• Sungai

    darinya laut di isi, beraneka bahan yang ia bawa, dari ikan hingga kotoran. Namun laut bersabar menampungnya. Kesabaran laut patut dicontoh.

  • Pagi Buta

    Semburat mentari di ufuk timur, masuk ke sela-sela rimbun dedaunan, ia hendak datang mengabarkan semangat beraktifitas meraih asa dan cita yang masih tersisa.

  • Malam

    Malam gemerlap bertabur bintang, bintang di langit dan di bumi. Mereka membawa cerita masing masing sebelum akhirnya masuk ke peraduan asmara.

  • Gunung

    Gunung yang kokoh, ia dibangun dengan kuasanya, bukan dengan bantuan kita. Manusia hanya bertugas merawatnya dengan baik dan amanah. Bumiku lestari

  • Siang

    Mentarinya menyinari pohon di dunia, keindahannya luar biasa.

Menghibahkan Serpihan Waktu

Semua makhluk mafhum bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, karena manusia terlahir juga diperjuangkan oleh ibu kandungnya, bayi dan menginjak remaja pun diperjuangkan oleh orang tua yang kasihnya tak pakai perhitungan. Semenjak dewasa di saat usia keduanya kian renta, setiap insan diperintah untuk berjuang, detik demi detik langkahnya terilhami oleh perjuangan. Hingga akhirnya kondisi memaksa untuk membagai waktu untuk diri, keluarga dan buku.

Keluarga adalah segalanya, terlebih lagi keluarga sakinah. Bukan saja dambaan manusia hatta hewan sekalipun memimpikannya. Memantaskan diri menjadi status anggota dan pimpinan dalam keluarga menjadi sebuah keniscayaan, tak boleh dibelah sekulit aripun oleh kesibukan. Pengertian ditunjang kepedualian anak dan isteri serta teman-teman kuliahku bak bahan bakar yang sengaja dituang untuk membakar dan menyalakan semangatku yang sudah nyaris padam ditelan usia.

Perjuangan hidup tak cukup hanya berkeluarga, tetapi keilmuan dan amal harus juga menjadi prioritas, denganya menjadi mulya walau hidup sebatangkara, dengannya menjadi berharga walau hidup tak mewah. Dari situlah kebangkitan mengokohkan keilmuan dan beramal ikut serta dipertaruhkan dalam setiap inchi kehidupan.
Share:

Puasa dan Terapi Korupsi

terbit, 1 Juli 2015
Siapa yang tidak kenal korupsi?, namanya terdengar sangar, menakutkan bak hantu di siang bolong, terkadang ‘korupsi’ seperti sosok siluman, ada tindakannya namun tidak tertangkap pelakunya. Problem penanganan korupsi tidak hanya menjadi agenda utama bangsa Indonesia, tetapi menjadi agenda prioritas juga bagi negara-negara maju di dunia seperi Singapura, Jepang, China dan lain sebagainya.
Terhadap korupsi, dilakukan penangkapan koruptor sebagai wujud penegakan hukum rupanya tidak cukup, harus dilakukan pula tindakan pencegahan. Model pencegahannyapun beragam. Namun belum menuai hasil yang signifikan dalam menekan angka korupsi, terbukti Indonesia pada tahun 2014 masih bertengger di peringkat 114 dari 175 negara terperiksa berdasarkan Transparency International yang merilis Corruption Perseptions Index (CPI) Desember lalu di Berlin, Jerman.

Entah sudah berapa milyar modal yang dikeluarkan untuk menekan angka kebocoran uang negara, dari sosialisasi, seminar, penyebaran meme anti korupsi, buku dan segala upaya yang serupa. Meski demikian faktanya, upaya pemerintah dalam tindak pencegahan korupsi dan penegakan hukum harus diapresiasi secara obyektif.

Mungkin Puasa adalah salah satu terapi jitu mengikis oknum yang bermental korup, karena dalam jiwa orang orang yang berpuasa (shaim), merasakan adanya kemaha-hadiran tuhan dalam setiap langkah dan kerja seseorang. Dengan merasakan kehadiran tuhan secara terus menerus di dalam hati sepanjang hari diharapkan menjadi obat penawar dari mental koruptor menjadi mental bertaqwa yang salah satu cirinya adalah bersifat jujur, jujur dalam segala pekerjaan dan kebijakannya.

Menurut penulis, terjadinya tindak korupsi tidak semata mata karena faktor mental, tetapi bisa jadi karena lemahnya pengawasan, di sini puasa ‘berbicara’ bahwa puasa adalah pengawasan. Pengawasan yang tak bersekat oleh ruang, karena kehadiran tuhan selalu dirasakan di dalam hatinya. Bila sepakat dengan prinsip itu, maka bukan tidak mungkin, puasa menjadi formula baru mencegah tindak korupsi yang ‘kelihatannya’ terus menggurita ke semua lini dan profesi.
Share:

Mubadzir Dibalik Bukber

Terbit, 3 Juli 2015
Bagi orang berpuasa, melaksanakan berbuka puasa hukumnya wajib dan sangat dianjurkan segera berbuka saat bedug maghrib tiba. Kebersamaan waktu berbuka dimanfaatkan oleh berbagai instansi, organisasi atau kelompok masyarakat melakukan buka puasa bersama (bukber).

Rasa bahagia, suka cita dan berseri-seri nampak di wajah-wajah mereka, seolah membawa pesan bahwa bukber bagaikan lebaran kecil yang demokratis tak membedakan apapun profesi dan jabatan mereka, sebuah kebersamaan yang sangat indah, biasanya rangkaian acaranya diawali dengan ceramah agama, doa, shilaturrahiim dan acara religi lainnya. Diantara mereka berbagi menu buka puasa yang merupakan anjuran agama juga, sebagaimana sabda Nabi saw. “Barangsiapa memberikan hidangan berbuka puasa bagi yang berpuasa, maka baginya seperti pahala yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang berpuasa” (HR. Tirmidzi) 

Dengan acara buka puasa bersama ada banyak kebaikan melimpah disana, tetapi bukan berarti terlepas dari kebiasaan buruk, yang melekat keburukan yang melekat dalam acara buaka puasa bersama adalah, menu makanan yang berlebihan (israf) dan tak jarang kita temui ada menu makanan terbuang begitu saja (mubadzir). Padahal sebuah larangan dalam agama buka puasa dengan makan berlebihan, makan berlebihan berdampak buruk terhadap kesehatan tubuh dan melumpuhkan spirit puasa, yang salah satu tujuannya adalah melemahkan hawa nafsu, termasuk nafsu rakus terhadap makanan.

Dalam teks keagamaan (nushus syar’iyyah) ajaran berbuka tidak berlebihan kehilangan gaungnya, terlebih lagi bila instansi profit yang bonafit sebagai founding father penyelenggara, aneka ragam menu spesial dipersiapkan untuk memuaskan tamu undangan, rasa empati terhadap penderitaan saudara kita yang lemah saat berpuasa di siang harinya pudar seiring dengan ragam santapan yang berlebihan. Tuntunan agama melarang makan berlebihan (QS al-A’raf : 31).
Share:

Kurban Berwujud Manusia Gaya Baru

Terbit, 17 September 2015
Idul Adha menjadi momentum religius bagi umat muslim setiap tahunnya, mereka yang secara finansial, sehat dan aman dalam perjalanan, diwajibkan menunaikan ibadah haji ke tanah suci sekali seumur hidupnya. Proses keberangkatan saudara-saudara kita sudah berlangsung sebulan yang lalu, menurut situs terpercaya, tahun ini lebih dari 155 ribu jamaah haji Indonesia diberangkatkan ke tanah suci Mekah untuk memenuhi panggilan suci sebagai tamu Allah (dhuyufur-rahman). Kita semua tentu berharap sekembalinya mereka ke tanah air membawa dampak perubahan sosial yang positif, budaya dan etika keberagamaan yang luhur. Momentum puncak yang ditunggu ialah hari dimana semua jamaah haji di dunia berkumpul di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah menurut perhitungan bulan Qamariyah.
Bagi ummat muslim yang berdomisili di negerinya masing masing, sangat dianjurkan merayakan momentum Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban berupa binatang ternak, domba, sapi atau sejenisnya, yang dilaksanakan selepas sholat Idul Adha sampai tiga hari setelahnya (ayyamut-tasyriq), sebagai simbol rasa syukur atas karunia kenikmatan yang telah diterima dari rabb-nya. Sungguh menjadi hari yang sakral bagi orang orang yang mampu menemukan hikmah ajaran kurban. 

Ibadah Qurban laksana napaktilas laku lampah Nabi Ibrahim as yang ketika itu diperintah menyembelih putera kesayangan yaitu Nabi Ismail as, kala itu Ismail maih bocah sedang lucu-lucunya. Demi kepatuhannya kepada Allah apapun harus rela dipertaruhkan meskipun seorang putra dari darah dagingnya sendiri. Sebuah totalias kepatuhan yang harus diteladani, anak yang dicintai setelah sekian lama dinanti harus diikhlaskan atas permintaan Sang Pencipta 
Share:

Teologi Kekeringan

terbit, Kamis. 8 Oktober 2015 
Kemarau tahun ini terbilang cukup panjang, beberapa isyaratnya sudah terbaca sejak Bulan Mei ditandai dengan surutnya curah hujan, hawa sejuk mulai menghilang, perlahan-lahan curah hujan melamban dan terhenti total sejak empat bulan belakangan ini, tak pelak lagi, dampaknya terlihat nyata seperti rerumputan menguning, tanah merekah, pohon tak lagi rindang dan sumur-sumur warga secara massal mengering. Fakta ini seolah-olah membenarkan celoteh orang-orang yang berseloroh “di musim hujan kebanjiran, di musim kemarau kekeringan”

Sudah menjadi maklum, salah satu penyebabnya adalah letak geografis Indonesia berada di perlintasan garis katulistiwa yang dilalui iklim tropis dan membuka peluang anomali El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Terlepas dari setting geografis yang memang sudah terberikan dari Sang Maha Pencipta, manusia sebagai mandataris tuhan di bumi (khalifatullah fil-ardh) dituntut kreatif dan inovatif menjaga kelestarian bumi dengan melakukan langkah antisipatif menghadapi pergantian musim kemarau diikuti cuaca ekstrim berdampak kekeringan.

Tulisan ini hendak menyoroti kekeringan dari aspek teologis, penulis menyadari sepenuhnya bahwa istilah ‘teologi kekeringan’ terdengar asing di ruang dengar kita. Perlu diketahui bahwa teologi yang dimaksud di situ adalah, sebuah pendekatan epistemologis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar, apakah kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia setiap musim kemarau datang itu, takdir atau sunnatullah?
Share:

Popular Posts

Labels

Recent Posts

Motto

  • Membaca
  • Mengamalkan
  • Mennulis
  • Menyebarkan