengajar tetapi juga mendidik. Perbedaan pengajaran dan pendidikan kiranya sudah tidak diperdebatkan lagi, bahwa keduanya sangat berbeda, mendidik lebih pada membentuk karakter, sedang mengajar titik tekannya pada transformasi pengetahuan.

Mula-mula seorang guru haruslah baik karakternya, Ibn Athoillah as-Sakandari membuat analogi guru bagaikan dokter (al mursyiid ka at-thabib) ia memahami tindakan yang harus dilakukan untuk mengobati ‘penyakit’ muridnya, sedangkan murid bagaikan mayit (al muriid ka al-mayyit) yang taat bukan karena keterpaksaan tetapi sebuah kebutuhan. Boleh jadi salah diagnosa berimplikasi salah resep dan obatnya, seorang guru yang tak pandai memahami latar belakang kekurangan muridnya, boleh jadi nasehatnya tidak mengobati justru menyakiti.

Guru sejati adalah ia yang menjadi teladan bagi peserta didiknya, meminjam unen-unen jawa guru itu digugu yo ditiru (di dengar dan diteladani) ia menjadi penuntun sekaligus temannya laksana Rasul dan Sahabatnya, layaknya Plato mengidolakan Socrates, hingga karya-karyanya diwarnai karakter Socrates, karena itu guru tidak hanya sekedar menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) melainkan juga punya visi dan misi memberi teladan dan membangun karakter peserta didiknya. Dalam hal ini, KH. Dewantoro mengatakan sebuah falsafah jawa “ing ngarso sang tulodho ing madyo mangun karso tut wuri handayani”, pendek kata, ketiak di depan menjadi teladan ketika di belakang suply semangat, sejalan dengan al Qur’an: “Laqad kana fi rasulillahi uswatun hasanah”, artinya: “sesungguhnya di dalam diri Rasul adalah teladan yang baik”.

Titel uswah kenabian dalam al Quran hanya diberikan kepada dua nabi, yakni Ibrahim as (Qs. Al-Mumtahanah:4) dan kepada Rasul saw (Qs. Al-Ahzab:21), keduanya layak diteladani sejak kecil. keduanya juga terabadikan dalam bacaan shalawat dalam tasyahud akhir setiap sholat, atau lebih dikenal shalawat ibrahimiy. KH. Asrori al-Ishaqiy dalam sebuah majlisnya menjelaskan bahwa seseorang belajar kepada guru bukan semata-mata mencari kepintaran melainkan inign mengikuti tindak lampahnya. Karenanya tak banyak yang bisa diharapkan seorang guru yang memiliki karakter buruk.

Karakter buruk yang melekat terkadang tidak disadari, justru menjadikan personal guru sebagai sosok yangmemuakkan, ucapannya memerahkan telinga, ia berkata namun dalam hati peserta didiknya dari A-Z ditolak mentah mentah, tak pernah menilai dari sisi usaha yang ia dambakan hanya hasil semata, lebih parah lagi semua kata-katanya diilhami semata mata ingin menyindir sana sini tak jelas arah bicaranya, ngelantur bak kesurupan atau seperti orang mabuk makan kecubung. Ke-gemas-an melihat ulah yang demikian mugkin kadang membangkit diri untuk melayangkan PALU.

Tak jarang pula guru yang berkarater buruk, punya sifat pilih kasih, sering membanggakan diri dibumbui dengan sifat sombong dan meremehkan peserta didiknya. Memberi nasehat tak lain hanya sebatas melampiaskan dendam kesumat yang tak terbalaskan, menelanjangi kekurangan muridnya di hadapan publik pelajar lain supaya ditertawakan dan direndahkan, ia merasa bahwa kata-katanya menyentuh hati padahal hanya mengundang gelak tawa bagai komedian tak beriklan. Terlebih lagi yangmenggelikan hati adalah merasa dirinya dibutuhkan kehadirannya, padahal tanpa disadari ulahnya banyak menyisakan luka, nasehatnya memerahkan telinga, kelincahan olah katanya bak orator yang tak kebagian panggung. Guru yang demikian, jelas dia sedang kalap dan lupa bahwa antara yang diajari dan yang mengajari keduanya harus berttanggung jawab di hadapan Allah yang maha Adil.

Share:

Puasa dan Terapi Korupsi

terbit, 1 Juli 2015
Siapa yang tidak kenal korupsi?, namanya terdengar sangar, menakutkan bak hantu di siang bolong, terkadang ‘korupsi’ seperti sosok siluman, ada tindakannya namun tidak tertangkap pelakunya. Problem penanganan korupsi tidak hanya menjadi agenda utama bangsa Indonesia, tetapi menjadi agenda prioritas juga bagi negara-negara maju di dunia seperi Singapura, Jepang, China dan lain sebagainya.
Terhadap korupsi, dilakukan penangkapan koruptor sebagai wujud penegakan hukum rupanya tidak cukup, harus dilakukan pula tindakan pencegahan. Model pencegahannyapun beragam. Namun belum menuai hasil yang signifikan dalam menekan angka korupsi, terbukti Indonesia pada tahun 2014 masih bertengger di peringkat 114 dari 175 negara terperiksa berdasarkan Transparency International yang merilis Corruption Perseptions Index (CPI) Desember lalu di Berlin, Jerman.

Entah sudah berapa milyar modal yang dikeluarkan untuk menekan angka kebocoran uang negara, dari sosialisasi, seminar, penyebaran meme anti korupsi, buku dan segala upaya yang serupa. Meski demikian faktanya, upaya pemerintah dalam tindak pencegahan korupsi dan penegakan hukum harus diapresiasi secara obyektif.

Mungkin Puasa adalah salah satu terapi jitu mengikis oknum yang bermental korup, karena dalam jiwa orang orang yang berpuasa (shaim), merasakan adanya kemaha-hadiran tuhan dalam setiap langkah dan kerja seseorang. Dengan merasakan kehadiran tuhan secara terus menerus di dalam hati sepanjang hari diharapkan menjadi obat penawar dari mental koruptor menjadi mental bertaqwa yang salah satu cirinya adalah bersifat jujur, jujur dalam segala pekerjaan dan kebijakannya.

Menurut penulis, terjadinya tindak korupsi tidak semata mata karena faktor mental, tetapi bisa jadi karena lemahnya pengawasan, di sini puasa ‘berbicara’ bahwa puasa adalah pengawasan. Pengawasan yang tak bersekat oleh ruang, karena kehadiran tuhan selalu dirasakan di dalam hatinya. Bila sepakat dengan prinsip itu, maka bukan tidak mungkin, puasa menjadi formula baru mencegah tindak korupsi yang ‘kelihatannya’ terus menggurita ke semua lini dan profesi.
Share:

Renungan; Berangkatkan hatimu

Ramadhan sudah tidak utuh lagi, hanya hanya tersisa secuil saja setelah berlalu begitu saja maka label taqwa tambah baik dan tidaknya segera diputuskan oleh Allah swt. Saatnya....Segala upaya harus diberangkatkan dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, namun adakah yang sadar bahwa segala materi, ilmu, pangkat dan apapun yang kita punyai tidak akan mampu mendekati Allah sama sekali selama dalam jiwanya ada benih ‘pemberotakan’ atau membatah terhadap titah kebenaran. Terkadang saking kerasnya hati seseorang, kebenaran yang disuguhkan di pelupuk ia tolak mentah-mentah. Karakter yang demikian ini sejalan dengan Sabda Nabi saw;

ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتو الجدل
Tidaklah sesat sebuah kaum sesudah mendapatkan petunjuk, kecuali orang-orang yang berontak

Harta, kedudukan, amal bahkan seluruh ilmu yang kita punya tidaklah menjadikan diri ini menjadi dekat kepada Allah, justeru malah menjadikan jalan sesat pada saat ‘memberangkatkan’ hatinya untuk mendekati Allah. KH. Asrori al-Ishaqi dengan mantab menjelaskan panjang lebar soal bagaimana kita harus memberangkatkan hati ini mendekati Allah. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah

Semua orang menginginkan selamat dari celaka, jangankan orang berbuat baik, seorang pencuri sekalipun menginginkan selamat pada saat mencuri. Alasan ingin selamat sebagai ‘pembenar’ setiap perbuatan pasti sudah dikantongi dengan apik, masalahnya, apakah alasan pembenar itu menjadikan sesuatu menjadi pasti benar?. Sekali-kali “Tidak”, hanya kaidah kebenaran syara’ dan keputusan final Allah al-haqq yang mampu menjelaskan secara detail di akhirat kelak, bila di dunia tidak mampu memilih dan memilah kebenaran yang hadir di hadapan kita .

Bagi hati yang telah dicerahkan oleh Allah pasti bisa mengenali sekecil apapun kebenaran dengan mata hatinya (bashirah) tetapi sebaliknya bagi orang-orang yang hatinya tertutup dan sudah mengeras seperti baja maka sebesar apapun keburukan pasti akan tertutup oleh kemilau alasan ‘pembenar’ yang dibuat oleh nafsunya sendiri, di situlah bisikan iblis yang paling berperan..

Imam Ghazali juga pernah memberikan pencerahan, kurang lebihnya adalah “seluruh sujud yang khusyu’ seandainya di dalam sujud tersebut terdapat satu sujud saja yang engkat mengira telah dekat berkat sujud tersebut kepada Allah maka dosanya akan lebih besar daripada dosa seluruh makhluk yang bernyawa diseluruh alam marcapada ini, baik dari golongan manusia maupun hewan”. Betapa kita merasakan kebodohan yang teramat luarr biasa menganggap bahwa kebaikan yang pernah kita lakukan merasa cukup mendekatkan diri kepada Allah.

Said Agil Siradj menjelaskan bahwa orang yang paling tertipu menurut kajian tasawuf adalah orang yang tertipu terhadap permainannya sendiri, maksudnya ia merasa mulia di saat melakukan perbuatan baiknya. Beruntunglah orang yang sering memaki-maki hatinya sendiri, semakin ia sering memaki dirinya maka semakin bersih hatinya...ya Allah tuntunlah kami ke jalan yang benar dengan cara yang benar, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ali kw.

قليل من التوفيق خير من كثير من العقل و العلم (على كرم الله وجهه
Sedikit dari pertolongan Allah untuk mengamalkan ilmu itu lebih baik daripada banyaknya ilmu dan akal

Share:

Dijawab oleh Allah


Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya banyak bencana menimpa dinegeri tercinta ini, dari banjir di musim  hujan, gunung meletus, longsor, dan aneka macam bencana yang lainnya.

Kita mesti jeli dan teliti dalam memahami fenomena yang terjadi di alam ini, makna bencana, teguran atau ujian yang paling absah utuk menjawab adalah diri kita sendiri, mungkin pandangan orang lain kesengsaraan yang diderita oleh orang lain adalah bencana tetapi tidak bagi yang merasakannya. Mungkin aktifitas fenomena alam merugikan sebagian masyarakat tapi tidak semua, ada sebagian lain yang menikmati keuntungan darinya.

Mungkin orang yang sakit adalah merupakan kesengsaraan tetapi bagi orang lain dari situ ada keberlangsungan hidup timbal balik antara yang satu dengan lainnya, pernahkah anda membayangkan seandainya tidak ada pasien bagaimana nasib jurusan kedokteran, begitujuga dengan banjir dan gunung meletus.
***
Setiap manusia pasti menginnginkan dijauhkan dari hal-hala yang tidak diinginkan, kemudian bersamaan dengan hal-hal yang tidak diinginkan itu sirna, kemudian ia menginginkan lima hal
Share:

Penyakit Hati Yang Parah

Dalam panggung kehidupan di dunia ini berjenis-jenis manusia meminjam bahasanya Gus Dur al- insaanu junnasun. Ada orang baik yang tak merasa baik, ada orang pandai merasa bodoh, ada orang alim masih merasakan banyak maksiat dalam dirinya, ada orang bersih merasa masih banyak dosa. Yang sudah disebutkan tadi adalah orang-orang yang selalu dalam perlindungan Allah dari jalan kesombongan dan dari merasa ‘paling’, kebaikannya yang selalu mengalir dalam dirinya kelak akan menjadi lautan rahmat dan nikmat di surga.

Namun juga banyak yang sebaliknya, tidak pandai tapi seolah-olah ia pandai dan menguasai seluruh ilmu pengetahuan, tidak alim tapi perangai dan tutur katanya bak malaikat yang diciptakan sebagai penerang ummat nan gelap gulita, bermode seperti ulama’ namun tingkat ruhaniyahnya seperti luak (musang). Sungguh sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan, karena keburukan yang ada tampak menjadi sebuah kebaikan Allah berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ.
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Fathir: 8)

Begitu hebat dan canggihnya tipu daya setan sehingga keburukan tampak menjadi kebaikan di depan mata sang pelakunya. Penyakit yang demikian ini tidak mungkin bisa disembuhkan sampai kapanpun, yang ada malah semakin lama semakin bertambah sakitnya. Al Qur’an memberikan gambaran penyakit hati yang bertambah parah dan terus bertambah parah sebab dusta, dusta terhadap kata hatinya, dusta terhadap perilakunya juga dusta terhadap kebenaran yang ada.

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS. Al Baqarah: 10)
Share:

Selamat datang Rajab dan Sya'ban

Kita menyambutnya dengan riang gembira kedatangan Rajab dan Sya’ban karena dibaliknya ada bulan suci Ramadhan yang diberkahi, diberkahi dalam artian kebaikan an keutamaan di dalamnya termasuk lailatul qadr. Biasanya dari bulan rajab, banyak penceramah yang mengutip do’a Nabi saw, agar dirahmati di bulan Rajab dan Sya’ban, Secara lengkap Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibn Majah/35 berbunyi:

حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر (مسند الإمام أحمد 1/259)

‘Abdullah menceritakan kepada kami, Ubaid bin Umar menceritakan kepada kami, dari Zaidah bin Abi Riqad, dari Ziyad an-Namiriy, dari Anas Bin Malik: Nabi saw apabila telah masuk bulan rajab berdo’a: ” Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami di buan Ramadhan”. Dan beliau bersabda: Malam jumat bersinar dan siangnya bercahaya" (HR. Ahmaad:1/259)

Hadits tersebut di atas dapat ditemui dibeberapa kitab hadits dan kitab lainnya yang sudah masyhur antara lain Musnad Imam Ahmad 1/259, Ibn Abi Dunya dalam bab “fadhilah ramadhan”, Ibn Bazar dalam kitabnya Kasyful Astar 961. Kitab hadits lain seperti al ausath 4/189 dan ad-Du’a 837 karya Imam Thabarani, dituliskan juga oleh Ibn Sinai dalam kitab “al yaum wa lailah” juga Abu Nu’aim didalam karyanya “al Khulyah 6/269” terdapat pula dalam kitab “As-Sya’b karya Imam Baihaqi 3/375, juga di dalam kitabnya “fadhail al auqaat 1/105 dan beberapa kitab lainnya.

Hadits tersebut apabila dikaji dari sanadnya dinilai oleh beberapa ulama’ hadits sebagai hadits dho’if, berikut penilai dari beberapa ulama’ hadits dalam jarh wa ta’dilnya, di dalam hadits tersebut ada perawi yang bernama Zaidah bin Riqad, perawi ini menurut beberapa ulama’ hadits dinilai sebagai perawi yang lemah, diantara pendapat ulama’ tersebut adalah sebagai berikut :

Imam bukhariy dalam kitabnya Tarikh al Kabiir 3/433 termasuk perawi yang munkar, begitu juga menurut penilaian Abu hatim dalam kitabnya jarh wa ta’diil, Imam an Nasa’iy dalam kitabnya ad-dhu’afa menilai dia adalah perawi yang munkar. Abu Daud menilai tidak diketahui siapa Zaidah bin Riqad itu, Ibn Hajar menilaidia adalah perawi yang munkar, Yahya bin Ma’in memberi penilaian hadits yang diriwayatkan olehnya adalah dho’if, Iamam Nawawi dalam kitab adzkarnya mengatakan hadits tersebut dho’if. Dalam kitab syu’bil Iman 3/375 mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Menurut ad-dzahabiy dalam mizan al I’tidal 3/97 termasuk perawi yang dho’if

Apa sih yang disebut dengan hadits munkar itu?, hadits munkar adalah hadits yang di dalamnya diriwayatkan oleh sanad yang kekeliruannya amat parah, pelupa atau fasik demikian definisi hadits munkar yang diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Definisi ini juga digunakan oleh Al-Baiquni dalam Mandhumat. Atau bisa jadi hadits tersebut diriwayakan oleh perwawi yang dho’if yang bertentangan dengan rawi yang tsiqah.

Tulisan ini hanya semata-mata minta dikoreksi, karena saya sendiri seringkali menggunakan hadits tersebut, tentu saja berdasarkan pendapat ulama’ yang memperbolehkan ber-hujjah dengan hadits dho’if, Imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan Abu dawud berpendapat: beramal berdasarkan hadits dho’if itu lebih utama daripada mendasarkan perbuatan kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal, Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif sebatas fadhail al ‘amal saja, tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau masalah akidah. Lain lagi dengan Imam Suyuthi, beliau berpendapat diperbolehkannya beramal dengan hadits dho’if termasuk di dalam sebuah hukum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian). 

Hal inilah yang mengetuk pintu ilmu kita untuk terus berusaha semaksimal mungkin mengetahui kesahihan hadits untuk memantapkan amal perbuatan kita, Rasul saw bersabda:

‏حدثنا ‏ ‏أبو بكر بن أبي شيبة ‏ ‏حدثنا ‏ ‏يحيى بن يعلى التيمي ‏ ‏عن ‏ ‏محمد بن إسحق ‏ ‏عن ‏ 
  ‏معبد بن كعب ‏ ‏عن ‏ ‏أبي قتادة ‏ ‏قال
‏سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول على هذا المنبر ‏ ‏إياكم وكثرة الحديث عني 
فمن قال علي فليقل حقا ‏ ‏أو صدقا ‏ ‏ومن تقول علي ما لم أقل ‏ ‏فليتبوأ ‏ ‏مقعده من النار ‏

Saya mendengar Rasul saw bersabda di atas mimbar:” hendaknya kalian takut memperbanyak hadits mengatasnamakan aku, barang siapa menyampaikan hadits dariku, maka sampaikanlah dengan benar dan jujur, barang siapa yang menyampaikan hadits dariku sedang aku tidak mengatakannya maka bersiaplah tempatnya di neraka (HR. Ibn Majjah: 35, hadits hasan)
Share:

Komunikasi Sumber Keharmonisan

kisah keluarga bahagia yang akan saya sajikan ini sekitar masalah komunikasi sumber kebahagiaan. Ada sebuah keluarga bahagia, tetapi gara-gara tidak ada bangunan komunikasi yang rapi sehingga berujung berantakan dan bubarrr. maaf kisah ini hanya fiktif belaka, mohon maaf apabila ada kesamaan nama.

Lelaki lemah lembut itu namanya Bahagio sedang isterinya yang jelita dengan rambut lembut dan rapi itu namanya Siti Sakinah, sejak tunangan bahagio sangat tertarik kelembutan gaya rambut Siti Sakinah, sebaliknya Siti Sakinah entah karena jodoh atau kenapa, ia sangat kagum kegagahan Bahagio TERUTAMA dengan balutan jam tangan di tangan kirinya itu, konon pemberian kakaknya. Namun hal sepele ini tidak pernah dikomunikasikan dari kedua belah pihak.

Dua insan ini memadu kasih sudah sekian lama, keduanya saling memberi serta menjaga keutuhan cintanya sejak dipelaminan, keluarga terbina akur hingga beberapa tahun lamanya, pada tahun ke-sepuluh badai kebangkrutan dari usahanya menimpa, tak pelak lagi mereka harus pontang panting memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, beruntung masih belum punya momongan.

Suatu hari jam tangan yang dipakai oleh bahagio ini tali pengikatnya putus, melihat kondisi ini sang isteri pun sedih, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena paceklik sedang melanda keluarganya, jangankan untuk membeli tali jam tangan suami, untuk ngurus rambutnya saja sudah mulai terabaikan karena minimnya biaya.

pada hari yang bersamaan di ulang tahun pernikahannya yang ke-sepuluh, mereka ingin sama-sama memberi surpraise. Diam-diam bahagio pergi ke pasar menjual jam tangannya yang sudah putus talinya, ia rela berkorban untuk sang pujaan hati yaitu Siti Sakinah yang rambutnya mulai kusut tidak teratur. Dengan bersenandung bahagia sambil mengayun sepeda mini, ia membayangkan isterinya pasti akan merasa senang dengan segala obat dan peralatan kecantikan penata rambut barunya.

Di lain pihak, Siti Sakinah yang pergi ke pasar, diam-diam ia memotong rambutnya untuk dijual berharap bisa membeli tali jam tangan suaminya yaitu Bahagio yang putus kemarin lusa. Dia bungkus dengan indah untuk dipersembahkan ke sang suami, karena dari jam tangan warisan saudaranya itulah ia dulu pernah jatuh cinta ha..ha.ha..

Sesampainya di rumah, suami kaget bukan kepalang melihat rambut isterinya pendek dan tidak seindah saat akan ditunangkan. Begitu juga dengan sang isteri, kini hari-harinya sangat mengecewakan karena tidak tampak lagi sang suami gagah seperti saat memakai jam tangan. Singkat kata makin hari tidak ada kecintaan di antara keduanya dan bubarlah rumah tangga mereka.

kisah fiktif ini memberikan pelajaran kepada kita semua, bahwa sanagat dibutuhkan komunikasi, hal sepele-pun harus dikomunikasikan, supaya sama sama mengerti dan memahami apa yang diinginkan oleh pasanagan kita. baca juga metamorfosa kebahagiaan
Share:

Di Balik Kekuatan Do'a

Bagi orang beragama, di bawah alam sadarnya tersimpan keyakinan, bahwa ada kekuatan lain melebihi kekuatan normal dirinya sebagai manusia biasa. yaitu kekuatan supra rasional Tuhan. Kekuatan tuhan melebihi segala-galanya, hingga termaktub dalam salah satu asm’ul husna yaitu al quwwah (kekuatan). 

Kekuatan supra ini dipersiapkan oleh Allah untuk seorang hamba yang gemar mengetuknya melalui gerbang pintu ijabah dengan kunci do’a. tradisi agama berdo’a agaknya sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi ini, ajaran berdo’ sudah ada sejak masa Adam as, saat makan buah terlarang kemudian berdo’a kepada Allah memohon ampunan (QS.6:23). Pendek kata, berdo’a adalah salah satu senjata bagi orang beriman untuk mengetuk kuasa Allah swt. Di samping itu, berdo’a juga bernilai ibadah. Nabi saw bersabda “do’a adalah senjatanya orang beriman”, 
Share:

Puasa di Bulan Rajab

Rajab adalah bulan ke tujuh dari penanggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram (asyhurul haram), artinya bulan yang dimuliakan.
Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab. Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan.
Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” 
Share:

Metamorfosa Kebahagiaan

Malam ini, saya mendapat BBM yang sangat inspiratif dan menusuk hati, dari sahabat yang sekaligus penasehat harian melalui HP pintarnya. Isi dari BBM Mas Budi Purnomo itu adalah sebagai berikut;

Selamat malam kawan, cobaan dan musibah yang anda alami sekarang ini bisa jadi adalah rencana-NYA, agar lebih siap untuk menerima sesuatu yang lebih indah dan lebih besar di masa depan. [semoga anda tabah dan baik baik saja]

Rajutan kalimatnya landai dan terkesan pelan saat diucapkannya, tetapi kekuatannya menggetarkan sanubari semua insan manusia. Betapa tidak! semua manusia membutuhkan kebahagiaan selama nuraninya sehat wal afiat, Hanya penderita kelainan jiwa yang tidak menginginkan kebahagiaan. 
Share:

Info tentang Siksa Orang yang Meremehkan Shalat

Info syariah Stop mulai saat ini untuk menganggap shalat sebagai siksaan, dengan berpandangan bahwa di dalam melaksanakan shalat ada waktu yang tersita, tenaga yang terbuang atau aktifitas terpaksa terhenti karena menjalankan shalat. Mulai saat ini, jadikan shalat sebagai kebutuhan hidup dan bagian dari hidup itu sendiri. Jangan remehkan shalat, karena shalat adalah kewajiban. Siksa bagi orang yang meremehkan shalat amat pedih apalagi bagi orang yang tidak melaksanakan shalat. Simaklah baik baik tulisan di bawah ini tentang siksa bagi orang yang meninggalkan shalat. 

Fathimah ra, bertanya kepada Rasulullah saw., “wahai Ayahku! Apa siksa bagi orang yang meremehkan sholat, baik laki-laki maupun perempuan?” Kemudian Rasulullah menjawab:”Wahai Fathimah, barang siapa yang meremehkan shalat, lelaki maupun perempuan, maka Allah akan memberinya 15 petaka. Enam diantaranya di dunia, tiga di saat kematiannya, tiga di dalam kuburnya, dan tiga pada hari kiamat di saat angun dari kuburnya.
Share:

Ikhlas Sebagai Prasyarat Diterimanya Amal

Curhat Dengan berbagai ilmu pengetahuan manusia tetap tidak bisa meloloskan dirinya dari jeratan perbuatan syaitan yang terkutuk, sering kita jumpai manusia terlena dengan perbuatan dosa dan nista di depan hamba terlebih di depan Allah ta'ala. Satu satunya yang akan membawa keselamatan diri kita adalah perbuatan Ikhlas, yaitu berbuat sesuatu hanya semata mata karena Allah ta'ala.

kelak setiap manusia akan datang dengan berbagai amal yang dibawanya, namun Allah menolak semuanya hanya, orang orang yang membawa amalnya yang didasari ikhlas yang diterima oleh Allah. Pribadi ikhla akan dicintai oleh Allah. Hamba Allah yang sholat bukan dinilai dari keajaiban gerakan shalatanya atau menilai gerakan parsialnya dalam shalat tersebut seperti menggerakkan jemari saat tasyahud namun yang ikut mendominasi bobot kualitas sholat adalah keikhlasan dan kehusyu'an dalam sholat tersebut.

Begitu juga dengan ajaran syukur atas nikmat. Syukur harus diimplementasikan atas dasar keikhlasan hati dalam menerima dan tanda terimakasih kepada Allah, bukan sebagai transaksi 'jual beli' yakni dengan bersyukur berharap tambahan nikmat dari Allah. Toh, Allah sudah berjanji barang siapa yang bersyukur akan mendapat tambahan nikmat.

Begitu banyak ajaran agama ini yang mendorong untuk mengerjakannya dengan rasa ikhlas yang mendalam....
Share:

Keajaiban Gerakan Sholat

Info Syariah, Sholat adalah perbuatan baik yang diwajibkan oleh Allah kepada hambanya, denga tujuan implisit untuk menahan perbuatan keji dan mungkar berdasarkan firman Allah “ Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar . Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 24:45). Secara eksplisit, gerakan sholat seperti, takbir, rukuk, I’tidal, tasyahud dan lain sebagainya, mempunyai nilai keajaiban tersendiri yang berpengaruh positif pada fisiologis organ tubuh manusia. Karena itulah sholat harus di pandang sebuah kebutuhan ibadah bathin dan dhohirnya.

Takbir
Takbir dengan sedekap, Memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk di disi ke mata, telinga, mulut.Sedekap (pengisian pembuluh darah di organ organ kepala). Menjepit pembuluh darah balik pada lengan kiri sehingga pembuluh darah ditangan kanan akan mengembang. Pada saat mengangkat tangan mau rukuk semprotan pembuluh darah berkecapatan tinggi di tangan kanan akan mengisi pembuluh darah yang ada di bagian kepala
Share:

Popular Posts

Labels

Judul Tulisan

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan