![]() |
Momentum kurban 2025 |
Ada dua momen besar yang melekat dengan 10 Dzulhijjah yakni haji dan kurban. Keduanya bukan sekadar rangkaian prosesi atau sekadar formalitas tahunan tetapi keduanya ibadah yang sarat simbolik dan kaya makna.
Pertama, haji tanpa pemahaman yang mendalam, bisa berubah menjadi sekadar safari biasa, bahkan ada yang sibuk selfie dan memotret Ka'bah. Haji menjadi wisata religius yang melelahkan tubuh tapi tidak menggugah ruh. Seperti itu pula kalau tawaf dilakukan tanpa perenungan, maka tak jauh beda dengan mengitari tumpukan batu yang disusun menjadi rumah tua. Padahal kandungan dalam ibadah tawaf sangat mendalam.
Kedua, berkurban. Kurban adalah puncak pembuktian ujian cinta dipersimpangan jalan, antara cinta harta dengan cinta terhadap perintah Allah ta’ala. kurban tidak semata-mata tentang apa yang telah dilepaskan, tetapi bagian dari menyerahkan kepemilikan yang semu kepada Allah yang maha abadi.
Kalau kita menyisir lembaran sejarah, sebenarnya ibadah kurban sama tuanya dengan usia manusia di alam persada ini, yaitu ketika putra Adam as diperintah berkurban, namun dalam perjalanan sejarah, kurban mengalami penyelewengan dimana kurban berwujud manusia, di suku Aztec di Mexico mempersembahkan jantung manusia kepada dewa matahari. Di Kanaan (Irak kuno), bayi-bayi ditumbalkan untuk dewa Ba’al. Bangsa Viking mengorbankan tokoh agama untuk dewa perang mereka yakni dewa Odion, Sementara di Mesir kuno, gadis-gadis cantik ditenggelamkan sebagai sesajen bagi Dewi Sungai Nil.
Puncaknya adalah ketika Nabi Ibrahim as diperintah menyembelih putra semata wayangnya saat usia bocah yang sedang lucu-lucunya. Beliau lakukan tanpa tawar-menawar. Kemudian digantikan domba dari surga. Digantikannya Isma’il dengan domba bukan berarti Tuhan berubah ‘pikiran’ melainkan demikian kasihnya Tuhan sekaligus menjadi jawaban bahwa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan, bahkan untuk pengabdian sekalipun.
Maka, bagaimana bisa manusia dikorbankan demi ambisi dunia, uang, kekuasaan terlebih untuk keuntungan pribadi? Ketika cinta pada dunia membuat seseorang tega mengorbankan sesamanya, saat itulah ia jatuh ke dalam kehinaan paling bawah. Jadi, kurban bukan sekadar sembelihan, bukan tentang jumlah daging yang dibagikan, melainkan tentang keberanian meletakkan apa yang paling kita cintai di hadapan Allah. Bukan tentang daging yang terbagi, tetapi hati yang berserah.
Di hadapan Allah, yang diterima bukan bentuk, darah atau dagingnya karena Allah bukan dewa yang haus darah atau seperti singa yang keranjingan makan daging mentah. Melainkan esensinya adalah ketaqwaannya.
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu… (QS. Al-Hajj: 37)
Di sinilah semua umat Islam tidak membiarkan 10 Dzulhijjah berlalu hanya sebagai tanggal merah, melainkan sebagai panggilan langit bagi hati yang bersedia disucikan, sebab yang Allah terima bukan darah dan daging, tapi ketakwaan dan kerelaan yang mengiringinya.
No comments:
Post a Comment
Terimakash Atas kunjungan dan komentarnya ( salam persahabatan )